Minggu, Juni 22, 2008

TIBA TIBA ITU NIKMAT

Tiba-tiba dapat undian, tiba-tiba naik haji, tiba-tiba ada bonus, tiba-tiba proposal disetujui, tiba-tiba naik pangkat, dan sederetan lagi kasus tiba-tiba kerap menjadi catatan sejarah kehidupan kita. Uniknya, semua ke-tiba-tiba-an itu berujung pada kenyamanan dan anugerah.

Ibu-ibu rumah tangga, sebelum pergi ke pasar ataupun mall, secarik kertas dan sebuah pulpen menjadi teman setianya. Mulai sikat gigi hingga pengharum ruangan tumplek di selembar kertas itu. Dengan harapan tidak ada lagi yang terlupakan saat belanja nantinya.

Kenyataan kemudian, setelah tiba di pasar, justru banyak belanjaan yang tadinya tidak terpikirkan ikut masuk ke kantong belanja. Bahkan tidak jarang terjadi, belanjaan yang tidak terencana lebih banyak dari yang terencana. Wow!

Lantas, kenapa masih saja over belanja? Bukannya catatan sudah di tangan? Bukannya uang yang dibawa pas-pasan? Bukannya barang-barang makin mahal sehingga tidak ada ruang untuk belanja ekstra?

Di sinilah peranan besar sang pemasar cerdas. Dalam kesempitan ruang gerak konsumen, produk yang tadinya tidak masuk dalam daftar belanjaan malah berhasil menyelinap ke kantong belanja. Maka kemudian, kita saksikan segepok belanjaan tak terduga seperti snack, ice cream, balon-balon, cokelat, roti, hingga parfum merapat di kantongan.

Dalam kasus pemasaran, keputusan beli yang terjadi secara tiba-tiba seperti ini, dikenal dengan istilah Impulse Buying (unplanned decision to buy, made just before a purchase).

Tiba-tiba saja beli roti dan tiba-tiba saja beli parfum adalah dua contoh keberhasilan stimulus (rangsangan) yang dirancang baik di sekitaran produk. Stimulus bisa dicipta melalui diskon (cuci gudang), packaging (warna eye catching), aroma (efek penciuman), dan banyak lagi.

Perlu diketahui bahwa ketika sang ibu rumah mencatatakan daftar belanjaan, yang berfungsi dominan adalah otak kiri: kalkulasi matang sedetail-detailnya. Namun ketika melangkahkan kaki masuk ke pasar, fungsi otak kanan ikut berperan.

Otak kanan lebih banyak menggunakan emosi (melupakan logika), terpesona kemasan (mengabaikan harga), dan mengedepankan citra (exposure). Jika kemudian suatu produk berhasil menstimulus otak kanan, maka akan terjadilah pembelian tak terduga.

Urusan ada penyesalan kemudian karena budget belanja membengkak, itu pasal ke-13, Bung! Target pemasar bukan di situ. Target pemasar adalah menciptakan stimulus agar dapat menyelinap ke kantong belanja. That’s it!

Impulse buying, meski sebenarnya membuat ibu-ibu rumah tangga “merana” namun bagi pemasar itu adalah “anugerah”. Bagi pemasar, pembelian tiba-tiba itu nikmat.***

Tidak ada komentar: