Bulan Februari menjadi bulan ditunggu-tunggu pasangan kawula muda. Konon, 14 Februari adalah hari kasih sayang sedunia, yang dalam istilah kerennya disebut sebagai hari Valentine.
Jika melirik ke sejarah, tanggal tersebut merupakan hari kematian pendeta Santo Valentine yang dilambangkan sebagai pejuang kasih sayang di zaman kepemimpinan Kaisar Claudius di Roma tahun 269 M. Sebagai bentuk simpati pada pejuang cinta Santo Valentine itu, lalu dirayakanlah hari kasih sayang setiap tanggal 14 Februari di Perancis, Inggris, dan Roma. Hingga akhirnya, kawula muda di sekitaran kita juga ikut merayakan Hari Valentine tanpa mengetahui asbaabun nuzulnya.
Terlepas dari pro-kontra itu, saya mencoba memandangnya dari kacamata pemasaran. Sepanjang tahun, hampir tiap bulan kita mempunyai cerita khusus. Februari dengan Kasih Sayang-nya, April dengan April Mop-nya, Oktober dengan Semangat Persatuan-nya, Desember dengan Bakti Ibu sepanjang masa, dan banyak lagi.
Betapa hampanya hari-hari kita jika tanpa cerita. Juga betapa jenuhnya kegiatan kantor jika kita hanya masuk jam 08.00 pagi dan pulang jam 17.00 sore dengan datang, duduk, diam, mengetik, lalu pulang.
Yang menancap di ingatan kita ketika masa muda sepuluh tahun lalu adalah ”cerita-cerita yang membekas”. Semakin indah cerita masa lalu, semakin kita ingin kembali ke masa itu. Karena sejumlah ”cerita”, maka kita bisa membedakan masa lalu dan masa kini.
Begitupun dengan merek. Jika ada lima merek susu terpajang di etalase, maka seharusnya ada lima cerita seru yang terungkap. Mungkin saja setelah meminumnya, kita akan berkesimpulan: Milo padat cokelat, Dancow lebih alami, Ovaltine menyatu dengan air, Anlene agak asin, Bendera rasa merdeka. Hehe....
Semakin indah cerita yang didapatkan, kita pun semakin merindukan merek itu. Dalam kesehariannya, konsumen selalu diserbu ratusan merek dari berbagai penjuru. Baru bangun tidur langsung lihat Seiko. Sarapan pagi tampak Bango, Royco, Miyako. Ke kantor berjejer Alphard, Innova, Xenia. Selama di kantor ketemu Toshiba, Bantex, Stabilo. Kembali ke rumah berpapasan Suzuki, Honda, Yamaha.
Tiada waktu sedetikpun tanpa melihat merek. Bahkan ketika ke kamar mandi sekalipun kita masih dijejali Toto, Pepsodent, Biore, dan Lux. Hingga menjelang tidur, kita masih menyempatkan salam pisah dengan Blackberry.
Betapa beratnya tugas otak ini jika semua merek yang dilihat harus dihafal. Selama 365 hari setahun kita menemukan merek berseliweran di rumah, di jalan, juga di kantor. Berlangsung setiap detik, setiap hari, sepanjang tahun.
Tidak semua merek bisa diingat tetapi sebagian di antaranya justru tidak bisa dilupakan. Kenapa itu terjadi? Karena sesungguhnya yang melekatkan merek ke benak kita bukanlah susunan huruf dan warna tetapi lebih karena c-e-r-i-t-a!
Yeah... karena cerita-lah yang membuat kita semakin mesra dengan pasangan. Cerita-lah yang membuat kita semakin rindu kampung halaman. Cerita-lah yang membuat kita selalu ingin reuni. Cerita pulalah yang membuat kita bisa membedakan waktu.
Begitu pentingnya sebuah ”cerita” dalam sejarah hidup manusia sehingga setiap merek seharusnya bisa ”bercerita” tentang dirinya supaya mudah diingat dan dirindukan konsumen. Menghadirkan ”experiencing” adalah nilai tambah tertinggi dalam sebuah kompetisi.
Tarif hotel bintang lima mungkin lebih mahal lima kali lipat dibanding hotel melati namun faktanya hotel bintang lima selalu saja dicari dan dirindukan. Ukuran kamar boleh sama. Paras cantik resepsionis juga boleh sama. Yang membedakan hanyalah ”cerita/experiencing” yang dihadirkannya.
Agar tampil percaya diri di panggung kompetisi, maka hadirkanlah ”cerita” ke dalam merek!
Betul kata iklan: Ini ceritaku.... Mana ceritamu?***
Minggu, Februari 19, 2012
Langganan:
Postingan (Atom)