Minggu, Agustus 10, 2008

Magnet-magnet Sachet

Sebenarnya, fenomena ini saya temukan 13 tahun lalu. Ketika itu, kesempatan pertama kali menginjakkan kaki di negeri Sakura, Jepang. Maksud ke sana hanya sekadar cuci mata (sightseeing) dari satu daerah ke daerah lain, yang orang Jepang sendiri menyebutnya dengan istilah Asobi.

Selama masa Asobi dua bulan di sana, saya menemukan satu fenomena baru yang rasanya masih aneh di Indonesia ketika itu: segala-galanya sachet (kemasan kecil). Perlengkapan menjahit yang di Indonesia biasa dijual terpisah (jarum, benang, kancing), di sana dijual satu paket berisi dua meteran benang, beberapa jarum, beberapa kancing. Pisang raja yang di Indonesia biasa dijual per sisir, di sana justru dijual per 5 – 6 biji saja (satu sisir dibagi dua atau tiga).

Aneh! Begitu gumam saya ketika itu. Pisang yang hanya sepertiga sisir di sana seharga satu tandan di negeri saya. Ternyata, buah-buahan di sana rata-rata impor sehingga harga terkerek naik. Agar dapat dijual dengan mudah, maka dibuatlah per “sachet“ isi sepertiga sisir.

Di banyak industri, kemasan sachet sudah menjadi fenomena umum. Lihatlah bagaimana susu bubuk Ovaltine yang dulunya hanya dijual kalengan, berubah ke refill, lalu ke sachet. Bahkan susu kental manis pun saat ini sudah dijual per sachet.

Terasi, merica bubuk, bumbu penyedap, shampoo, dan banyak lagi yang dulunya dijual per bungkus besar berubah ke paket sachet. Fenomena Jepang 13 tahun lalu, baru terlihat di kampung kita tiga tahun terakhir ini.

Tingginya biaya hidup menjadikan entry barrier makin tebal. Entry barrier adalah palang rintang konsumen untuk masuk bertransaksi. Banyak hal yang dapat menciptakan entry barrier, salah satunya adalah tingginya harga-harga.

Biaya membeli sebungkus susu bubuk makin tinggi sementara kebutuhan minum sesekali diperlukan, lalu dijuallah per sachet. Sachet diciptakan sebagai magnet untuk menarik keinginan konsumen. Sachet berhasil menjadikan harga mahal menjadi terjangkau sekaligus menipiskan entry barrier.

Karena di-sachet-kan, maka sebuah keluarga berpenghasilan pas-pasan, tetap saja bisa menikmati susu bubuk, susu kental, terasi, shampoo, dan lainnya. Rumah atau mobil sekalipun, sebenarnya juga sudah di-sachet-kan melalui jasa pembiayaan. Masyarakat akhirnya tetap dapat membeli rumah meski kondisi ekonomi makin sulit.

Agar suatu produk Anda terkesan murah dan terjangkau, cobalah dipilah per sachet. Entah di-sachet-kan secara volume (seperti susu bubuk) atau di-sachet-kan secara pembiayaan (seperti rumah dan mobil). Karena sesungguhnya, bungkusan kecil dan cicilan per bulan adalah magnet-magnet sachet yang siap “menerkam“ konsumen.***

Dimuat di Kendari Pos, 11 Agustus 2008