Senin, September 29, 2008

Menjual Konsep Fitrah

Mudik. Sebaris kata itu makin sering terdengar di telinga akhir-akhir ini. Di tengah hiruk pikuk kesibukan, kita kemudian diingatkan untuk "kembali" ke pangkuan.

Anak yang merantau bertahun-tahun, terpanggil mudik ke orangtua. Kembali ke hati yang bersih tanpa dosa, ke hati yang fitrah.

Fitrah, ibarat dagangan yang selalu laris tak berujung. Walau dengan perjuangan dan biaya mudik yang tinggi, namun produk bermerek "fitrah" yang satu ini selalu saja terus terbeli setiap tahunnya.

Dalam kasus-kasus pemasaran, produk-produk berlabel "kembali ke fitrah" pun tampak banyak diminati. Lihatlah bagaimana rokok yang pernah dibenci, difatwakan, hingga diperingatkan di setiap bungkusannya. Ketika rokok mengusung konsep “fitrah” dengan pesan “Rendah Nikotin”, masyarakat kembali menerima rokok sebagai sahabat setia karena risiko kesehatannya yang terkesan makin kecil.

Cermati pula air kemasan Aqua. Dengan slogan "Dari Mata Air Pandaan Gunung Arjuno" menghantarkan kita serasa meneguk air bersih langsung dari kaki gunung. Rasanya jernih, alami, dan kembali ke fitrah.

Begitu pula yang lain. Ada teh melati, parfum aroma mawar, sabun cuci bunga, bahkan komputer Apel dan kondom stroberi. Ahhaaa....

Semua kembali ke alam. Rendah nikotin, mata air pegunungan, rasa melati, aroma mawar, seharum bunga, sedahsyat apel, selezat strawberry adalah usungan-usungan manis yang menggiring kita untuk kembali ke alam.

Cara-cara seperti ini kerap dilakukan tim pemasar sebagai jalur blue ocean (iklim kompetisi yang diciptakan secara kreatif untuk menjadikan kompetitor sulit mengimbanginya di jalur yang sama). Ketika kompetitor bicara teknologi tinggi, kita malah mengangkat tema-tema fitrah, tema kembali ke alam, tema go green.

Bulan lalu saya sempat menginap di Hotel Ritz Carlton, salah satu hotel berbintang lima di Jakarta. Pada acara makan malam terhidang sejumlah menu pilihan, dari traditional food hingga modern food. Mulai menu pembuka hingga menu penutup tersaji selengkap-lengkapnya.

Dari sederet menu tersaji, rupanya Nasi Goreng Ayam Kampung menjadi favorit saat itu. Pengunjung rela antri hingga setengah jam untuk sekadar mencicipi menu yang satu ini. Padahal di sisi kiri kanannya tersaji juga masakan Jepang yang tidak kalah lezatnya.

Ayam kampung, tiba-tiba menjadi magnet malam itu. Lidah tamu-tamu hotel yang sudah terbiasa dengan Pizza-nya Italia dan Yakiniku-nya Jepang merindukan kerenyahan ayam kampung, justru dalam suasana modern dan high tech-nya hotel berbintang.

Ayam kampung mengantarkan rasa makanan ala kampung, rasa kembali ke alam, kembali ke fitrah.

Sepanjang tahun, transaksi jual beli tidak pernah sepi terjadi. Namun ada satu dagangan yang tidak pernah luntur ditelikung zaman, yaitu alam.

Mungkin saatnya, positioning statement produk kita sesekali diserempetkan ke tema klasik mengusung konsep alam, konsep fitrah, sehingga konsumen selalu merindukan ingin "mudik" karenanya.***


Dimuat di Harian Kendari Pos, 29 September 2008