Minggu, Februari 26, 2012

Biarkan Ratu Duduk Manis

Makin tinggi pohon, makin tinggi juga angin menerpanya. Makin kuat iman seseorang, makin ganas juga setan menggodanya.

Ketika sebuah merek memimpin pasar, kursi kerajaan yang didudukinya selalu diserang kompetitor dengan berbagai cara. Kalau saja sang pemimpin pasar tidak mempunyai "iman" yang kuat, mereka akan tergoda mengikuti arus deras persaingan.

Fakta menunjukkan, hanya sedikit merek yang kuat imannya untuk tidak tergoda. Justru banyak pemimpin pasar terpeleset mengikuti rancak gendang sang penggoda (kompetitor).

Lihat saja pemandangan setahun - dua tahun lalu ketika Honda terbujuk rayu moleknya pasar roda dua hingga terlena dan sempat diisalip beberapa bulan oleh Yamaha. Begitupun Nokia yang terninabobokkan alunan irama pertumbuhan selular dan lupa memperhitungkan tren industri yang bergeser ke pasar Social Media hingga kemuudian pasarnya direbut Blackberry.

Extra Joss pun begitu. Bermaksud mengikuti rel kompetisi secara apik namun akhirnya menginjak ranjau pesaing. Secara kinerja, Extra Joss termasuk sangat kinclong bahkan pada 2005 sempat menembus omset Rp 1 Triliun yang selama ini tidak pernah ditembus produk konsumsi.

Pengalaman pahit Extra Joss yang sangat fenomenal cukup menarik dijadikan cerminan untuk kajian kasus pemasaran. Ketika seru-serunya mencapai puncak sekitar tahun 2003-2004, Extra Joss yang sudah matang tergoda rayuan pemain seksi lain yang baru saja menginjak remaja dan sedang gemulai-gemulainya menari di pentas kompetisi, seperti Hemaviton Jreng, Kuku Bima, dan M-150.

Karena mengintip keberhasilan para merek remaja itu menyajikan varian rasa, Extra Joss seketika kalang kabut lalu menjadi follower. Dia langsung meluncurkan varian rasa lebih manis, Extra Joss LG.

Di sinilah kesalahan fatal Extra Joss karena secara frontal melawan pesaing dengan brand yang sudah ada (Extra Joss). Seharusnya, perlawanan dilakukan dengan mendorong fighting brand ke atas pentas. Begitu kurang lebih komentar Simon Jonathan, Direktur Pengelola Bintang Toejoe ketika diwawancarai media setahun lalu.

Pelajaran yang dapat dipetik darri kasus ini bahwa merek yang sudah mapan jangan digaruk lagi. Biarkan dia duduk manis di singgasananya hingga tertidur pulas menikmati surga pasar. Untuk maju berperang, dianjurkan menggunakan merek khusus yang memang ditujukan sebagai prajurit lapangan. Apa yang dilakukan pesaing, ajukan jawaban dengan fighting brand itu.

Saya salut dengan strategi Garuda Indonesia. Segmen yang dibidiknya dari kalangan menengah ke atas. Menghadapi Lion Air yang semakin lincah, Garuda menyodorkan Citilink sebagai fighting brand. Yang terjadi kemudian, pasar Garuda tetap terjaga dan permintaan pasar terhadap Low Cost Carrier juga dapat terjawab.

Keberhasilan sebuah merek merupakan inner beauty yang seharusnya terus dijaga kekokohannya. Hempasan angin yang datang sesekali itu wajar. Untuk melindungi kemolekan inner beauty, munculkan daun muda (as fighting brand) dan biarkan merek itu berlaga dengan para penantang di dataran rumput.

Jangan mengganggu ketenangan hidup sang ratu di kursi kekuasaan. Biarkan sang ratu duduk manis dan relakan fighting brand berdarah-darah di medan tempur.***

Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 27 Februari 2012