Tukul Arwana selalu mempopulerkan ”Don’t judge the book by its cover (jangan menilai kualitas buku dari cover-nya)” memang tidak terbantahkan. Kecantikan seorang wanita tidak hanya perlu dilihat dari raut wajah tetapi juga dari perilaku.
Secara umum, apa yang digaungkan Tukul itu benar. Dari kacamata konsumen, peribahasa itu perlu selalu dipegang agar produk yang dibelinya tidak mengecewakan. Spesifikasi di brosur seharusnya selalu sama dengan barangnya.
Pengalaman menunjukkan bahwa selama ini produsen cenderung berada di satu anak tangga yang lebih tinggi dibanding konsumen. Produsen men-drive pikiran konsumen sehingga terbujuk rayu membeli produknya.
Itulah misi yang selalu diemban setiap agency periklanan ketika mendapat order iklan dari mitranya. Ketika Kentucky Fried Chicken (KFC) meminta dibuatkan iklan ayam goreng misalnya, maka agency langsung merumuskan keinginan KFC sedetail mungkin agar konsumen yang nantinya melihat iklan tersebut langsung tergoda mencicipi ayam goreng KFC.
Supaya kesan renyah langsung ditangkap konsumen, ditampilkanlah gambar potongan ayam goreng yang crunchy alias garing. Dengan trik ini, produsen berusaha masuk ke alam bawah sadar pikiran konsumen hingga tiba di titik kesimpulan: renyah!
Terlepas bahwa ayam itu memang benar-benar renyah dan garing, setidaknya produsen sudah berhasil masuk ke pikiran konsumen hingga tiba di titik kesimpulan. Bukan sesuatu yang mudah untuk menggiring sebuah kata ke benak konsumen. Karena itu, sang produsen menggandeng pihak ketiga demi menghadirkan ”cover buku yang baik” di depan mata konsumen.
Persoalan ”cover buku” seperti ini berlaku di semua industri. Konsultan dan penulis property dunia sekalipun, sebangsa Dolf De Roos, ternyata juga menerapkan hal yang sama. Menurutnya, untuk meningkatkan harga jual sebuah rumah, Anda cukup melakukan satu langkah sederhana: cat pagarnya!
Beliau mempunyai 101 cara meningkatkan nilai jual rumah. Beberapa di antaranya: rapikan rumput, ganti pintu utama, bersihkan atap rumah, cat ulang rumah, pasang carport, buat sekat jalan untuk mobil, pasang lampu depan pintu, ganti saklar-saklar lampu, pasang teralis, ganti handle pintu, dan seterusnya.
Kita tidak perlu melakukan banyak hal untuk menghasilkan lebih banyak uang, kata De Roos. Mungkin biaya yang dibutuhkan hanya Rp 10 juta namun nilai jual bisa terkerek hingga 5 kali lipat dari biaya itu. Hmm....
Perlu diketahui bahwa produsen selalu bermain di area depan sebagaimana buku dengan cover-nya dan rumah dengan pagar-nya. Sementara konsumen, sebenarnya lebih butuh isi buku dibanding cover dan lebih butuh isi rumah dari sekadar pagar. Meski demikian, alam pikiran konsumen selama ini selalu mengikut sesuai arahan produsen (berkat hasil kreasi agency tadi) sehingga sampai dunia kiamat sekalipun, konsumen masih akan selalu men-judge sesuatu by its cover.
Untuk itu, ingat selalu untuk memulai dari pagar. Konsumen hanya melihat pagar, rumput, atap, dan tampilan luar. Bukan isinya.***
Dimuat 6 Februari 2012 di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Selasa, Februari 07, 2012
Hypnotic Words
Masih terasa di banyak sudut kota nuansa merah, sisa-sisa perayaan imlek yang baru saja berlalu. Imlek yang awalnya hanya dirayakan kaum petani sebagai ungkapan syukur atas panen musim semi, kini merambah ke panggung publik dan dirayakan secara terbuka dengan balutan kalimat singkat: “gong xi fa chai” (mandarin), “kiung hi sin nyien” (khek), atau “sin cia ju ie” (tio chu).
Berbagai perayaan keagamaan dan kenegaraan di negeri ini selalu menyisakan pesan moral bagi pengikutnya. Lihat saja yang terpancar di Imlek dengan semangat untuk hidup lebih sejahtera, di Idul fitri dengan hati yang lebih suci, juga di HUT Proklamasi dengan perjuangan hidup yang lebih baik, dan banyak lagi.
Kalimat-kalimat pendek di setiap perayaan sesungguhnya adalah kumpulan dari Hypnotic Words bahwa kata-kata yang ada mengantarkan pengikutnya ke sebuah imajinasi positif.
Hal yang sama juga selalu terjadi bahkan wajib terjadi di dunia pemasaran. Dalam kacamata pemasaran, hal seperti ini lazim disebut tagline. Kata-katanya pendek, unik, dan inspiratif.
Ahli brand Eric Swartz melihat bahwa tagline umumnya tidak lebih dari tujuh kata dan sangat powerfull. Untuk itu, pemilihan kata untuk tagline perlu dilakukan dengan hati-hati karena tagline akan merepresentasikan personality dan positioning brand yang dikawalnya.
Beberapa contoh tagline saya paparkan seperti: KFC, Jagonya Ayam; YOU C1000, Healthy Inside Fresh Outside; TOYOTA AVANZA, You'll Think You Can; YAMAHA VEGA, Menjawab Semua Impian; PANASONIC, Idea's For Life; BODREX, Selalu Oke Setiap Saat; A MILD, Bukan Basa Basi; CLEAR, Ketombe Siapa Takut; EXTRA JOSS, The Real Joss; NIKE, Just do it; SANYO, Rajanya Pompa Air; dan seterusnya.
Dalam bisnis dikenal pameo bahwa ketika kita menjual sebuah produk, tugas pertama adalah ”mengaduk-aduk” emosi pembeli. Kita perlu membawa imajinasi pembeli ke ”alam mimpi” seakan-akan hal itu sudah terjadi.
Ketika kita berkunjung ke pameran perumahan misalnya, di sana kita ditawari rumah dilengkapi bumbu-bumbu mimpi seperti rencana pembangunan jalan lingkar, akses bebas hambatan, kompleks bebas banjir, taman hijau, pagar kompleks keliling lengkap security 24 jam, dan lain-lain.
Emosi kita diaduk sedemikian rupa seakan-akan rumah itu sudah ada di hadapan kita. Konsumen dibawa ke ”alam mimpi” meski pembangunannya sendiri belum dimulai dan harus menunggu setahun setelah bayar DP. Wow....
Untuk memudahkan konsumen menentukan pilihan, tim pemasar perlu memilih kata-kata yang menginspirasi hingga emosinya teraduk-aduk sehingga tanpa sadar masuk ke ”alam mimpi”. Kesuksesan tahap awal tim pemasar dapat dilihat dari suksesnya menggiring konsumen ke alam mimpi. Dan, hal itu dapat dilakukan dengan mendampingkan kata-kata positif nan inspiratif di setiap produk yang ditawarkannya.
Ketatnya kompetisi mungkin bisa mengalahkan kita dari sisi kualitas produk tetapi fakta menunjukkan bahwa kebanyakan konsumen membeli bukan karena kualitas tapi karena dorongan emosi. Gunakan celah ini dan saatnya memainkan emosi!**
Dimjuat 30 Januari 2012 di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Berbagai perayaan keagamaan dan kenegaraan di negeri ini selalu menyisakan pesan moral bagi pengikutnya. Lihat saja yang terpancar di Imlek dengan semangat untuk hidup lebih sejahtera, di Idul fitri dengan hati yang lebih suci, juga di HUT Proklamasi dengan perjuangan hidup yang lebih baik, dan banyak lagi.
Kalimat-kalimat pendek di setiap perayaan sesungguhnya adalah kumpulan dari Hypnotic Words bahwa kata-kata yang ada mengantarkan pengikutnya ke sebuah imajinasi positif.
Hal yang sama juga selalu terjadi bahkan wajib terjadi di dunia pemasaran. Dalam kacamata pemasaran, hal seperti ini lazim disebut tagline. Kata-katanya pendek, unik, dan inspiratif.
Ahli brand Eric Swartz melihat bahwa tagline umumnya tidak lebih dari tujuh kata dan sangat powerfull. Untuk itu, pemilihan kata untuk tagline perlu dilakukan dengan hati-hati karena tagline akan merepresentasikan personality dan positioning brand yang dikawalnya.
Beberapa contoh tagline saya paparkan seperti: KFC, Jagonya Ayam; YOU C1000, Healthy Inside Fresh Outside; TOYOTA AVANZA, You'll Think You Can; YAMAHA VEGA, Menjawab Semua Impian; PANASONIC, Idea's For Life; BODREX, Selalu Oke Setiap Saat; A MILD, Bukan Basa Basi; CLEAR, Ketombe Siapa Takut; EXTRA JOSS, The Real Joss; NIKE, Just do it; SANYO, Rajanya Pompa Air; dan seterusnya.
Dalam bisnis dikenal pameo bahwa ketika kita menjual sebuah produk, tugas pertama adalah ”mengaduk-aduk” emosi pembeli. Kita perlu membawa imajinasi pembeli ke ”alam mimpi” seakan-akan hal itu sudah terjadi.
Ketika kita berkunjung ke pameran perumahan misalnya, di sana kita ditawari rumah dilengkapi bumbu-bumbu mimpi seperti rencana pembangunan jalan lingkar, akses bebas hambatan, kompleks bebas banjir, taman hijau, pagar kompleks keliling lengkap security 24 jam, dan lain-lain.
Emosi kita diaduk sedemikian rupa seakan-akan rumah itu sudah ada di hadapan kita. Konsumen dibawa ke ”alam mimpi” meski pembangunannya sendiri belum dimulai dan harus menunggu setahun setelah bayar DP. Wow....
Untuk memudahkan konsumen menentukan pilihan, tim pemasar perlu memilih kata-kata yang menginspirasi hingga emosinya teraduk-aduk sehingga tanpa sadar masuk ke ”alam mimpi”. Kesuksesan tahap awal tim pemasar dapat dilihat dari suksesnya menggiring konsumen ke alam mimpi. Dan, hal itu dapat dilakukan dengan mendampingkan kata-kata positif nan inspiratif di setiap produk yang ditawarkannya.
Ketatnya kompetisi mungkin bisa mengalahkan kita dari sisi kualitas produk tetapi fakta menunjukkan bahwa kebanyakan konsumen membeli bukan karena kualitas tapi karena dorongan emosi. Gunakan celah ini dan saatnya memainkan emosi!**
Dimjuat 30 Januari 2012 di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Yang "Terbatas" Selalu "Dicari"
Hampir setiap hari Minggu pagi saya menikmati akhir pekan dengan bersepeda di seputaran Bundaran HI (Hotel Indonesia) Jakarta. Di salah satu sisi bundaran, saya temukan sebuah komunitas yang berkumpul dan bercerita sesukanya seakan membuang lepas ke udara pagi, segala beban hidup di Jakarta.
Untuk menjawab rasa penasaran, saya berusaha mendekat dan mencari tahu. Ternyata, mereka adalah komunitas pencinta sepeda antik dan berbagai aksesorisnya. Tampak sejumlah sepeda tempo doeloe dengan aksesoris antik ala pejuang, jaket kulit, janggut putih, kaca mata, lambang-lambang, hingga topi khas Jenderal Soedirman tumplek di area itu.
Keunikan mereka menarik perhatian masyarakat yang sedang bersepeda ria di seputaran HI. Sebuah penunjukan jati diri yang dilakukan dengan penuh percaya diri.
Dua pekan pertama tahun 2012, masyarakat Indonesia disuguhi prestasi anak-anak SMK Solo yang berhasil membuat mobil Kiat Esemka. Meski masih memerlukan uji kelayakan namun siswa-siswa Solo sudah berani menujukkan jati diri mereka sebagai pencipta mobil SUV (Sport Utility Vehicle) dengan penuh rasa percaya diri.
Sepeda antik dan mobil Kiat Esemeka, dua pemandangan berbeda dalam satu makna. Keduanya berusaha tampil di tengah kerumunan. Dengan keantikan sepeda, masyarakat menemukan “warna baru” di antara ratusan sepeda. Dengan inovasi yang tidak dipikirkan sebelumnya, mobil Kiat Esemka tiba-tiba menyeruak ke permukaan dan memberi “warna baru” prestasi anak sekolah di antara ribuan sekolah di negeri ini.
Sesuatu yang “baru” di antara kerumunan, dalam kasus pemasaran disebut ceruk pasar. Konsumen memang sesekali terpesona dengan sesuatu yang “baru dan unik” di antara kerumunan. Lihat saja, ketika orang Padang berkunjung Sulawesi misalnya, mereka mencari Sate Padang. Ketika warga Makassar ke Kalimantan, mereka mencari Coto Makassar. Ketika jamaah Indonesia ke Saudi, mereka mencari Gado-gado. Makanan yang mereka cari adalah makanan yang “baru” di antara kerumunan makanan yang tersaji. Hallaaaakh, kalau mau cari Gado-gado, kenapa jauh-jauh harus ke Saudi…. Tapi, begitulah wajah konsumen kita, kadang-kadang melakukan sesuatu di luar logika. Hehehee.
Mobil Kiat Esemka bukanlah produk otomotif pertama karya anak bangsa. Belasan karya sudah tercatat namun tak satu pun yang berumur panjang. Sebut saja beberapa di antaranya: Maleo (1993) karya IPTN, Timor (1996) besutan PT Timor Putra Nasional, Kancil (1999) buatan PT Karunia Abadi Niaga, Kanzen (2000) rakitan PT Inti Kanzen Motor, terakhir Kiat Esemka (2012) persembahan anak-anak SMK Solo.
Mengapa kemudian merek-merek itu begitu mudah dihempas angin dan menghilang dari peredaran? Terlepas dari sisi teknis dan kekuatan mesin, saya melihatnya dari kacamata pemasaran bahwa hadirnya mobil buatan anak negeri tidak hanya memerlukan kreativitas tetapi juga kekuatan tempur di pasar.
Seberapa kuat mobil anak negeri mampu menghadapi kekuatan pasar mobil Jepang? Mampukah merek baru menelikung di antara merek kelas dunia sebangsa Toyota? Bagaimana suku cadangnya? Jaringan service after sales-nya? Strategi pemasarannya? Sederet panjang pertanyaan lagi masih perlu dijawab.
Sangatlah tepat jika mobil Kiat Esemka membidik ceruk pasar dan tidak dijual umum. Ia akan lebih mudah dipasarkan ke segmen yang mencari hal-hal “baru”. Melalui strategi ini, produk Kiat Esemka selanjutnya akan lebih kokoh dan menjadi buah bibir sepanjang waktu karena di-positioning-kan sebagai sesuatu yang antik dan very limited edition.
Bukankah sesuatu yang “terbatas” selalu “dicari” sebagaimana Sate Padang di Sulawesi, Coto Makassar di Kalimantan, dan Gado-gado di Saudi?***
Dimuat 16 Januari di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Untuk menjawab rasa penasaran, saya berusaha mendekat dan mencari tahu. Ternyata, mereka adalah komunitas pencinta sepeda antik dan berbagai aksesorisnya. Tampak sejumlah sepeda tempo doeloe dengan aksesoris antik ala pejuang, jaket kulit, janggut putih, kaca mata, lambang-lambang, hingga topi khas Jenderal Soedirman tumplek di area itu.
Keunikan mereka menarik perhatian masyarakat yang sedang bersepeda ria di seputaran HI. Sebuah penunjukan jati diri yang dilakukan dengan penuh percaya diri.
Dua pekan pertama tahun 2012, masyarakat Indonesia disuguhi prestasi anak-anak SMK Solo yang berhasil membuat mobil Kiat Esemka. Meski masih memerlukan uji kelayakan namun siswa-siswa Solo sudah berani menujukkan jati diri mereka sebagai pencipta mobil SUV (Sport Utility Vehicle) dengan penuh rasa percaya diri.
Sepeda antik dan mobil Kiat Esemeka, dua pemandangan berbeda dalam satu makna. Keduanya berusaha tampil di tengah kerumunan. Dengan keantikan sepeda, masyarakat menemukan “warna baru” di antara ratusan sepeda. Dengan inovasi yang tidak dipikirkan sebelumnya, mobil Kiat Esemka tiba-tiba menyeruak ke permukaan dan memberi “warna baru” prestasi anak sekolah di antara ribuan sekolah di negeri ini.
Sesuatu yang “baru” di antara kerumunan, dalam kasus pemasaran disebut ceruk pasar. Konsumen memang sesekali terpesona dengan sesuatu yang “baru dan unik” di antara kerumunan. Lihat saja, ketika orang Padang berkunjung Sulawesi misalnya, mereka mencari Sate Padang. Ketika warga Makassar ke Kalimantan, mereka mencari Coto Makassar. Ketika jamaah Indonesia ke Saudi, mereka mencari Gado-gado. Makanan yang mereka cari adalah makanan yang “baru” di antara kerumunan makanan yang tersaji. Hallaaaakh, kalau mau cari Gado-gado, kenapa jauh-jauh harus ke Saudi…. Tapi, begitulah wajah konsumen kita, kadang-kadang melakukan sesuatu di luar logika. Hehehee.
Mobil Kiat Esemka bukanlah produk otomotif pertama karya anak bangsa. Belasan karya sudah tercatat namun tak satu pun yang berumur panjang. Sebut saja beberapa di antaranya: Maleo (1993) karya IPTN, Timor (1996) besutan PT Timor Putra Nasional, Kancil (1999) buatan PT Karunia Abadi Niaga, Kanzen (2000) rakitan PT Inti Kanzen Motor, terakhir Kiat Esemka (2012) persembahan anak-anak SMK Solo.
Mengapa kemudian merek-merek itu begitu mudah dihempas angin dan menghilang dari peredaran? Terlepas dari sisi teknis dan kekuatan mesin, saya melihatnya dari kacamata pemasaran bahwa hadirnya mobil buatan anak negeri tidak hanya memerlukan kreativitas tetapi juga kekuatan tempur di pasar.
Seberapa kuat mobil anak negeri mampu menghadapi kekuatan pasar mobil Jepang? Mampukah merek baru menelikung di antara merek kelas dunia sebangsa Toyota? Bagaimana suku cadangnya? Jaringan service after sales-nya? Strategi pemasarannya? Sederet panjang pertanyaan lagi masih perlu dijawab.
Sangatlah tepat jika mobil Kiat Esemka membidik ceruk pasar dan tidak dijual umum. Ia akan lebih mudah dipasarkan ke segmen yang mencari hal-hal “baru”. Melalui strategi ini, produk Kiat Esemka selanjutnya akan lebih kokoh dan menjadi buah bibir sepanjang waktu karena di-positioning-kan sebagai sesuatu yang antik dan very limited edition.
Bukankah sesuatu yang “terbatas” selalu “dicari” sebagaimana Sate Padang di Sulawesi, Coto Makassar di Kalimantan, dan Gado-gado di Saudi?***
Dimuat 16 Januari di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Sense of Crisis
Banyak cara mengawali Tahun Baru. Mulai dari hiruk pikuk, study tour, hingga workshop serius. Lazimnya, tahun baru diawali dengan semangat baru dan target-target baru.
Sayangnya, semangat yang rrruaar biasa itu belum disertai dengan arahan yang rinci sehingga yang ada hanya mimpi-mimpi indah dan terus berulang setiap pergantian tahun. Harapan tinggal harapan, mimpi tinggal mimpi.
Cara yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah memilah milih titik krusial yang perlu segera ditingkatkan. Penetrasi pasar yang seharusnya tumbuh di sebuah cluster tetapi tidak berubah, misalnya, bisa menjadi salah satu titik fokus.
Bagi perusahaan yang sudah mapan, jika dirasa tidak ada yang krusial sekalipun, juga dianjurkan menciptakan sense yang sama. Hal yang tidak urgent bisa dibuat urgent agar dalam diri kita terlahir Sense of Crisis.
Dalam keseharian dikenal istilah Urgent (mendesak) dan Important (penting). Ada yang mendesak tapi tidak penting, ada yang penting tapi tidak mendesak, ada pula yang penting dan mendesak.
Mengambil jemuran ketika hujan saat santap siang bukan hal penting tetapi itu mendesak. Jika tidak segera berlari mengambil jemuran, pakaian-pakaian akan basah diguyur hujan.
Membuat program kerja itu 'penting' sehingga selalu menjadi agenda tahunan. Namun selama penjabaran di lapangan tidak dibuat 'mendesak' maka sepanjang tahun tidak akan tercipta Sense of Crisis.
Saya teringat dengan Jack Welch ketika baru saja diangkat menjadi CEO GE (General Electric) sekitar tahun 1980-an. Meski ketika itu GE menjadi salah satu dari 20 perusahaan terbaik dunia tetapi Jack Welch mengatakan kepada seluruh karyawannya bahwa GE sedang dalam bahaya. Sejumlah karyawan mempertanyakan statement tersebut namun Jack Welch tetap saja meyakinkan mereka untuk segera berubah.
Dalam suasana nyaman sekalipun (karena sudah berada di deretan perusahaan terbaik dunia), GE masih saja memproklamirkan diri ke internal mereka jika sedang dalam bahaya agar karyawan dapat keluar dengan segera dari comfort zone. Mereka menciptakan urgensi (suasana mendesak) untuk memicu adrenalin agar berbuat lebih baik lagi.
Banyak korban yang jatuh, bukan karena menabrak batu besar tetapi karena tergelincir kerikil-kerikil kecil. Comfort zone kadang-kadang membuat kita lengah dan 'buta' terhadap kondisi sekitar sehingga tanpa disadari jika tetangga sedang mempersiapkan serangan-serangan jitu.
Tragedi Black September menara WTC di Amerika 10 tahun lalu, menjadi sebuah bukti kelengahan Amerika di tengah comfort zone. Negara sekuat dan seadidaya Amerika sekalipun, ternyata juga terkilir di tengah kenyamanannya.
Di tahun naga 2012 ini, saatnya kita mencoba keluar dari comfort zone agar tidak ikut tergelincir. Salah satu caranya, dengan memposisikan produk kita dalam zona bahaya sehingga kita menjadi lebih awas terhadap kondisi di sekeliling.
Mari, mengawali aktivitas di tahun baru ini dengan Sense of Crisis yang tinggi. Hanya dengan itu, potensi produk kita akan teruji dan aliran deras adrenalin tenaga pemasar akan terpicu lebih kencang.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 10 Januari 2012
Sayangnya, semangat yang rrruaar biasa itu belum disertai dengan arahan yang rinci sehingga yang ada hanya mimpi-mimpi indah dan terus berulang setiap pergantian tahun. Harapan tinggal harapan, mimpi tinggal mimpi.
Cara yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah memilah milih titik krusial yang perlu segera ditingkatkan. Penetrasi pasar yang seharusnya tumbuh di sebuah cluster tetapi tidak berubah, misalnya, bisa menjadi salah satu titik fokus.
Bagi perusahaan yang sudah mapan, jika dirasa tidak ada yang krusial sekalipun, juga dianjurkan menciptakan sense yang sama. Hal yang tidak urgent bisa dibuat urgent agar dalam diri kita terlahir Sense of Crisis.
Dalam keseharian dikenal istilah Urgent (mendesak) dan Important (penting). Ada yang mendesak tapi tidak penting, ada yang penting tapi tidak mendesak, ada pula yang penting dan mendesak.
Mengambil jemuran ketika hujan saat santap siang bukan hal penting tetapi itu mendesak. Jika tidak segera berlari mengambil jemuran, pakaian-pakaian akan basah diguyur hujan.
Membuat program kerja itu 'penting' sehingga selalu menjadi agenda tahunan. Namun selama penjabaran di lapangan tidak dibuat 'mendesak' maka sepanjang tahun tidak akan tercipta Sense of Crisis.
Saya teringat dengan Jack Welch ketika baru saja diangkat menjadi CEO GE (General Electric) sekitar tahun 1980-an. Meski ketika itu GE menjadi salah satu dari 20 perusahaan terbaik dunia tetapi Jack Welch mengatakan kepada seluruh karyawannya bahwa GE sedang dalam bahaya. Sejumlah karyawan mempertanyakan statement tersebut namun Jack Welch tetap saja meyakinkan mereka untuk segera berubah.
Dalam suasana nyaman sekalipun (karena sudah berada di deretan perusahaan terbaik dunia), GE masih saja memproklamirkan diri ke internal mereka jika sedang dalam bahaya agar karyawan dapat keluar dengan segera dari comfort zone. Mereka menciptakan urgensi (suasana mendesak) untuk memicu adrenalin agar berbuat lebih baik lagi.
Banyak korban yang jatuh, bukan karena menabrak batu besar tetapi karena tergelincir kerikil-kerikil kecil. Comfort zone kadang-kadang membuat kita lengah dan 'buta' terhadap kondisi sekitar sehingga tanpa disadari jika tetangga sedang mempersiapkan serangan-serangan jitu.
Tragedi Black September menara WTC di Amerika 10 tahun lalu, menjadi sebuah bukti kelengahan Amerika di tengah comfort zone. Negara sekuat dan seadidaya Amerika sekalipun, ternyata juga terkilir di tengah kenyamanannya.
Di tahun naga 2012 ini, saatnya kita mencoba keluar dari comfort zone agar tidak ikut tergelincir. Salah satu caranya, dengan memposisikan produk kita dalam zona bahaya sehingga kita menjadi lebih awas terhadap kondisi di sekeliling.
Mari, mengawali aktivitas di tahun baru ini dengan Sense of Crisis yang tinggi. Hanya dengan itu, potensi produk kita akan teruji dan aliran deras adrenalin tenaga pemasar akan terpicu lebih kencang.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 10 Januari 2012
Jangan Biarkan Suara Emas itu Berlalu
Setelah sekian bulan tidak menyapa pembaca, tulisan saya kini kembali hadir dalam suasana Tahun Baru. Di awal kehadirannya di tahun 2008, kolom ini diberi nama Pojok Marketing. Selanjutnya mengalami evolusi dan berganti nama kolom menjadi “Ketika Praktisi Bicara Pemasaran”. Awal 2012 hari ini, kolom ini kembali lagi ke khittah-nya dengan mengusung nama semula, “Pojok Marketing”. Selanjutnya, insya Allah akan terus menyapa setiap minggu di harian ini.
Kawan-kawan yang sering membaca ulasan marketing di kolom ini ternyata lebih senang dengan penamaan Pojok Marketing. Kata mereka, istilah itu terdengar lebih singkat, unik, dan mudah diingat. Dalam kasus pemasaran, saya adalah produsen dan mereka adalah konsumen atas sebuah produk tulisan.
Produsen memang selalu dianjurkan mendengar apa kata konsumen. Produsen tidak boleh main hakim sendiri sebab sesuatu yang baik di mata produsen tidak selamanya baik di mata konsumen. Pada akhirnya, konsumenlah yang “menyetir” produk.
Dulu, orangtua kita menyimpan uang di bawah bantal. Seiring kebutuhan akan rasa aman, konsumen (nasabah) lalu membutuhkan tempat penyimpanan yang aman sehingga lahirlah bank. Masa berlalu, konsumen ternyata tidak hanya butuh bank tetapi mereka juga butuh kemudahan membawa uang ke mana-mana sehingga dibuatkan kartu ATM. Itu pun belum cukup. Konsumen menginginkan transaksi yang tidak perlu membuang-buang waktu ke mesin ATM lalu diciptakanlah internet banking dan mobile banking.
Belum habis sampai di situ.
Mereka ternyata masih punya segudang keinginan berbelanja namun tidak punya dana yang cukup sehingga diluncurkanlah Kartu Kredit, yang memungkinkan konsumen berhutang tanpa jaminan apapun. Hmmm.... betapa indahnya dunia....
Karana perbankan mampu mengakomodir kebutuhan nasabahnya, maka transaksi di semua bank tidak pernah sepi dari waktu ke waktu. Bahkan secara omset, prosentase pertumbuhannya melejit melebihi pertumbuhan jumlah kantor dan karyawannya.
Jika ada produk yang selalu laris dari tahun ke tahun berarti produk itu mampu menjawab kebutuhan konsumen. Sebaliknya, jika sebuah produk hanya laku di zamannya dan hari ini sudah tidak diminati lagi berarti produk tersebut tidak melakukan evolusi untuk menjawab kebutuhan konsumen.
Lihat saja, betapa ramainya Kantor Pos di tahun 90-an lalu bandingkan betapa sepinya hari ini. Lihat juga betapa menjamurnya bisnis Wartel di akhir 90-an lalu silahkan menghitung jari mereka yang masih bertahan hari ini.
Untuk menjaga konsistensi agar selalu mendengar suara konsumen, beberapa perusahaan merawat konsumen mereka dengan baik melalui komunitas, seperti pencinta sepeda, penggemar motor gede, peminat novel, dan banyak lagi.
Sadar akan hadirnya ancaman kehilangan fans, kalangan artis pun melakukan hal yang sama. Maka terdengarlah penamaan-penamaan komunitas mereka, seperti Slankers, Sobat Padi, bahkan artis jebolan You Tube Norman Kamaru juga sudah mulai menggalang komunitas dengan sebutan Normanisme.
Tidak ada pilihan lain. Produsen harus dan mutlak selalu mendengar suara konsumen jika ingin tetap hidup seribu tahun lagi. Dengarkan suara mereka dan jangan biarkan ”suara emas” itu berlalu dan akhirnya hinggap di sarang tetangga.
Selamat Tahun Baru.... Selamat Mendengarkan Suara Konsumen.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 3 Januari 2012
Kawan-kawan yang sering membaca ulasan marketing di kolom ini ternyata lebih senang dengan penamaan Pojok Marketing. Kata mereka, istilah itu terdengar lebih singkat, unik, dan mudah diingat. Dalam kasus pemasaran, saya adalah produsen dan mereka adalah konsumen atas sebuah produk tulisan.
Produsen memang selalu dianjurkan mendengar apa kata konsumen. Produsen tidak boleh main hakim sendiri sebab sesuatu yang baik di mata produsen tidak selamanya baik di mata konsumen. Pada akhirnya, konsumenlah yang “menyetir” produk.
Dulu, orangtua kita menyimpan uang di bawah bantal. Seiring kebutuhan akan rasa aman, konsumen (nasabah) lalu membutuhkan tempat penyimpanan yang aman sehingga lahirlah bank. Masa berlalu, konsumen ternyata tidak hanya butuh bank tetapi mereka juga butuh kemudahan membawa uang ke mana-mana sehingga dibuatkan kartu ATM. Itu pun belum cukup. Konsumen menginginkan transaksi yang tidak perlu membuang-buang waktu ke mesin ATM lalu diciptakanlah internet banking dan mobile banking.
Belum habis sampai di situ.
Mereka ternyata masih punya segudang keinginan berbelanja namun tidak punya dana yang cukup sehingga diluncurkanlah Kartu Kredit, yang memungkinkan konsumen berhutang tanpa jaminan apapun. Hmmm.... betapa indahnya dunia....
Karana perbankan mampu mengakomodir kebutuhan nasabahnya, maka transaksi di semua bank tidak pernah sepi dari waktu ke waktu. Bahkan secara omset, prosentase pertumbuhannya melejit melebihi pertumbuhan jumlah kantor dan karyawannya.
Jika ada produk yang selalu laris dari tahun ke tahun berarti produk itu mampu menjawab kebutuhan konsumen. Sebaliknya, jika sebuah produk hanya laku di zamannya dan hari ini sudah tidak diminati lagi berarti produk tersebut tidak melakukan evolusi untuk menjawab kebutuhan konsumen.
Lihat saja, betapa ramainya Kantor Pos di tahun 90-an lalu bandingkan betapa sepinya hari ini. Lihat juga betapa menjamurnya bisnis Wartel di akhir 90-an lalu silahkan menghitung jari mereka yang masih bertahan hari ini.
Untuk menjaga konsistensi agar selalu mendengar suara konsumen, beberapa perusahaan merawat konsumen mereka dengan baik melalui komunitas, seperti pencinta sepeda, penggemar motor gede, peminat novel, dan banyak lagi.
Sadar akan hadirnya ancaman kehilangan fans, kalangan artis pun melakukan hal yang sama. Maka terdengarlah penamaan-penamaan komunitas mereka, seperti Slankers, Sobat Padi, bahkan artis jebolan You Tube Norman Kamaru juga sudah mulai menggalang komunitas dengan sebutan Normanisme.
Tidak ada pilihan lain. Produsen harus dan mutlak selalu mendengar suara konsumen jika ingin tetap hidup seribu tahun lagi. Dengarkan suara mereka dan jangan biarkan ”suara emas” itu berlalu dan akhirnya hinggap di sarang tetangga.
Selamat Tahun Baru.... Selamat Mendengarkan Suara Konsumen.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 3 Januari 2012
Langganan:
Postingan (Atom)