Senin, Juli 06, 2009

Bukan Beli Kucing dalam Karung

Debat Capres tiba-tiba menjadi fenomena baru. Sejak negeri ini merdeka, baru pemilihan presiden kali ini yang terjadi sangat alot dan seru. Kemeriahan itu diwarnai oleh adanya debat Capres yang ditonton secara live di seluruh Indonesia.

Pekan lalu adalah debat terakhir. Para Capres mengeluarkan jurus-jurus jitu sebagai “tendangan pamungkas” di akhir pertandingan. Tak ketinggalan Capres JK yang mempunyai sense of humor cukup tinggi sesekali menyindir lawan-lawannya dengan gaya saudagarnya.

Di Makassar sendiri, digelar Nonton Bareng Debat Capres di Maraja Ballroom Hotel Sahid, dihadiri lima ratusan penonton. Saya juga sempatkan diri hadir di tengah kerumunan mereka sekalian ingin merasakan nuansa-nuansa pemasaran di balik rasa penasaran yang membuncah.

Usai nonton saya temukan satu benang merah bahwa di zaman serba transparan sekarang ini, masyarakat Indonesia sudah makin tersadar membutuhkan “The Real President”. Mereka sadar bahwa Pilpres bukan transaksi barang yang hanya melihat kulit luarnya. Bukan lagi saatnya beli kucing dalam karung.

Dalam kasus pemasaran kita temukan sejumlah produsen yang cenderung lebih konsentrasi pada kemasan dibanding isi. Kondisi ini pada beberapa kasus dapat diterima pelanggan karena mereka memang (atas perintah otak kanan) lebih mementingkan apa kata kemasan dibanding kualitas isi.

Lihat saja bagaimana mobil-mobil baru didesain menyerupai sedan supaya mengendarai mobil besar itu serasa naik sedan. Ada pula body TV yang dibuat makin tipis agar serasa TV Super Slim. Juga merek-merek baju dibuat berbahasa Inggris sehingga seakan memakai baju impor meski sebenarnya Made in Indonesia.

Strategi seperti itu tidak sepenuhnya bisa digunakan di Pilpres. Setiap calon dikuliti cara berpikirnya dengan pertanyaan dan pernyataan di sepanjang debat. Bahkan dari sisi kecerdasan emosional juga diuji melalui sindiran-sindiran menggelitik.

Demokrasi bangsa ini telah menancapkan pesan istimewa bagi kita semua bahwa negeri kita sedang butuh pemimpin yang dapat diterima semua golongan. Karenanya, untuk menemukan pemimpin ideal itu, masyarakat tidak hanya mencari kemasan cantik (dengan janji-janji kampanye) tetapi juga kualitas lahir batin (realistis dan transparan).

Sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Menilai isi buku tidak lagi bisa dari kulit luar saja. “Don’t judge a book by its cover,” kata orang bijak. Dalil “penasaran” yang banyak berlaku dalam kasus “pemasaran” agaknya tidak lagi berlaku di sini. Selamat mencontreng!***

Saran via SMS: 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos, 07 Juli 2009