Senin, November 03, 2008

Lewat Lidah. Bukan Lewat Mata

Dalam perjalanan singkat saya di Jogyakarta akhir bulan lalu, saya mencicipi Sate Klathak di salah satu warung unik dalam pasar tradisional. Di pagi hari, pasar itu digunakan jualan para pedagang seperti halnya pasar tradisional lainnya. Di malam hari, beberapa kios digunakan jualan sate.

Berbekal terpal secukupnya, penikmat Sate Klathak mencicipi makanan dengan cara selonjoran. Piring, gelas, dan sendok jauh dari kesan elit. Segala-galanya sederhana persis warung pinggir jalan lainnya. Kesederhanaan dan keunikan warung itu terus menjadi buah bibir. Media cetak dan elektronik juga tidak berhenti meliputnya. Bahkan warung itu sempat menjadi liputan wisata kuliner salah satu TV swasta negeri ini.

Daging yang disate menggunakan jeruji (terali) sepeda. Ini sudah tradisi secara turun temurun. Sengaja tidak menggunakan rautan bambu karena diyakini jeruji sepeda mampu menghantarkan panas sehingga daging bagian dalam lebih matang. Serat dagingnya halus tanpa bau karena menggunakan daging kambing muda usia tujuh bulan.

Satenya tanpa rempah. Cukup dengan uyah (garam) yang diracik bersama daging sebelum dipanggang. Tidak ada bumbu kacang. Hanya ada sepiring nasi dan sate garam.

Konsep out of the box yang diusung Sate Klathak ini membuat deretan pejabat, artis, dan public figure lainnya silih berganti mencicipinya. Keunikan konsep Sate Klathak mengingatkan saya pada Valarei Zeithaml, pakar pemasaran jasa yang mengelompokkan bisnis jasa menjadi tiga kelompok besar.

Pertama, kelompok High in Search Attributes (bisnis yang ditentukan strategisnya lokasi seperti pakaian, mebel, kendaraan, dll); Kedua, kelompok High in Experience Attributes (bisnis yang mengandalkan pengalaman pelanggan seperti entertaintment, salon, pembasmi racun, makanan minuman, dll). Ketiga, kelompok High in Credence Attributes (bisnis yang ditentukan oleh kepercayaan klien seperti jasa hukum, pengobatan, pendidikan, service elektronik, dll).

Rupanya, Sate Klathak masuk kategori kedua yaitu bisnis yang sarat pengalaman. Meski lokasi yang sangat tidak strategis --karena berada dalam pasar, jualan bahkan di malam hari saat pasar sudah sepi, cara makan yang selonjoran di atas terpal-- namun karena berhasil mengusung konsep Experience secara tepat, makanya selalu dicari.

Bisnis makanan sesungguhnya bukan jualan gaya sehingga untuk kondisi tertentu, ia tidak butuh tampilan yang elegan. Lihat saja sederet liputan kuliner tradisional lainnya yang berlokasi jauh dari kesan modern. Karena itu, makanan selalu menjual pengalaman lewat citarasa. Pengalaman yang ditangkap lewat lidah, bukan lewat mata.***

Dimuat di Kendari Pos, 3 November 2008
Saran via SMS 0815 2400 4567