Minggu, Maret 18, 2012

Jurus Sakti Pembuktian Terbalik

Kasus demi kasus yang ditangani KPK setahun terakhir makin menarik dicermati. Beberapa kasus di antaranya: kasus Gayus Tambunan, kasus M. Nazaruddin, kasus Anglina Sondakh, dan banyak lagi.

Ketika sebuah kasus sulit dibuktikan, ditempulah salah satu metode pembuktian terbalik. Cara ini dianggap cukup ampuh ”memaksa” pengakuan terdakwa untuk mengakui perbuatannya.

Contoh sederhana, seorang koruptor seharusnya mengakui korupsi yang dituduhkan kepadanya karena hukum sebab – akibat: karena saya korupsi, maka saya kaya. Karena saya makan, maka saya kenyang. Begitulah kira-kira.

Pada pada kondisi tertentu, terdakwa tidak ingin mengakui bahwa dia baru saja makan nasi sehingga kenyang. Karena dirasa sulit mengungkap pengakuan, maka dilakukanlah pembuktian terbalik dengan memutar balik arah pertanyaan: kenapa Anda kenyang?

Bukan lagi mengedepankan sebab tetapi mendahulukan akibat. Karena ada akibat, pasti ada sebab. Karena Anda kenyang, maka pasti Anda habis makan.

Dalam kasus-kasus pemasaran juga terjadi demikian. Ketika kompetisi sudah semakin crowded dan arah pasar semakin sulit ditebak, maka juga dilakukan pembuktian terbalik. Biasanya, pembuktian terbalik dilakukan, pasar akan langsung merespon dengan cepat.

Kita tentu saja masih ingat sepuluh tahun lalu jika berhutang itu dianggap kurang baik dalam kultur ketimuran karena menujukkan ketidakmampuan membiayai hidup sehari-hari. Hal itu tidak lagi terjadi saat ini.

Profesional muda di ibukota nyaris tidak pernah luput dari berbagai tawaran hutang dengan kemasan berbeda-beda. Mulai kemasan halus (soft cover) ala KPR hingga cara nekat (hard cover) gaya Kredit Tanpa Agunan, tumplek plek menjadi santapan harian.

Perbankan semakin agresif menawarkan hutang ke calon nasabah meskipun dalam penawaran mereka sesungguhnya terdapat risiko yang sangat besar. Ketika kartu kredit diterbitkan, risiko sudah mulai ditabur. Ketika nasabah menunggak, risiko mulai dituai. Begitulah seterusnya....

Secara naluri, pihak perbankan tentu saja was-was ketika menerbitkan kartu kredit. Namun karena pasar yang ingin digarap sudah semakin kompetitif dan peluang mengeruk keuntungan semakin kecil, maka ditempulah cara-cara yang out of the box: kartu hutang (kartu kredit) ditebar, penawaran tanpa agunan dihambur, pemberian cash back digenjot.

Apa yang dilakukan para penerbit kartu kredit merupakan penjabaran dari pembuktian terbalik. Karena saya akan punya uang maka saya bisa berhutang, begitu hukum sebab - akibatnya. Kondisi itu kemudian dibalik dengan mengedepankan akibat menjadi ”berhutanglah karena Anda akan punya uang untuk bayar kelak”.

Sekitar tahun 2001, salah bank besar pemerintah juga pernah menerapkan strategi ini dengan memberikan hadiah kepada nasabah yang melakukan penarikan terbesar di ATM. Yang diberikan hadiah bukan tabungan terbanyak tetapi penarikan terbesar.

Logikanya sederhana. Penarikan dapat dilakukan jika ada dana dalam tabungan. Penarikan dalam jumlah besar dapat dilakukan jika dana dalam tabungan juga besar. Memancing hadiah di sisi penarikan berarti mendorong nasabah menambah isi tabungan.

Jurus seperti itu kembali terngiang. Pembuktian terbalik tidak hanya dijalankan di pengadilan tetapi juga di dunia pemasaran. Pertanyaan”Sudahkah Anda makan nasi pagi ini?” mulai terdengar usang. Saatnya kita ganti dengan yang lebih sakti ”Kelihatannya Anda kenyang sekali. Makan apa pagi tadi?”

Dengan mengedepankan akibat, maka jawaban pertanyaan (sebab hal itu terjadi) akan keluar. Pembuktian terbalik tampak lebih sakti.***


Saran dan kritik: 081524004567.