Mata publik terbelalak! Sosok wanita cantik Manohara menghiasi pemberitaan negeri ini seminggu terakhir. Sejak kedatangannya kembali ke Indonesia Minggu pagi (31/05) lalu, pemburu berita dan penikmat berita sama-sama menghayati ”nyanyian merdu” sang model, Manohara Odelia Pinot.
Serasa tanpa beban, Manohara bercerita panjang lebar seputar penderitaan hidup dialami wanita kelahiran Jakarta 28 Februari 1992 itu, sejak menikah dengan Tengku Muhammad Fakhry, dari Kelantan Malaysia.
Wanita blasteran Bugis-Perancis dari Reiner Pinot Noack dan Daisy Fajarina itu mulai dikenal publik sejak Majalah Harper's Bazaar menobatkannya dalam 100 Pesona Indonesia. Kini, Manohara bisa menikmati udara bebas bumi nusantara meski masih tersisa satu pertanyaan besar: mengapa harus mengulur waktu melakukan visum sementara visum adalah kunci jawaban persoalan.
Dalam kasus pemasaran, sesungguhnya cukup banyak persoalan seperti itu. Sebuah produk biasanya tidak dibuat sempurna. Ponsel kita mungkin tampak kecil, ringan, berkamera, tapi tidak customized kirim-terima email sebagaimana Blackberry.
Harga rumah di ibukota, dijual Rp 999 Juta terdengar jauh lebih murah dibanding jika dibanderol Rp 1 Milyar, padahal sesungguhnya hanya selisih Rp 1 juta. Konsep yang sama juga sering digunakan pada pesta diskon di swalayan-swalayan.
Makin sebuah produk berada di pinggir jurang, ia makin dilirik. Makin mendekati sempurna, makin didekati. Makin bertengger di angka 999, makin terlihat murah. Begitulah seterusnya. Produk selalu dirancang “nyaris sempurna” agar bisa bertengger di “angka psikologis” konsumen.
Kisah Manohara pun begitu. Selama visum belum dilakukan, selama itu pula ia akan terus diperbincangkan. Selama itu pula telinga akan terus mendengar, hati akan terus menyimak, mata akan terus mengawasi.
Kondisinya berbeda jika visum dilakukan secepat mungkin. Jawaban tentu langsung dapat ditemukan. Cerita pun akan berakhir secepat mungkin! Tidak ada lagi denting-denting piano menyeruduk. Tidak ada lagi kepekaan telinga mendengar apa yang tidak terdengar.
Untuk membuat mata membelalak, jantung berdetak, adrenalin merontah, sang pemasar sebaiknya tidak mudah mengeluarkan “kata kunci”. Ulurlah waktu agar produk makin diperbincangkan, makin digoreng, makin digosipkan.
Karena produk butuh promosi, maka perbincangan selama masa “menunggu visum” adalah titik-titik psikologis yang efektif untuk makin dikenal publik. Keluarkanlah “hasil visum” di saat yang tepat agar cerita tidak segera berakhir. ***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos, 10 Juni 2009
Rabu, Juni 10, 2009
Langganan:
Postingan (Atom)