Minggu, September 21, 2008

Kualitas itu Ada Dua

Setujukah Anda, pakaian yang melekat di badan Anda saat ini berkualitas baik? Air minum kemasan yang Anda minum memang jernih? Mobil yang Anda gunakan sehari-hari dijamin aman?

Mungkin Anda tidak setuju, jika saya katakan bahwa keputusan Anda membeli pakaian, air kemasan, juga mobil adalah hasil rekayasa kualitas.

Secanggih apapun alat yang digunakan memproduksi sebuah barang, konsumen tidak punya cukup waktu meneliti dan berkunjung ke pabrik untuk sekadar meyakini kualitasnya. Mesin jahit impor dari Amerika, benang halus dari Swedia, kancing ukir dari India, tukang jahit telaten dari Jepang, air limbah berkadar pupuk, dan seterusnya... adalah sebuah deretan panjang proses pembuatan pakaian jadi, yang tentu saja hanya diketahui internal pabrikan.

Apakah konsumen tahu proses panjang nan higienis itu? Hampir bisa dipastikan, konsumen 100% tidak tahu! Lalu kenapa konsumen tertarik membeli produk yang sebenarnya tidak diketahui kualitasnya? Bukankah kualitas selalu menjadi pertimbangan utama?

Sebuah produk yang dibuat melalui pengawasan ketat mutu pastilah produk berkualitas. Dalam ilmu pemasaran dikenal dengan istilah Actual Quality. Artinya, secara fakta produk tersebut memang berkualitas.

Di sisi lain, ketika produk tiba di pasar, iklim kompetisi dan konsep pemasaran mengambil peran penting melebihi pentingnya kualitas fakta. Tidak jarang terjadi, produk berkualitas ditinggalkan konsumen dan yang laku justru produk-produk lini kedua atau ketiga.

Kualitas itu ada dua: fakta dan persepsi. Hadirnya mesin impor, bahan baku bermutu, tukang jahit telaten, dan lain-lain adalah fakta (actual quality). Sementara jika sebuah produk dipilih konsumen karena dianggapnya sebagai produk berkualitas, itu adalah persepsi (perceived quality).

Persepsi kualitas bisa tertancap di benak konsumen karena adanya rekayasa kualitas (perception engineering) yang dibangun dengan baik oleh tim pemasar. Sebuah produk direkayasa agar terkesan berkualitas melalui bombardir iklan, pemberitaan, testimoni, kekuatan word of mouth, dan banyak lagi.

Wajar saja jika Al Ries dan Jack Trout, tokoh positioning dunia menganjurkan tim pemasar sebaiknya lebih fokus pada pembentukan persepsi konsumen dibanding menyampaikan fakta. Wow!

Pernyataan ini bisa saja benar. Sebab meski konsumen tidak tahu secara pasti kualitas fakta namun ketika diyakininya sebuah produk itu berkualitas, tak seorang pun mampu mengubah apa yang dikatakan konsumen. Persepsi konsumen terhadap kualitas tiba-tiba mengalahkan fakta.

Karenanya, berkreasilah agar produk Anda terkesan berkualitas. Hadirkan persepsi kualitas di benak konsumen! Karena sesungguhnya, perang pemasaran terletak di persepsi, bukan di fakta. ***


Dimuat di Harian Kendari Pos, 22 September 2008