Selasa, September 02, 2008

Pertarungan Needs vs Wants

Ramadhan tiba. Ummat Islam di seluruh penjuru negeri ini serentak berpuasa, mulai Senin kemarin. Ramadhan, selaku bulan suci ummat Islam merupakan bulan yang didalamnya dianjurkan menahan hawa nafsu.

Hawa nafsu, jika diterjemahkan ke bahasa pemasaran akan berarti “nafsu berbelanja“ atau lebih kerennya disebut dengan “Wants“. Yang mendasari konsumen bertransaksi di pasar hanya dua hal: karena kebutuhan (need) atau karena keinginan (want).

Sebelas bulan sepanjang tahun, mungkin saja sebagian besar konsumen melewatinya dengan mengumbar keinginan. Yang terjadi kemudian, banyak belanjaan yang menarik dipandang saat di etalase dan langsung dibeli. Setelah tiba di rumah, tidak digunakan.

Tertariknya konsumen berbelanja yang bukan karena kebutuhan, di satu sisi merupakan prestasi di mata pemasar. Pemasar berhasil menciptakan fantasi di benak konsumen sehingga mendorong keinginan (want)-nya menjadi sebuah kebutuhan (need) yang tidak bisa ditolak, bahkan tidak bisa diundur-undur.

Berbagai trik selama ini dilakukan pemasar agar “wants“ berubah menjadi “needs“ seperti: Diskon Khusus Kemerdekaan, Sale Spektakuler Akhir Tahun, Beli 2 Dapat 3, bonus spesial, hadiah langsung, dan sederet lagi lainnya.

Lihatlah bagaimana agen property mengobral diskon beli rumah jelang HUT Kemerdekaan, Singapura menggelar agenda tahunan Singapore Sale, Indofood menghadang Wingsfood dengan program beli 5 gratis 1 bungkus, Sirup ABC menyisipkan info hadiah di balik tutup botolnya, Torabika menanamkan Kupon Hadiah jutaan rupiah di dalam sachet kopinya, dan seterusnya.

Ramadhan merupakan awal peak season dari sederet momen yang lain: lebaran, natal, dan tahun baru. Karena kejadiannya berurut kacang seperti itu, wajarlah jika menjadi lahan subur pemasar untuk meningkatkan penetrasi produknya.

Bahkan tidak sedikit produsen yang sepanjang sebelas bulan sebelumnya tidak pernah beriklan, tiba-tiba promosi besar-besaran saat Ramadhan tiba.

Tampaknya, kita tidak hanya diuji melupakan makan minum di siang hari tetapi juga kemampuan menahan nafsu keinginan. Di sinilah konsumen kembali diuji, apakah pola belanjanya sudah kembali ke jalan lurus (sesuai kebutuhan) atau masih gunakan pola lama (berdasar keinginan).

Jika segelas air sudah mampu menghilangkan haus, kenapa harus soft drink? Begitulah kira-kira. Selamat datang Ramadhan.... bulan pertarungan antara Needs dan Wants.***
Dimuat di Kendari Pos, 2 September 2008

Kemasan yang Landmark

Decak kagum langsung terkuak saat saya menginjakkan kaki di Bandara Internasional Hasanuddin di Makassar pekan lalu. Bandara yang baru saja diresmikan awal Agustus itu memang bukan sembarang bandara. Fasilitas dan desain interior berstandard internasional menjadikan penumpang semakin nyaman berada di sana.

Bandara yang dibangun lebih tiga tahun itu menelan biaya hingga 600 milyar rupiah. Rasanya tidak berlebihan jika pun saya katakan, saat kita berada di bandara itu, seperti sedang tidak berada di Indonesia. Bandara yang beroperasi di atas lahan 51 ribu meter persegi itu kini menjadi landmark baru Indonesia Timur, khususnya kota Makassar.

Landmark dapat diartikan sebagai sesuatu yang terlahir dari fenomena natural (gunung, pantai, air terjun, dll) dan bisa juga dari fenomena buatan (menara, candi, bandara, dll).

Sejumlah landmark di dunia seperti Taj Mahal di India, Burj al Arab di Dubai, Menara Eiffel di Paris, Piramida di Mesir, dan banyak lagi. Di Indonesia juga ada Monas, Candi Borobudur, Pantai Kuta, Bunaken, dan lainnya.

Beberapa titik landmark kadang-kadang di-brandingkan nama lokasi dengan huruf-huruf raksana. Lihatlah nama Hollywood di Bukit Lee Amerika Serikat, nama Losari di bibir pantai Losari Makassar, nama Coastarina (salah satu perumahan mewah) di Pantai Teluk Tering Batam, nama Papua di salah satu puncak gunung di sana, dan lainnya.

Apa sesungguhnya tujuan pembuatan landmark-landmark seperti itu? Bukannya tanpa nama tertancap di Bukit Lee, kota itu tetap saja dinamakan Hollywood?

Dalam pemasaran dikenal istilah differensiasi. Sebuah produk akan mudah diingat konsumen jika mampu tampil secara “different“. Tampilnya huruf-huruf raksasa di atas bukit atau cantiknya desain sebuah bandara akan terus diingat konsumen ketika dikemas secara “different“. Kota Makassar yang banyak dipersepsikan berwatak keras dapat teranulir dengan hadirnya bandara megah itu.

Tentu saja, di balik kemegahannya perlu dibarengi keramahan staf pelayanan di sejumlah titik transaksi: mulai check-in counter hingga boarding gate. Karena bandara adalah gerbang memasuki kota, maka kekaguman dan kesenangan konsumen saat menginjakkan kaki di gerbang itu secara psikologis akan mengantarkan kekaguman dan kesenangannya terhadap kota itu secara keseluruhan.

Sebuah produk, saat kemasannya terlihat menyenangkan maka juga akan berefek multiplier pada kesenangan konsumen saat mencicipinya. Kemasan, seperti halnya bandara, ia adalah gerbang memasuki jantung kota. Pastikan kemasannya terlihat different agar bisa menjadi landmark.***
Dimuat di kendari Pos, 25 Agustus 2008