Info bola terus saja mengalir di semua saluran informasi: koran, radio, TV, hingga internet. Di sebagian sudut
Selasa, Juni 24, 2008
Mainkan Bola di Musim Bola
Minggu, Juni 22, 2008
CUKUP SATU FANTASI
Tulisan ini dibuat di atas riak gelombang laut Wakatobi, sebuah pulau kecil di sebelah tenggara pulau Buton. Hempasan air dan hembusan angin tersimpul rapih menjadi lambaian keindahan.
Bunaken di Manado sudah lama dikenal di negeri ini. Namun Wakatobi di Sulawesi Tenggara masih asing di telinga. Pulau kecil yang menyimpan ratusan spesies keindahan alam bawah laut itu justru lebih dikenal di manca negara dibanding di negerinya sendiri.
Wartawan dan wisatawan terus mengalir ke pulau kecil itu meski secara infrastruktur terlihat belum siap: bandara pesawat reguler belum ada, daerah wisata belum terjangkau jaringan telepon, pasokan listrik hanya setengah hari, dsb.
Itulah Wakatobi! Namanya dibentuk dari akronim empat pulau: Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko. Meski hanya pulau-pulau kecil dalam satu kesatuan akronim, namun nama Wakatobi menggelegar hingga manca negara.
Kunjungan saya ke pulau ini menyisakan sisi penting Marketing. Dalam segala keterbatasan infrastruktur, pemerintah kabupaten Wakatobi secara intens memperkenalkan pulau kecil itu dalam satu pesan singkat: surga nyata bawah laut!
Sepotong kalimat ini sontak membuat penasaran. Jangankan orang awam, pencari berita yang kesehariannya mengendus informasi kepincut berjuang membelah arus Laut Banda agar bisa tiba di pulau kecil itu.
Di sinilah keajaiban pemasaran karena berhasil menarik datang konsumen walau perjuangan dan doa berderet di sepanjang jalan. Cara ini lazim disebut Pull Strategy.
Dunia iklan juga banyak menerapkan Pull Strategy seperti ini. Lihat saja jutaan konsumen terbius hadiah-hadiah walau sebelumnya tidak pernah membeli produk itu. Simaklah ketika Sirup ABC mengiklankan hadiah Umroh, Silver Queen iming-imingkan Honda Jazz, Kopi Torabika janjikan kejutan hadiah, Coca Cola siapkan wisata luar negeri, dan sederetan lagi lainnya.
Ketika Pull Strategy digelar, sesungguhnya sang produsen “menari-nari” dalam khayalan objek pasar. Fantasi pergi umroh seketika terbentuk di benak calon konsumen saat melihat sirup ABC di etalase toko. Warna merah Honda Jazz juga langsung terbayang ketika temukan Silver Queen terjejer rapih di depan kasir.
Iklan demi iklan yang tersaji setiap hari bertujuan membentuk fantasi kita hingga akhirnya tiba pada suatu keputusan “beli”. Pemasar yang cerdas tidak butuh iklan panjang. Dia hanya butuh satu pesan fantasi tertanam di benak konsumen.
Saya, Anda, dan kita semua mungkin sudah menjadi bagian dari korban fantasi. Wow!??***
PERANG KAPASITAS
Dua hari lagi kita habiskan bulan April. Artinya, sepertiga dari tahun ini segera menjadi catatan sejarah. Lazimnya, apa yang terjadi dalam sepertiga pertama akan menjadi referensi pada dua pertiga sisanya.
Sepanjang sepertiga pertama ini, satu pemandangan unik terjadi di industri telekomunikasi, khususnya selular: perang tarif hingga ke titik terendah.
Selaku pengasuh kolom ini, saya lebih cenderung menyebutnya perang kapasitas dan bukan perang tarif. Tentu saja, sebagian besar masyarakat kita sangat menyambut diskon besar-besaran ini meski di balik kesenangannya tersimpan pertanyaan besar: dari mana operator-operator selular itu meraup untung?
Bagaimanapun juga, penuh atau tidaknya seat pesawat, argo biaya tetap jalan: biaya avturnya sama, gaji pramugarinya sama, sewa parkirnya sama, dll.
Hal yang sama terjadi di industri selular. Padat tidaknya okupansi jaringan tidak mempengaruhi biaya listrik, biaya AC, gaji karyawan, dll. Perang
ASING TAPI LOKAL
Pakaian bermerek asing selalu saja diburu. Awalnya karena kualitas yang tak tertandingi namun kemudian bergeser dari kualitas ke persepsi. Konsumen membeli pakaian bermerek asing karena dianggapnya mampu mengangkat citra yang menggunakannya.
Wajarlah kemudian jika toko-toko yang menjajakan pakaian bermerek asing tidak pernah sepi. Jangankan baju baru, yang bekas pun masih laku. Di Sulawesi Selatan dikenal istilah pasar Cakar dan di Sulawesi Tenggara dengan nama RB.
Meski sepanjang hari dan sepanjang minggu pasar RB tidak pernah sepi pengunjung namun supply (pasokan barang) selalu saja mampu memenuhi demand (permintaan pasar). Pertanyaannya kemudian, kenapa demand untuk merek-merek asing selalu tinggi? Bukannya negeri ini sudah mampu menciptakan merek sendiri bahkan dengan kualitas yang jauh lebih baik? Jangankan baju, pesawat terbang saja sudah dapat dibuat di Era Orde Baru. Apalagi sekadar pakaian?
Di sinilah kedahsyatan merek asing.
Jika Anda sesekali perhatikan, tidak sedikit konsumen berbelanja, yang paling pertama diperhatikan bukan harganya. Bukan juga kualitasnya, apalagi jenis bahannya. Kiblat pertama kali adalah merek. Semakin terdengar asing suatu merek, semakin mudah konsumen membelinya.
Karena peluang ciamik ini, lahir pulalah ide-ide cerdik. Meski produk buatan asli
Lihatlah toko roti Holland Bakery yang mencirikan kincir angin di atap gerai tokonya dan bukan bendera merah putih atau lambang Garuda Pancasila. Lihat pula konsep iklan yang diusung Lea Jeans atau baju Stanley Adam dalam konteks asing, tagline asing, bahkan juga bintang iklan orang asing.
Padahal merek-merek itu asli
Masih ada tas Sophie Martin, kosmetik Tje Fuk, Donut J.Co, makanan Hoka Hoka Bento, pizza Papa Ron’s, dan banyak lagi.
Secara kualitas, merek-merek tersebut memang terbilang lumayan. Namun terlepas dari kualitas itu, sasaran yang sesungguhnya ingin dituju adalah persepsi kebanyakan kita yang memposisikan merek dalam negeri berkualitas rendah dan merek asing berkualitas tinggi. Maka lahirlah sekeranjang merek-merek asing namun sesungguhnya asli produk
Ini sekaligus bukti, betapa sebuah merek mampu menggoda “iman” sekaligus menggadaikan “kewarganegaraan” kita. ***
TIBA TIBA ITU NIKMAT
Tiba-tiba dapat undian, tiba-tiba naik haji, tiba-tiba ada bonus, tiba-tiba proposal disetujui, tiba-tiba naik pangkat, dan sederetan lagi kasus tiba-tiba kerap menjadi catatan sejarah kehidupan kita. Uniknya, semua ke-tiba-tiba-an itu berujung pada kenyamanan dan anugerah.
Ibu-ibu rumah tangga, sebelum pergi ke pasar ataupun mall, secarik kertas dan sebuah pulpen menjadi teman setianya. Mulai sikat gigi hingga pengharum ruangan tumplek di selembar kertas itu. Dengan harapan tidak ada lagi yang terlupakan saat belanja nantinya.
Kenyataan kemudian, setelah tiba di pasar, justru banyak belanjaan yang tadinya tidak terpikirkan ikut masuk ke kantong belanja. Bahkan tidak jarang terjadi, belanjaan yang tidak terencana lebih banyak dari yang terencana. Wow!
Lantas, kenapa masih saja over belanja? Bukannya catatan sudah di tangan? Bukannya uang yang dibawa pas-pasan? Bukannya barang-barang makin mahal sehingga tidak ada ruang untuk belanja ekstra?
Di sinilah peranan besar sang pemasar cerdas. Dalam kesempitan ruang gerak konsumen, produk yang tadinya tidak masuk dalam daftar belanjaan malah berhasil menyelinap ke kantong belanja. Maka kemudian, kita saksikan segepok belanjaan tak terduga seperti snack, ice cream, balon-balon, cokelat, roti, hingga parfum merapat di kantongan.
Tiba-tiba saja beli roti dan tiba-tiba saja beli parfum adalah dua contoh keberhasilan stimulus (rangsangan) yang dirancang baik di sekitaran produk. Stimulus bisa dicipta melalui diskon (cuci gudang), packaging (warna eye catching), aroma (efek penciuman), dan banyak lagi.
Perlu diketahui bahwa ketika sang ibu rumah mencatatakan daftar belanjaan, yang berfungsi dominan adalah otak kiri: kalkulasi matang sedetail-detailnya. Namun ketika melangkahkan kaki masuk ke pasar, fungsi otak kanan ikut berperan.
Otak kanan lebih banyak menggunakan emosi (melupakan logika), terpesona kemasan (mengabaikan harga), dan mengedepankan citra (exposure). Jika kemudian suatu produk berhasil menstimulus otak kanan, maka akan terjadilah pembelian tak terduga.
Urusan ada penyesalan kemudian karena budget belanja membengkak, itu pasal ke-13, Bung! Target pemasar bukan di situ. Target pemasar adalah menciptakan stimulus agar dapat menyelinap ke kantong belanja. That’s it!
Impulse buying, meski sebenarnya membuat ibu-ibu rumah tangga “merana” namun bagi pemasar itu adalah “anugerah”. Bagi pemasar, pembelian tiba-tiba itu nikmat.***
CIPTAKAN EXPERIENCE
Dari sederet negara yang pernah saya kunjungi sebelumnya, untuk China yang biasa disebut negeri tirai bambu ini memang patut diacungkan jempol. Kunjungan wisatawan terus mengalir seperti air bah yang tak terbendung.
Dari kacamata trik Marketing, pemerintah setempat terlihat mengedepankan sisi Experiencing (melibatkan pengunjung menciptakan pengalamannya) sebagai pendobrak pasar.
Great Wall (Tembok China), kabarnya sebagai salah satu bangunan besar dunia yang saking besarnya, dapat dipotret dengan foto satelit. Dari puncak Great Wall dapat pula disaksikan hijaunya alam Beijing.
Di salah satu puncak Great Wall, sebutlah Pos Satu (karena masih ada ratusan lagi anak tangga berikutnya), setelah kita menapaki 350-an anak tangga, terdapat satu pojok pembuatan "sertifikat" yang seakan mengesahkan bahwa kita telah mendaki dengan sukses ketinggian Great Wall. Meski terkesan hanya sebagai suvenir dan penerima "sertifikat" justru harus merogoh kocek 40 Yuan (Rp 55 ribu) sebagai ongkos cetak, namun peminatnya tetap saja berjubel.
Lain pula di Huangpu River, sungai tengah kota Shanghai yang terus ramai dikunjungi. Siang hari, terlihat pesona bangunan berkarakter unik dan modern berselang seling menjulang. Di malam hari, saat berdiri di titik yang sama, terlihat kemilau lampu menggaris setiap lekuk bangunan yang begitu mengagumkan. Shanghai di malam hari, tiba-tiba menjadi kota cahaya, tersulap oleh efek-efek lighting.
Great Wall di Beijing dan Huangpu River di Shanghai berhasil "menjual" dirinya melalui model Experiencing. Tetesan keringat setiap anak tangga dan suara ngos menderu di setiap pijakan anak tangga Great Wall memang cukup melelahkan. Namun perjuangan seru itu kemudian menjadi kenangan terindah yang ber-"sertifikat". Kedahsyatan efek-efek lighting di Huangpu River juga menyisakan pengalaman tak terlupakan yang tertancap tajam di memori kita.
Dan akhirnya, Great Wall dan Huangpu River menjadi cerita berkesinambungan ketika wisatawan kembali ke negara masing-masing.
Untuk itu, dagangan apapun yang dijajakan, jika diramu dengan model Experiencing akan menciptakan Word of Mouth (pembicaraan dari mulut ke mulut) dan terus membekas di ingatan hingga ribuan hari.
Agar berhasil menciptakan kesan berkualitas, tanamkan Experience (pengalaman) di benak konsumen.
Karena dengan menjadi Word of Mouth, lompatan besar penjualan akan lebih mudah diwujudkan.***
PERLEBAR JALAN MASUK
BBM Naik. Berita itu tiba-tiba menghantam pundi-pundi negeri ini. Bahan bakar bensin yang dominan digunakan, terkerek naik hingga 33,3% dari sebelumnya hanya Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liternya.
Sudah menjadi hukum alam. Ketika BBM naik, pasti berefek domino pada kenaikan biaya-biaya: biaya sekolah naik, harga obat menjulang, harga susu terdongkrak, juga harga sayur ikut melambung. Repotnya lagi, kenaikan biaya-biaya tidak berbanding lurus dengan kenaikan penghasilan.
Lalu menjadilah konsumen menahan diri dalam berbelanja. Mall, pasar tradisional, SPBU, juga warung-warung makan menjadi tidak seramai biasanya. Terasa seakan ada tembok tebal yang menghalangi konsumen masuk ke dunia transaksi.
Dalam kasus pemasaran, kondisi ini lazim dikenal dengan Entry Barrier (rintangan masuk). Kenaikan BBM menjadi pelaku utama yang menebalkan Entry Barrier. Konsumen tiba-tiba berpikir beli susu, beli buku, beli pulsa, dan kebutuhan-kebutuhan sekunder lainnya. Jika masih bisa minum teh, lupakan sementara susu bubuk. Begitu pula yang lain.
Kondisi ini kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi tim pemasar untuk kembali melakukan re-mapping (pemetaan ulang) dari berbagai sisi: harga, distribusi, hingga paket promosi.
Dalam waktu beberapa hari mendatang, kita akan menyaksikan sikap pemasar yang “back to nature” dengan mengusung tema efisiensi. Akan terdengarlah iklan balon lampu hemat listrik, promosi sabun cuci yang hanya segenggam mampu membersihkan sekeranjang pakaian, advetorial mobil irit bensin yang menampilkan perbandingan konsumsi bensin dengan jarak ditempuh.
Meski BBM naik, roda perusahaan harus tetap berputar. Seiring biaya operasional yang terus membengkak dan menggelindingnya tuntutan kenaikan gaji, maka pemasar perlu merobohkan Entry Barrier yang terbentuk alami sesegera mungkin.
Salah satu trik yang dapat dilakukan adalah memperlebar jalan masuk agar konsumen tetap bisa tergoda. Bukan lagi zamannya menggiring emotional benefit (
Hemat dan efisien, seketika akan menjadi bahasa keramat yang akan diagung-agungkan selama masa shock kenaikan BBM beberapa pekan mendatang. Setidaknya, dua kata ini akan menjadi magnet yang diharapkan memperlebar jalan masuk konsumen sehingga mereka seakan-akan merasa tidak ada kenaikan harga, karena yang dilihat kemudian adalah fungsinya. Bukan yang lain!***
PENASARAN ITU PERLU
Hari lahirnya Pancasila kembali diperingati 1 Juni lalu. Di hari yang sama, salah satu motivator negeri ini Tung Desem Waringin (TDW) menggelar pre-launching buku barunya. Baik peringatan Hari Lahir Pancasila ataupun pre-Launching buku harusnya peristiwa yang biasa-biasa saja.
Di rumah Guruh Soekarno Putra, Cinta Laura membacakan teks Pancasila ketika seremonial hari lahirnya Pancasila diperingati. Wanita berdarah Jerman itu maju ke panggung upacara dibalut pakaian seragam paskibraka serba putih. Semua mata memandang ke gadis belia itu ketika kata demi kata dibacakan.
Meski disiarkan berkali-kali di berbagai TV Swasta negeri ini, jutaan pasang mata terus saja kembali merapatkan pandangan ke sosok Cinta Laura. Tidak ada rasa bosan yang muncul. Justru kelucuan dan keluguan yang mengemuka, terbungkus rapih dalam kata p-e-n-a-s-a-r-a-n.
Bandingkan jika pejabat negara yang membacakan teks Pancasila. Apa respon kita? Jujur sih, mungkin kita alihkan channel TV ke sinetron atau gosip artis. Lalu ketika Cinta Laura membacakannya, fakta bicara lain. Ternyata, Cinta Laura mampu menghipnosis pasar.
Ibarat Pancasila sebuah produk yang lama tidak kita cicipi, dengan sedikit sentuhan mem-"penasaran"-
TDW punya cara lain menciptakan penasaran publik. Di hari yang sama, tepat di atas lapangan terbuka
Terlepas dari pro-kontra kegiatan bagi-bagi uang di tengah himpitan naiknya BBM, yang dapat dipetik dari ajang TDW itu adalah upaya menciptakan rasa penasaran publik. Makin menganga rasa penasaran, makin mudah pula pasar digerayangi.
Cinta Laura dan Tung Desem Waringin, keduanya adalah kontributor pencipta rasa penasaran. Dengan sentuhan mereka, publik ikut terhipnosis dan terdiam dalam kubangan penasaran. Lalu menjadilah Pancasila dan buku terbaru TDW terus teringat.
Sekali lagi ini bukti bahwa membuat penasaran itu perlu, karena di balik penasaran selalu ada pemasaran.***
MENCURI PERHATIAN
Sepanjang hari sejak kita bangun tidur hingga tidur kembali, ratusan iklan silih berganti masuk ke benak kita.
Agar efektif, maka placement iklan biasanya dilakukan di waktu-waktu yang banyak ditonton. Prime Time dikenal di industri televisi, antara pukul 18.00 – 21.00 waktu setempat. Di media cetak juga dikenal halaman paling banyak dibaca yaitu halaman depan dan belakang. Di Outdoor media juga dikenal titik paling banyak dilihat yaitu perempatan lampu merah.
Apapun media yang digunakan dan berapapun besaran iklan yang ditampilkan, sesungguhnya tujuan yang ingin dicapai hanya satu: mencuri perhatian!
Di tengah asyiknya menonton sinetron, tiba-tiba perhatian kita terpenggal iklan. Begitupula ketika mobil yang dikendarai berhenti di lampu merah, mata kita tiba-tiba tertuju ke bentangan spanduk. Yeah... itulah dunia iklan.
Lihatlah sederet konsep iklan kreatif yang kerap menciptakan rasa penasaran seperti Pelembab Pond’s, Air Asia, Rokok Sampoerna, TV Plasma, Peralatan Kebugaran, dan banyak lagi. Pelembab Pond’s misalnya, iklan yang ditayangkan di TV dan media cetak itu sengaja dibuat berseri. Setelah sekian bulan, penggalan-penggalan disatukan menjadi kompilasi cerita yang utuh.
Cerita iklan Pond’s telah mencuri perhatian publik selama beberapa bulan. Dengan keberhasilan itu, setidaknya brand awareness sudah tertanam secara perlahan –meskipun tidak semua orang membeli produknya.
Dalam konsep pemasaran dikenal istilah AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Untuk membuat publik bisa membeli suatu produk, langkah paling awal sepatutnya dilakukan adalah mencuri perhatian (Attention). Jika atensi-nya sudah berhasil diraih, setengah langkah penjualan sesungguhnya sudah berjalan.
Berikutnya sisa selangkah: ciptakan ketertarikan (Interest), lahirkan rangsangan untuk memiliki produk yang ditawarkan (Desire), lalu doronglah bertindak beli (Action).
Konsep AIDA telah dikenal sejak ratusan tahun lalu dan terus diimplementasikan hingga detik ini. Tentu saja diawali dengan satu kata kunci: mencuri perhatian!***