Senin, Desember 22, 2008

Memburu Sang Raja

Cash is King. Kalimat itu tiba-tiba menggelegar ke seluruh penjuru setelah Amerika terkapar karena krisis global. Semua negara terkena dampaknya. Tidak terkecuali Jerman, Jepang, Singapura, apalagi Indonesia.

Yeah... Dana segar kini betul-betul menjadi raja. Selain keajaiban doa, kedigdayaan dana segar kini mengambil peran penting. Siapa memegang dana segar, maka dia mempunyai "pelampung" untuk keluar dari gelombang besar krisis finansial.

Berbeda dengan krisis dialami negeri ini 10 tahun lalu. Saat itu hanya dipicu oleh kondisi internal sementara kali ini oleh kondisi eksternal di jantung ekonomi dunia, Amerika Serikat. Karena posisinya yang sangat strategis, ketika ia batuk maka gemetaranlah bagian tubuh yang lain. Indonesia, salah satu anggota tubuh itu.

Meski hanya diawali transaksi cicilan KPR namun dampaknya meluas hingga ke hadapan kita. Tidak sedikit perusahan ekspor menutup industrinya karena tidak ada aktivitas bisnis. Pembeli di luar negeri menahan dana segarnya untuk keperluan primer mereka. Mendatangkan barang dari Indonesia menjadi urutan ke-13. Akibatnya, tidak ada perputaran ekonomi lalu menjadi primadona-lah "perburuan" dana segar..

Peta ekonomi serta merta berubah. Pola belanja konsumen juga ikut berubah. Saat menjelang pergantian tahun, pola investasi juga ikut diperhitungkan untuk tahun depan.

Bukan lagi saat tepat mengandalkan dana mengendap karena tantangan tahun depan diprediksi jauh lebih berat dari tahun ini. Sepanjang ada celah investasi, sebaiknya dipersiapkan dari sekarang.

Don't put your eggs in one basket (Jangan letakkan telur-telurmu di keranjang yang sama). Pameo investasi ini perlu kembali didengungkan. Untuk bisa bertahan di tengah gelombang, jangan hanya mengandalkan satu kekuatan. Optimalkan arah angin, kain layar, gerakan tubuh, dan semua yang bisa dikerahkan.

Telur yang kita miliki perlu disimpan di banyak keranjang. Ketika salah satunya pecah akibat hempasan krisis, kita masih punya beberapa telur di keranjang lain. Peta investasi yang sulit terbaca memaksakan kita untuk segera membagi-bagi telur (diversifikasi usaha) ke beberapa keranjang investasi.

Ekspor yang pernah berjaya kini redup. Cengkeh dan cokelat yang dulu diidamkan kini lunglai. Saham yang pernah melejit kini terus menukik. Tak ada yang ahli membaca peta bisnis yang sangat fenomenal ini.

Mumpung masih tersisa waktu sepekan, masih ada ruang bagi kita untuk sama-sama memikirkan "permainan baru" di tahun baru nanti. Satu saran saya: jangan biarkan dana terlalu lama mengendap karena tahun depan dana segar masih menjadi primadona.

Bahkan dana segar nanti bukan lagi sekadar jadi Raja. Ia juga akan menjelma sebagai "Jack, Queen, dan King". ***

Saran via SMS: 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 22 Desember 2008

Minggu, Desember 14, 2008

Take and Give

Minggu lalu kita melewati Hari Raya Kurban. Ribuan ekor kambing turut menyaksikan ketulusan hati ummat Islam dalam mengikhlaskan sebagian hartanya melalui daging kurban.

Kurban bukan hanya dilakukan secara pribadi. Sejumlah organisasi mulai skala kecil (toko kelontong, organisasi alumni, ikatan persaudaraan suku) hingga skala besar (parpol, perusahaan, lembaga negara) ikut berpartisipasi menunaikan kurban.

Sejumlah perusahaan juga telah menjadikan kurban sebagai salah satu agenda rutin. Perusahaan sadar bahwa ia dapat bertumbuh dan menjadi besar karena dukungan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengimbangi kepentingan bisnis, maka dibuatlah program kemanusiaan yang lazim disebut CSR atau Corporate Social Responsibility. Selain kurban, mereka juga sudah menganggarkan aktivitas sosial lainnya seperti Donor Darah, Beasiswa, Kunjungan Panti, Pemberian Pinjaman Lunak, dan banyak lagi.

Dalam skop lebih besar, sejumlah negara juga tidak ketinggalan membuat program serupa. Jepang salah satunya. Sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, Jepang membiayai program pertukaran pemuda antar negara-negara Asean, meskipun ia sendiri bukan anggota Asean.

Ia menyiapkan kapal eksklusif Nipponmaru sebagai sarana transportasi untuk berkunjung dari satu negara ke negara lain. Kapal ini sekelas kapal pesiar dengan ratusan kamar, mempunyai ruang theatre, kolam renang, klinik, meeting hall, bahkan restoran dengan standard pelayanan hotel bintang lima.

Peserta program berasal dari pemuda Asean seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Brunei, Philipina, dan lainnya. Seratusan peserta setiap tahun menikmati “alam mimpi”-nya selama dua bulan masa program itu, tanpa dipungut biaya sedikitpun. Jepang, selaku sponsor tunggal kegiatan ini menghabiskan biaya milyaran rupiah.

Apa sesungguhnya yang dicari dengan kegiatan-kegiatan kemanusiaan? Mulai kurban, donor darah, kunjungan panti, hingga pertukaran pemuda, adakah kaitannya dengan bisnis?

Seperti termaktub dalam kitab-kitab suci bahwa hidup kita diciptakan berpasang-pasangan: hitam-putih, kalah-menang, wanita-pria, pergi-pulang, atas-bawah, hingga pada masalah take and give.

Jika lapar, maka makanlah. Jika haus, minumlah. Pada tingkatan lebih ekstrim, jika Anda mengharap, maka memberilah. Inilah salah satu tujuan program CSR bahwa dana yang diperoleh dari masyarakat patut dikembalikan benefitnya ke masyarakat.

Agar perusahaan tetap langgeng dan awet, program CSR dipandang perlu. Untuk bisa menerima, maka memberilah terlebih dahulu. Karena dengan itu, keseimbangan hidup akan terus terjadi di muka bumi.***


Saran SMS: 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Grup), 16 Desember 2008

Minggu, November 30, 2008

People Contact

Terus berbenah! Sepotong kata itu lebih tepat disandingkan pada Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Daerah pemerintahan yang usianya belum menginjak lima tahun itu, di awal Desember ini menggelar gawean berskala internasional, mulai pameran hingga seminar.

Daerah baru dibawah kemudi Hugua ini, tidak henti-hentinya memperkenalkan diri ke pasar dunia, mengusung konsep pariwisata. Bermodalkan terumbu karang cantik di dasar laut, daerah itu berani tampil dengan positioning ”Surga Nyata Bawah Laut”.

Untuk berkunjung ke daerah itu, memang membutuhkan ”perjuangan dan doa”. Saya sendiri berkunjung ke daerah itu tujuh bulan lalu dengan pengalaman tak terlupakan. Perjalanan yang seharusnya ditempuh hanya lima jam dengan speedboat dinas Bupati Wakatobi yang dipinjamkan, namun karena gelombang laut yang tak dapat dihalau, perjalanan menghabiskan waktu hingga dua puluh lima jam. Itu pun, sudah dilengkapi proses ”terdampar” semalam di pulau kecil, Ereke.

Dengan pengorbanan waktu yang tidak sedikit untuk berkunjung ke daerah itu, Wakatobi tidak pernah putus harapan. Terbukti, kalangan pejabat hingga artis sudah menginjakkan kaki dan menikmati keindahan alam bawah laut Wakatobi. Bahkan tanpa pikir panjang, Wakatobi juga menjadikan Nadine Chandrawinata sebagai endorser-nya.

Dalam memperkenalkan dunia wisata, perlu diingat bahwa sesungguhnya kita sedang ”menjual” keindahan alam ke mata dunia. Alam itu benda mati, tak dapat berbicara, dan tak dapat merespon. Yang membuatnya hidup adalah manusia di sekitarnya. Makanya, kondisi seperti ini lazim disebut menjual jasa.

Hal yang sama terjadi di penerbangan, perbankan, perhotelan, telekomunikasi, dan lainnya. Penerbangan menjual tiket dan menerbangkan manusia dari satu bandara ke bandara lain. Mulai tiket, bandara, kursi pesawat, ruang kedatangan, hingga bagasi, semuanya benda mati. Yang membuatnya ”hidup” adalah manusia di belakang benda-benda itu.

Ikan dan terumbu karang memang cantik sebagaimana bandara dan pesawat selalu tampak canggih. Namun kecantikan dan kecanggihan tidaklah cukup tanpa polesan people contact (senyum, ramah tamah, helpful, basa-basi, dan sederet lainnya).

Di sinilah sesungguhnya benang merah jualan jasa. Apapun yang kita jual, kunci keberhasilan ada pada manusianya. Wakatobi, Toraja, Manado, Lombok, Jogja, Bali dan daerah lain yang mengusung konsep pariwisata sebagai dagangan utamanya perlu menyadari ini. Bahwa keindahan alam yang benda mati itu akan menjadi hidup jika didukung people contact yang baik.***

Minggu, November 23, 2008

Laskar-laskar Pemasar

Film Laskar Pelangi (LP) baru saja beredar beberapa pekan terakhir. Menurut sejumlah penikmat film Indonesia, Laskar Pelangi hasil sentuhan Riri Riza diprediksi akan menyusul kesuksesan film Ayat-ayat Cinta (AAC). Meski masih sebatas prediksi namun hampir dapat dipastikan dugaan itu akan benar. Respon masyarakat terhadap film itu sudah terlihat sejak proses produksi hingga masa penayangan.

Pembicaraan hangat terus menyebar melalui berbagai media interaksi (social network) sebangsa Yahoo Messager, Facebook, Blog, Email, dll. Berkat jejaring sosial yang disajikan oleh internet, komunikasi langsung dapat terjadi ke jutaan orang sekaligus dalam hitungan detik.

Dulu, kita mengenal istilah arisan, kelompok belajar, karang taruna, dan sederet sarana interaksi lainnya. Saat ini, media-media itu sudah bergeser ke dunia maya --sebuah dunia yang menghubungkan manusia tanpa batas negara, tak melihat warna kulit, dan juga tidak kenal batasan umur.

Kabarnya, kesuksesan film AAC beberapa bulan lalu turut dikontribusi oleh jejaring sosial seperti ini. Ketika seseorang yang baru saja menonton filmnya, masih dalam suasana haru, menulis pengalaman menontonnya ke dalam blog ataupun email. Lalu dikirim ke teman-temannya, selanjutnya cerita itu berantai hingga ribuan orang tertarik menontonnya.

Di sini terlihat betapa digdayanya sebuah kekuatan jejaring sosial yang (sebenarnya hanya) karena seseorang saja terharu lalu menyebar bagai virus ke ribuan komputer dengan cepat. Tampak pula, betapa tulusnya penonton yang secara tidak sadar menjadi laskar-laskar pemasar yang dalam kasus pemasaran lazim disebut metode Viral Marketing.

Secara teori dipahami bahwa Viral Marketing adalah metode penyampaian informasi menarik dan menghibur secara cepat ke jutaan manusia melalui jejaring sosial (creating interesting and entertaining messages that spread exponentially, usually trough methods such as the web to large numbers of people).

Sadar dengan kekuatan Viral Marketing ini, tidak sedikit perusahaan mulai menggeser perhatiannya ke pemanjaan komunitas ini dengan mendengar keluhannya dan mengobati kekecewaannya. Dengan Viral Marketing, pelanggan bisa menjadi laskar yang baik sekaligus laskar yang buruk. Jika senang, maka ia akan bercerita baik pada jejaring sosialnya. Ketika dikecewakan, ia akan melakukan hal sebaliknya.

Jalur ini sudah sepatutnya diwaspadai sejak dini. Ibarat lalu lintas kendaraan, jejaring sosial yang satu ini sudah menjadi jalur alternatif di mana arus kendaraan cenderung dialihkan ke arah itu karena diyakini lebih efisien. Selamat datang di alam maya. Selamat datang laskar-laskar pemasar!***

Saran SMS: 0815 2400 4567

Rabu, November 19, 2008

Belajar pada Obama

Ini bukan analisa politik. Bukan juga kampanye Amerika. Tulisan ini lebih melihat kemenangan Obama dari sisi strategi "memasarkan" dirinya di negara adidaya.

Barrack Hussein Obama, awal November ini telah menorehkan sejarah sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika; presiden ke-44, di usia ke-44.

Saya sempat mengikuti pidato kemenangannya melalui CNN (yang selanjutnya juga disiarkan TV Nasional kita) sesaat setelah dinyatakan menang oleh KPU setempat. Obama berkali-kali menyebut kalimat pamungkasnya dengan penuh semangat: "Yes, We Can!"

Berbulan-bulan sebelum hari kemenangan tiba, Obama memang selalu menarik perhatian dengan sepotong kalimatnya itu, yang dalam kasus pemasaran disebut sebagai Positioning Statement.

SBY-JK, Soetrisno Bachir, dan Rizal Mallarangeng merupakan tokoh politik yang juga punya Positioning Statement di mata publik. Bersama Kita Bisa (SBY-JK), Hidup adalah Perbuatan (Soetrisno Bachir), Where There is a Will, There is a Way (Rizal Mallarangeng) adalah sebagian dari deretan panjang positioning di kancah politik negeri ini.

Lazimnya, Positioning dikenal sebagai "janji-janji surga" yang dibuat untuk menciptakan cara pandang konsumen terhadap diri (merek) kita.

Dalam keseharian, kita pernah mendengar janji-janji surga sejumlah merek dagang seperti: How Low Can You Go (A Mild), Buktikan Merahmu (Gudang Garam), Always On Always Connected (Blackberry), Karena Wanita Ingin Dimengerti (Softex), Apapun Makanannya, Minumnya Teh Botol Sosro (Teh Sosro), Terus Terang Philips Terang Terus (Lampu Philips), dan banyak lagi.

Sesungguhnya, janji-janji surga tidak dilarang dalam pemasaran. Justru dianjurkan! Dengan janji surga, positioning merek yang diusung tampak makin jelas., bahkan menjadi pembeda dari yang lain.

Obama tampak berhasil membungkus harapan perubahan warga Amerika yang saat ini diterpa krisis finansial dan juga PHK besar-besaran. Tentu saja, dengan sebaris janji surganya, "Yes, We Can!".

Sekali lagi, tidak ada yang melarang membuat janji surga karena itu adalah positioning. Hanya saja, agar tidak terjadi fire-back (serangan balik), sebaiknya positioning yang dibuat tidak terlalu muluk-muluk (reasonable and tangible).

Janji surga adalah Positioning. Kampanye adalah penggerak (seperti promosi ATL-BTL). Sementara Hari Pencoblosan laksana Hari Pasar di mana publik menentukan pilihan (merek yang diminati).

Sebelum sebuah merek dimasukkan ke ranah publik -- entah produk, jasa, ataupun caleg--, hal pertama yang perlu diperkuat adalah Positioning. Ia selalu dijadikan rujukan konsumen sebelum mereka berbelanja. Seperti halnya Obama, merek juga butuh positioning. Maka perkuatlah!***

Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 18 November 2008

Minggu, November 09, 2008

Lupakan Kerugian!

Belum cukup sebulan, Bank Niaga mengirimkan Kartu Kredit Platinum ke alamat saya. Selama empat tahun terakhir, saya memang pengguna Kartu jenis Gold. Uang plastik yang satu ini, selain sangat membantu transaksi belanja, juga menjadi dewa penolong di bandara dengan fasilitas Executive Lounge-nya.

Belakangan ini, akses masuk Executive Lounge tidak bisa lagi dinikmati dengan kartu Gold. Hanya jenis Platinum yang bisa nikmati makan minum sepuasnya di Lounge. Terkait kebijakan itu, saya coba mengajukan sejumlah pertimbangan ke Contact Centre Bank Niaga.

Singkat cerita, Bank Niaga memaklumi masukan-masukan saya dan sebagai bentuk perhatian besarnya, ia mengirimkan Kartu Kredit Platinum dengan limit belanja empat kali lebih besar dari limit sebelumnya. Wow!

Dalam sebuah perjalanan wisata ke Singapura beberapa bulan lalu, teman seperjalanan saya juga menjadi saksi sejarah suguhan Layanan Prima Singapore Airlines. Di tempat duduk kawan saya mengalami gangguan audio sehingga suara film favorit dan lagu-lagu pilihan tidak dapat didengar melalui headset di sepanjang perjalanan.

Pramugari kemudian datang memohon maaf atas ketidaknyamanan itu sembari menyodorkan voucher belanja senilai USD 100 (sekitar Rp 1 juta) sebagai kompensasi ketidaknyamanan. Voucher itu dapat dinikmati belanja apa saja di sepanjang perjalanan melalui In Flight Shop.

Bank Niaga dan Singapore Airlines, keduanya telah menunjukkan keseriusan pada kepuasan pelanggan. Pelayanan keduanya tidak lagi memilah antara pelanggan biasa dan VIP. Mereka memandang setiap pelanggan adalah VIP sehingga mutlak dilayani sebaik-baiknya.

AC Neilsen, sebuah lembaga riset independen mempublikasikan hasil penelitiannya tahun lalu bahwa 78% alasan pelanggan memilih suatu produk karena direkomendasikan oleh teman. Angka ini melebihi kekuatan sponsorship, keampuhan website, dan kedigdayaan media.

Upgrade limit belanja yang diberikan Bank Niaga hingga empat kali lipat mungkin keputusan berani. Kompensasi Singapore Airlines senilai Rp 1 juta bisa jadi sebuah pemborosan. Namun kedua perusahaan ini sesungguhnya ingin membuktikan bahwa pelanggan mutlak ditempatkan di atas segala kepentingan perusahaan.

Pelanggan adalah mitra, raja, pasien, sekaligus pembuat rekomendasi. Jika ia sakit, segera sembuhkan sebelum ia menyarankan pasien lain berpindah ke “dokter” tetangga. Untuk itu, ketika bicara kenyamanan pelanggan, lupakan dulu nilai kerugian. Sekali lagi, nasib perusahaan selalu tergenggam erat di tangan pelanggan.***


Saran via SMS 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos, 11 November 2008

Senin, November 03, 2008

Lewat Lidah. Bukan Lewat Mata

Dalam perjalanan singkat saya di Jogyakarta akhir bulan lalu, saya mencicipi Sate Klathak di salah satu warung unik dalam pasar tradisional. Di pagi hari, pasar itu digunakan jualan para pedagang seperti halnya pasar tradisional lainnya. Di malam hari, beberapa kios digunakan jualan sate.

Berbekal terpal secukupnya, penikmat Sate Klathak mencicipi makanan dengan cara selonjoran. Piring, gelas, dan sendok jauh dari kesan elit. Segala-galanya sederhana persis warung pinggir jalan lainnya. Kesederhanaan dan keunikan warung itu terus menjadi buah bibir. Media cetak dan elektronik juga tidak berhenti meliputnya. Bahkan warung itu sempat menjadi liputan wisata kuliner salah satu TV swasta negeri ini.

Daging yang disate menggunakan jeruji (terali) sepeda. Ini sudah tradisi secara turun temurun. Sengaja tidak menggunakan rautan bambu karena diyakini jeruji sepeda mampu menghantarkan panas sehingga daging bagian dalam lebih matang. Serat dagingnya halus tanpa bau karena menggunakan daging kambing muda usia tujuh bulan.

Satenya tanpa rempah. Cukup dengan uyah (garam) yang diracik bersama daging sebelum dipanggang. Tidak ada bumbu kacang. Hanya ada sepiring nasi dan sate garam.

Konsep out of the box yang diusung Sate Klathak ini membuat deretan pejabat, artis, dan public figure lainnya silih berganti mencicipinya. Keunikan konsep Sate Klathak mengingatkan saya pada Valarei Zeithaml, pakar pemasaran jasa yang mengelompokkan bisnis jasa menjadi tiga kelompok besar.

Pertama, kelompok High in Search Attributes (bisnis yang ditentukan strategisnya lokasi seperti pakaian, mebel, kendaraan, dll); Kedua, kelompok High in Experience Attributes (bisnis yang mengandalkan pengalaman pelanggan seperti entertaintment, salon, pembasmi racun, makanan minuman, dll). Ketiga, kelompok High in Credence Attributes (bisnis yang ditentukan oleh kepercayaan klien seperti jasa hukum, pengobatan, pendidikan, service elektronik, dll).

Rupanya, Sate Klathak masuk kategori kedua yaitu bisnis yang sarat pengalaman. Meski lokasi yang sangat tidak strategis --karena berada dalam pasar, jualan bahkan di malam hari saat pasar sudah sepi, cara makan yang selonjoran di atas terpal-- namun karena berhasil mengusung konsep Experience secara tepat, makanya selalu dicari.

Bisnis makanan sesungguhnya bukan jualan gaya sehingga untuk kondisi tertentu, ia tidak butuh tampilan yang elegan. Lihat saja sederet liputan kuliner tradisional lainnya yang berlokasi jauh dari kesan modern. Karena itu, makanan selalu menjual pengalaman lewat citarasa. Pengalaman yang ditangkap lewat lidah, bukan lewat mata.***

Dimuat di Kendari Pos, 3 November 2008
Saran via SMS 0815 2400 4567

Minggu, Oktober 26, 2008

Saat Context Berbicara

Menginap di hotel berbintang pastilah mewah. Standar pelayanan yang tinggi berusaha diciptakan untuk menjadikan tamu-tamu serasa ada di rumah sendiri atau feel at home. Lazimnya, sebuah hotel dikategorikan hotel berbintang jika memenuhi syarat tertentu seperti lobi, restoran, lahan parkir, kolam renang, jumlah kamar, dan sebagainya. Kelengkapan syarat menentukan kategori bintangnya.

Hotel sesungguhnya menjual pelayanan dalam bentuk content dan context. Sebagai tempat menginap adalah content-nya sementara kenyamanan yang terbungkus rapih melalui sambutan hangat resepsionis, alunan music di lobi, fasilitas kolam renang yang bersih, view kamar mengarah ke bibir pantai, empuknya spring bed beserta bantal-bantalnya adalah sederet context.

Persaingan terbesar di bisnis hotel ada pada context. Siapa yang berhasil memoles context, merekalah yang menang. Bahkan saat context berbicara, lalu harga bukan lagi persoalan.

John Gray, pengarang buku Men are From Mars - Women are From Venus mengatakan bahwa pria berasal dari planet Mars mengedepankan rasio (logika) sementara wanita berasal dari Venus yang lebih mengutamakan emosi (perasaan). Keduanya sering terjadi perselisihan karena berasal dari planet berbeda, lalu berbeda pulalah sudut pandangnya.

Seiring bergeraknya kebutuhan secara dinamis, kini pria sudah menggandeng wanita ke alam Venus dan menjadikan emosi lebih penting dibanding rasio. Dalam kasus pemasaran, dapat diterjemahkan bahwa mayoritas konsumen saat ini sudah bergeser mengedepankan context dibanding content.

Selain bisnis hotel, terdapat pula sejumlah jalur bisnis yang karena mengusung context lalu tidak pernah sepi peminat. Cermatilah pengagum Harley Davidson, penikmat Kopi Sturbuck, penggila tas Lois Vitton, pelanggan restoran Kentucky Fried Chicken, penggemar buku-buku Gramedia, pengguna handphone Nokia, dan banyak lagi.

Nokia, salah satu merek pengusung Context telah membuktikan pada dunia selaku pemenang mengalahkan dominasi pendahulunya (Ericsson, Motorola, Siemens). Belasan tahun lalu, ketika produsen handphone mengutamakan kualitas, Nokia hadir membawa positioning berbeda: connecting people, handphone yang mengerti Anda, handphone tanpa sudut laksana tubuh manusia yang juga tanpa sudut.

Nokia tidak bicara kualitas (content). Nokia bicara lebih humanis (context). Keberaniannya mengusung Context Differentiation saat itu membuahkan hasil signifikan selama bertahun-tahun. Selama satu dekade, Nokia telah merajai industri handphone di dunia.

Satu bukti, saat Context berbicara, pasar dunia sekalipun ikut takluk.***


Dimuat di Harian kendari Pos, 27 Oktober 2008

Senin, Oktober 20, 2008

Efek-efek Buzz....

Sudah lebih sepertiga abad saya injakkan kaki di bumi, baru pertama kali diberi kado khusus pekan lalu, dari salah seorang kawan. Satu kantong kresek hitam diantarkan pagi-pagi buta ke rumah saya dengan penuh riang. “Ini oleh-oleh Bombana,” katanya singkat. Setelah saya buka, ternyata berisi pasir. Benar-benar pasir!

Maksud kawan yang baru saja pulang dari Bombana itu memberi sekantong pasir supaya saya belajar mendulang sendiri karena dia mencoba mendulang di rumahnya dari pasir yang sama dan mendapatkan beberapa butiran emas. Wow!

B-o-m-b-a-n-a. Kota yang dulu tidak terpikirkan tiba-tiba jadi topik hangat di mana-mana. Mulai dari warung kopi, apotik-apotik, ruangan menteri, hingga lantai bursa tidak berhenti membicarakannya. Betapa tidak, saat terjadi krisis global dan kepanikan perekonomian yang luar biasa di seantero dunia, Bombana hadir membawa harapan hidup yang lebih baik.

Saat terjadi penemuan butiran emas di sana, ratusan manusia kemudian berkumpul. Selang sepekan, dikabarkan lautan manusia sudah ribuan. Sepekan berikutnya, diberitakan lagi sudah menyentuh dua puluh ribuan.

Tidak lama berselang, terdengar pula penemuan biji intan di Konsel (Konawe Selatan). Tidak cukup sepekan, pencari intan langsung menyemut ribuan manusia. Apa pula ini? Kenapa secepat itu manusia menyemut? Apakah karena masyarakat kita kebanyakan pengangguran dan ketika mendengar penemuan emas dan intan langsung beranjak dari lamunan?

Padahal Bombana dan Konsel sendiri tidak pernah beriklan!
Bombana dan Konsel, dua contoh menarik dikupas dengan kacamata marketing. Bergerombolnya pencari emas dan intan di kedua tempat itu karena dampak cerita yang didengungkan dari mulut ke mulut, yang dalam kasus pemasaran secara spesifik dikenal dengan istilah Buzz Marketing.

Ketika efek buzz (dengung) berhasil diciptakan, maka setengah perjalanan sesungguhnya sudah direbut. Urusan “biji intan” yang di-buzz-kan itu asli atau tidak, bukan lagi hal utama. Minimal, sebagian “produk buzz” sudah terdengar ke mana-mana, seperti kata Intan, Konsel, Sultra, Gubernur Baru, dan seterusnya.

Buzz marketing adalah turunan dari sebuah gambar besar yang disebut WOMM (Word of Mouth Marketing = aktivitas pemasaran yang menstimulus konsumen hingga secara tidak sadar merekomendasikan produk/jasa kepada orang lain).

Konsep WOMM mengenal banyak cara, di antaranya Buzz Marketing, Viral Marketing, Guerilla Marketing, Community Marketing, dan Blog Marketing. Keterbatasan ruang ini tidak memungkinkan dibahas secara serentak.***

Dimuat di Harian Kendari Pos, 20 Oktober 2008

Senin, Oktober 13, 2008

Katrol Merek Lahir Batin

Agar sebuah merek dapat dikenal cepat oleh publik, hal yang paling mudah dilakukan adalah mengatrolnya ke permukaan. Merek dapat dikatrol dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya, mengoptimalkan popularitas public figure yang dalam kasus pemasaran dikenal dengan istilah endorser.

Pada umumnya, pemasar memilih artis sebagai endorsernya meskipun sebagian juga memilih olahragawan, presenter, puteri Indonesia, tokoh masyarakat, politisi, ataupun lainnya. Sebut saja dari kalangan artis seperti Tamara Blezynski (Lux), Agnes Monica (Jamu Tolak Angin), Asmirandah (Indosat), Band Ungu (Relaxa), Band Antique (KFC), Project Pop (Komix), dan banyak lagi.

Dari kalangan Olahragawan Michael Jordan (Nike), Presenter Irfan Hakim (Sarimi) Puteri Indonesia Nadine Chandrawinata (Wakatobi), Tokoh Masyarakat Mbah Maridjan (Kuku Bima) juga ikut meramaikan panggung endorser produk. Tidak ketinggalan sederet politisi yang menjadi endorser partai mereka masing-masing.

Public figure, selain punya segudang fans, mereka juga mempunyai karakter pribadi yang dapat dilekatkan pada positioning merek yang sedang digawanginya sehingga memudahkan jalan terkatrolnya merek ke permukaan. Ketika Tamara menampilkan kulit bersihnya dengan pesan Lux misalnya, masyarakat lalu meng-assosiasi-kan kemulusan kulit Tamara karena hasil polesan Lux.

Jika kemudian komunikasi endorser berhasil maka produsen dapat dengan mudahnya mencapai angka penjualan dalam waktu singkat. Biaya kontrak endorser yang bisa mencapai milyaran rupiah itu akhirnya tidak berarti apa-apa dibanding popularitas merek dan penjualan yang terkatrol dengan cepat.

Namun begitu, ada pula kisah tragis yang tak dapat dilupakan ketika Michael Jackson dinobatkan sebagai endorser Pepsi Cola beberapa waktu lalu. Pepsi Cola dan Coca Cola adalah dua merek raksasa softdrink cola yang berkompetisi ketat dan saling intip, baik pada program pemasaran, varian produk, hingga performansi penjualan.

Saat Jackson melakukan show keliling Asia sekitar tahun 1995, kenyataan pahit terjadi di Thailand. Jackson tidak dapat tampil di depan puluhan ribu penggemarnya akibat dehidrasi. Mengetahui hal itu, tanpa pikir panjang, Coca Cola langsung mengontak koran Bangkok Post dan membuat iklan satu halaman. Bunyinya singkat tapi cerdas: “Dehidrasi? Minum Coca Cola!” Ahhaaa....

Kalau sudah begini, jadi endorser ternyata tidak mudah. Popularitas merek adalah taruhannya. Agar merek yang diusung bisa sehat lahir batin, sang endorser dituntut untuk juga selalu sehat lahir batin, luar dalam.***

Dimuat di Harian Kendari Pos, 13 Oktober 2008

Senin, Oktober 06, 2008

Bangunlah Jembatan Kecil

Lebaran betul-betul jadi momentum besar. Selain akbar secara agama, lebaran juga dimaksimalkan para pemasar untuk menggemakan eksistensi perusahaannya di Hari Raya yang diperingati serentak di seluruh tanah air.

Di antara program yang digelar adalah memberikan fasilitas mudik gratis bagi komunitasnya. Ada yang membidik komunitas pelanggan, retailer, bahkan para tukang dan buruh lapangan.

Perusahaan otomotif menggratiskan biaya mudik bagi pengguna motor merek tertentu. Perusahaan telekomunikasi menyasar frontliner dari komunitas outlet, yang selama ini membantu penjualan pulsanya. Sementara itu, produsen semen membidik para tukang dan buruh bangunan.

Patut diketahui bahwa produsen barang ataupun jasa terbagi dua kategori: ada yang bersentuhan langsung dengan pelanggan, ada pula yang tidak. Kategori yang tidak bersentuhan langsung ini lazimnya menggunakan perantara distributor, retailer, dan outlet.

Hadirnya musim mudik rupanya dimaksimalkan sang produsen bersentuhan langsung dengan pelanggannya, yang oleh Philip Kotler menyebutnya sebagai upaya menciptakan “jembatan”. Fasilitas mudik gratis merupakan salah satu upaya membangun jembatan-jembatan kecil agar tercipta hubungan harmonis antara perusahaan dan pelanggannya secara langsung.

Setahun penuh, pelanggan dengan loyal mengkonsumsi produk tertentu. Barang-barang tersebut dibelinya di toko-toko ataupun outlet-outlet kecil di pinggir jalan. Panjangnya rantai hubungan dari produsen ke pelanggan menjadikan perusahaan sangat sulit menyentuhkan langsung kepedulian sosialnya kepada mereka.

Di sisi lain, perusahaan selalu menyadari bahwa aset terbesar mereka sesungguhnya ada pada loyalitas pelanggan. Semakin loyal pelanggan, maka semakin kokoh perusahaan. Sebaliknya, kebangkrutan akan terjadi jika pelanggan mereka tidak loyal.

Gaji yang diterima karyawan bukan berasal dari investor. Sepenuhnya dari pelanggan. Dana dari hasil belanja pelanggan dikumpul secara profesional dan sistematis, selanjutnya dibagi dua: sebagian mengucur untuk gaji, sebagian lagi untuk operasional perusahaan.

Karena itu, perusahaan mutlak menjaga loyalitas pelanggan agar roda perusahaan terus bergulir. Sejarah tidak pernah mencatat perusahaan bangkrut karena kebanyakan pelanggan. Keuntungan perusahaan selalu berbanding lurus dengan grafik pertumbuhan pelanggan.

Untuk itu, setiap perusahaan perlu membaca lebih jeli dan lebih banyak lagi momentum untuk membangun jembatan-jembatan kecil loyalitas tadi. Selain lebaran, momentum lain yang bisa dioptimalkan seperti uang tahun kelahiran, ulang tahun perkawinan, ulang tahun istri, musim back to school, musim haji, natalan, tahun baru, valentine, dan banyak lagi.

Pelanggan akan lebih loyal jika kita berhasil menciptakan jembatan-jembatan kecil karena mereka merasakan suatu kedekatan emosional yang lebih personal.***

Dimuat di Kendari Pos, 6 Oktober 2008

Senin, September 29, 2008

Menjual Konsep Fitrah

Mudik. Sebaris kata itu makin sering terdengar di telinga akhir-akhir ini. Di tengah hiruk pikuk kesibukan, kita kemudian diingatkan untuk "kembali" ke pangkuan.

Anak yang merantau bertahun-tahun, terpanggil mudik ke orangtua. Kembali ke hati yang bersih tanpa dosa, ke hati yang fitrah.

Fitrah, ibarat dagangan yang selalu laris tak berujung. Walau dengan perjuangan dan biaya mudik yang tinggi, namun produk bermerek "fitrah" yang satu ini selalu saja terus terbeli setiap tahunnya.

Dalam kasus-kasus pemasaran, produk-produk berlabel "kembali ke fitrah" pun tampak banyak diminati. Lihatlah bagaimana rokok yang pernah dibenci, difatwakan, hingga diperingatkan di setiap bungkusannya. Ketika rokok mengusung konsep “fitrah” dengan pesan “Rendah Nikotin”, masyarakat kembali menerima rokok sebagai sahabat setia karena risiko kesehatannya yang terkesan makin kecil.

Cermati pula air kemasan Aqua. Dengan slogan "Dari Mata Air Pandaan Gunung Arjuno" menghantarkan kita serasa meneguk air bersih langsung dari kaki gunung. Rasanya jernih, alami, dan kembali ke fitrah.

Begitu pula yang lain. Ada teh melati, parfum aroma mawar, sabun cuci bunga, bahkan komputer Apel dan kondom stroberi. Ahhaaa....

Semua kembali ke alam. Rendah nikotin, mata air pegunungan, rasa melati, aroma mawar, seharum bunga, sedahsyat apel, selezat strawberry adalah usungan-usungan manis yang menggiring kita untuk kembali ke alam.

Cara-cara seperti ini kerap dilakukan tim pemasar sebagai jalur blue ocean (iklim kompetisi yang diciptakan secara kreatif untuk menjadikan kompetitor sulit mengimbanginya di jalur yang sama). Ketika kompetitor bicara teknologi tinggi, kita malah mengangkat tema-tema fitrah, tema kembali ke alam, tema go green.

Bulan lalu saya sempat menginap di Hotel Ritz Carlton, salah satu hotel berbintang lima di Jakarta. Pada acara makan malam terhidang sejumlah menu pilihan, dari traditional food hingga modern food. Mulai menu pembuka hingga menu penutup tersaji selengkap-lengkapnya.

Dari sederet menu tersaji, rupanya Nasi Goreng Ayam Kampung menjadi favorit saat itu. Pengunjung rela antri hingga setengah jam untuk sekadar mencicipi menu yang satu ini. Padahal di sisi kiri kanannya tersaji juga masakan Jepang yang tidak kalah lezatnya.

Ayam kampung, tiba-tiba menjadi magnet malam itu. Lidah tamu-tamu hotel yang sudah terbiasa dengan Pizza-nya Italia dan Yakiniku-nya Jepang merindukan kerenyahan ayam kampung, justru dalam suasana modern dan high tech-nya hotel berbintang.

Ayam kampung mengantarkan rasa makanan ala kampung, rasa kembali ke alam, kembali ke fitrah.

Sepanjang tahun, transaksi jual beli tidak pernah sepi terjadi. Namun ada satu dagangan yang tidak pernah luntur ditelikung zaman, yaitu alam.

Mungkin saatnya, positioning statement produk kita sesekali diserempetkan ke tema klasik mengusung konsep alam, konsep fitrah, sehingga konsumen selalu merindukan ingin "mudik" karenanya.***


Dimuat di Harian Kendari Pos, 29 September 2008

Minggu, September 21, 2008

Kualitas itu Ada Dua

Setujukah Anda, pakaian yang melekat di badan Anda saat ini berkualitas baik? Air minum kemasan yang Anda minum memang jernih? Mobil yang Anda gunakan sehari-hari dijamin aman?

Mungkin Anda tidak setuju, jika saya katakan bahwa keputusan Anda membeli pakaian, air kemasan, juga mobil adalah hasil rekayasa kualitas.

Secanggih apapun alat yang digunakan memproduksi sebuah barang, konsumen tidak punya cukup waktu meneliti dan berkunjung ke pabrik untuk sekadar meyakini kualitasnya. Mesin jahit impor dari Amerika, benang halus dari Swedia, kancing ukir dari India, tukang jahit telaten dari Jepang, air limbah berkadar pupuk, dan seterusnya... adalah sebuah deretan panjang proses pembuatan pakaian jadi, yang tentu saja hanya diketahui internal pabrikan.

Apakah konsumen tahu proses panjang nan higienis itu? Hampir bisa dipastikan, konsumen 100% tidak tahu! Lalu kenapa konsumen tertarik membeli produk yang sebenarnya tidak diketahui kualitasnya? Bukankah kualitas selalu menjadi pertimbangan utama?

Sebuah produk yang dibuat melalui pengawasan ketat mutu pastilah produk berkualitas. Dalam ilmu pemasaran dikenal dengan istilah Actual Quality. Artinya, secara fakta produk tersebut memang berkualitas.

Di sisi lain, ketika produk tiba di pasar, iklim kompetisi dan konsep pemasaran mengambil peran penting melebihi pentingnya kualitas fakta. Tidak jarang terjadi, produk berkualitas ditinggalkan konsumen dan yang laku justru produk-produk lini kedua atau ketiga.

Kualitas itu ada dua: fakta dan persepsi. Hadirnya mesin impor, bahan baku bermutu, tukang jahit telaten, dan lain-lain adalah fakta (actual quality). Sementara jika sebuah produk dipilih konsumen karena dianggapnya sebagai produk berkualitas, itu adalah persepsi (perceived quality).

Persepsi kualitas bisa tertancap di benak konsumen karena adanya rekayasa kualitas (perception engineering) yang dibangun dengan baik oleh tim pemasar. Sebuah produk direkayasa agar terkesan berkualitas melalui bombardir iklan, pemberitaan, testimoni, kekuatan word of mouth, dan banyak lagi.

Wajar saja jika Al Ries dan Jack Trout, tokoh positioning dunia menganjurkan tim pemasar sebaiknya lebih fokus pada pembentukan persepsi konsumen dibanding menyampaikan fakta. Wow!

Pernyataan ini bisa saja benar. Sebab meski konsumen tidak tahu secara pasti kualitas fakta namun ketika diyakininya sebuah produk itu berkualitas, tak seorang pun mampu mengubah apa yang dikatakan konsumen. Persepsi konsumen terhadap kualitas tiba-tiba mengalahkan fakta.

Karenanya, berkreasilah agar produk Anda terkesan berkualitas. Hadirkan persepsi kualitas di benak konsumen! Karena sesungguhnya, perang pemasaran terletak di persepsi, bukan di fakta. ***


Dimuat di Harian Kendari Pos, 22 September 2008

Rabu, September 17, 2008

Pilah Pilih Merek

Setengah perjalanan Ramadhan alhamdulillah dilalui dengan baik. Sekarang kita berada di titik tengah di mana setengah perjalanan berikutnya menuju hari fitri, hari kemenangan ummat Islam seluruh dunia.

Intensitas belanja konsumen mulai terlihat. Dari sekadar mempersiapkan bahan kue, pakaian baru, handphone baru, hingga mobil baru. Rasanya tidak ada ruang aktivitas ekonomi yang tidak luput dari serbuan ini.

Di tengah padatnya transaksi jual beli, terdengar pula sejumlah merek yang terus eksis agar kocek calon pembeli dapat “tergoda“. Sebut saja merek Dannis (baju koko anak-anak), sarung Atlas dan Wadimor (perlengkapan shalat), songkok Manis (kopiah), Carvil (sandal), Levi’s (jins), Polo (kaos berkerah), dan banyak lagi.

Dalam kesibukan berbelanja, konsumen masih saja terus mencari merek-merek ternama. Meski harga lebih mahal dibanding merek biasa, namun itu bukan masalah. Merek, seakan telah menjelma menjadi jati diri pemakainya.

Sesungguhnya, ada apa dengan merek? Bukankah hanya sebuah nama?

Jika kembali ke dunia permerekan, sebuah merek sebenarnya hanyalah pembeda dari produk sejenis. Agar dapat membedakan deretan baju yang diproduksi beberapa produsen, maka dibuatlah merek A, merek B, dst. Setelah dicermati lebih lanjut, ternyata konsumen tidak hanya butuh sekadar pembeda tetapi lebih dari itu, hingga ke tataran identitas diri.

Saat ini, merek sudah dapat diartikan makin luas. Ia adalah citra, pengalaman, objek, juga simbol. Sebagai citra (image), dapat dilihat pada Montblanck (pena), Harley Davidson (motor besar), Gudang Garam (rokok pemberani), dan banyak lagi.

Sebagai pengalaman (experience), dapat dilihat pada Sturbuck (kedai kopi), Roti J.Co (kedai roti), Plaza Indonesia (mal belanja), JW Marriott (hotel berbintang), dan seterusnya.

Sebagai objek (object), dapat dilihat pada Aqua (air minum kemasan), Cosmopolitan (majalah wanita modern), dan lainnya.

Sebagai simbol (symbol), dapat dilihat pada Nokia (handphone), Philips (lampu), Karcell (kalkulator), dan sebagainya.

Dimensi-dimensi tersebutlah kemudian menjadi alasan konsumen untuk selalu memilah dan memilih merek. Karena konsumen punya karakter berbeda, mereka juga punya cara pandang berbeda terhadap merek.

Jelang hari fitri, merek-merek sebangsa Dannis, sarung Atlas, songkok Manis, sandal Carvil, Jins Levi’s, Kaos Polo adalah sebagian dari sederet panjang merek yang mengemuka. Merek tersebut dipilih konsumen, mungkin saja karena alasan pencitraan (image) atau salah satu dari tiga lagi alasan lainnya.***

Dimuat di Kendari Pos, 16 September 2008

Senin, September 08, 2008

Ada Value di Mata Pelanggan

Serentak! Sejumlah perusahaan besar di negeri ini memperingati Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas) tepat 4 September 2008 lalu. Hari istimewa ini memang tidak populer di semua negara. Hanya Indonesia yang mempunyai hari khusus memanjakan pelanggannya.

Ide pencanangan hari pelanggan diawali Handi Irawan, konsultan independen spesialis kepuasan pelanggan. Kegigihannya memperjuangkan kepuasan pelanggan bak gayung bersambut. Pemerintah Indonesia yang ketika itu dikomandoi Megawati Soekarno Putri mencanangkan Harpelnas pada 4 September 2003. Selanjutnya terus diperingati setiap tahun untuk memberikan layanan ekstra kepada pelanggan-pelanggan Indonesia.

Lazimnya, industri jasa yang sangat serius memperingati hari istimewa itu, di antaranya: penerbangan, perbankan, perhotelan, dan telekomunikasi. Beberapa contoh ekstra layanan yang digelar seperti tiket gratis, minuman selamat datang, bonus voucher, dan banyak lagi. Tujuannya satu: menghadirkan senyum pelanggan negeri ini di hari tersebut.

Logo Harpelnas sendiri menunjukkan karakter senyum manusia berwarna dasar hijau. Warna hijau identik kesejukan (cool), persahabatan (friendly), dan ramah tamah (polite). Sebelah kanan karakter senyum terdapat tulisan “Senyum Pelanggan Indonesia“ dengan huruf kecil. Tipologi huruf tersebut mencerminkan rendah hati dan ingin berkembang.

Kata pelanggan, meski penamaannya berbeda-beda di tiap industri namun sense of service-nya sama. Mereka disebut sebagai penumpang (penerbangan), nasabah (perbankan), tamu (hotel), pelanggan (telekomunikasi), juga konsumen (industri lain) namun harapan sebagai pelanggan selalu berkiblat pada keinginan dilayani dengan baik atau sering disebut dengan Customer Satisfaction.

Persepsi selama ini berkembang bahwa satisfaction dapat tercipta jika penyedia jasa dapat memenuhi keinginan pelanggan. Jika ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya tidak demikian.

Ketika pelanggan mengharapkan segelas air lalu penyedia jasa memberinya segelas air, itu bukanlah satisfaction. Pemberian segelas air baru sebatas “memenuhi kebutuhan“ dan belum pada “memuaskan kebutuhan“.

Pelanggan akan puas jika diberikan segelas air dan sedikit value (seperti seuntai senyum, sebuah sapaan, atau sebaris panggilan nama). Artinya, kepuasan itu lebih pada personal touch.

Jika hanya mampu men-deliver jasa tanpa menghadirkan value, maka tak ada bedanya dengan robot. Karena pelanggan adalah manusia, di mana secara natural juga membutuhkan sentuhan kemanusiaan, maka di situlah pentingnya sebuah value.

Jasa ataupun produk yang dijual di banyak industri sesungguhnya sama. Yang membedakannya hanya value, bukan teknologi.***


Dimuat di Kendari Pos, 8 September 2008

Selasa, September 02, 2008

Pertarungan Needs vs Wants

Ramadhan tiba. Ummat Islam di seluruh penjuru negeri ini serentak berpuasa, mulai Senin kemarin. Ramadhan, selaku bulan suci ummat Islam merupakan bulan yang didalamnya dianjurkan menahan hawa nafsu.

Hawa nafsu, jika diterjemahkan ke bahasa pemasaran akan berarti “nafsu berbelanja“ atau lebih kerennya disebut dengan “Wants“. Yang mendasari konsumen bertransaksi di pasar hanya dua hal: karena kebutuhan (need) atau karena keinginan (want).

Sebelas bulan sepanjang tahun, mungkin saja sebagian besar konsumen melewatinya dengan mengumbar keinginan. Yang terjadi kemudian, banyak belanjaan yang menarik dipandang saat di etalase dan langsung dibeli. Setelah tiba di rumah, tidak digunakan.

Tertariknya konsumen berbelanja yang bukan karena kebutuhan, di satu sisi merupakan prestasi di mata pemasar. Pemasar berhasil menciptakan fantasi di benak konsumen sehingga mendorong keinginan (want)-nya menjadi sebuah kebutuhan (need) yang tidak bisa ditolak, bahkan tidak bisa diundur-undur.

Berbagai trik selama ini dilakukan pemasar agar “wants“ berubah menjadi “needs“ seperti: Diskon Khusus Kemerdekaan, Sale Spektakuler Akhir Tahun, Beli 2 Dapat 3, bonus spesial, hadiah langsung, dan sederet lagi lainnya.

Lihatlah bagaimana agen property mengobral diskon beli rumah jelang HUT Kemerdekaan, Singapura menggelar agenda tahunan Singapore Sale, Indofood menghadang Wingsfood dengan program beli 5 gratis 1 bungkus, Sirup ABC menyisipkan info hadiah di balik tutup botolnya, Torabika menanamkan Kupon Hadiah jutaan rupiah di dalam sachet kopinya, dan seterusnya.

Ramadhan merupakan awal peak season dari sederet momen yang lain: lebaran, natal, dan tahun baru. Karena kejadiannya berurut kacang seperti itu, wajarlah jika menjadi lahan subur pemasar untuk meningkatkan penetrasi produknya.

Bahkan tidak sedikit produsen yang sepanjang sebelas bulan sebelumnya tidak pernah beriklan, tiba-tiba promosi besar-besaran saat Ramadhan tiba.

Tampaknya, kita tidak hanya diuji melupakan makan minum di siang hari tetapi juga kemampuan menahan nafsu keinginan. Di sinilah konsumen kembali diuji, apakah pola belanjanya sudah kembali ke jalan lurus (sesuai kebutuhan) atau masih gunakan pola lama (berdasar keinginan).

Jika segelas air sudah mampu menghilangkan haus, kenapa harus soft drink? Begitulah kira-kira. Selamat datang Ramadhan.... bulan pertarungan antara Needs dan Wants.***
Dimuat di Kendari Pos, 2 September 2008

Kemasan yang Landmark

Decak kagum langsung terkuak saat saya menginjakkan kaki di Bandara Internasional Hasanuddin di Makassar pekan lalu. Bandara yang baru saja diresmikan awal Agustus itu memang bukan sembarang bandara. Fasilitas dan desain interior berstandard internasional menjadikan penumpang semakin nyaman berada di sana.

Bandara yang dibangun lebih tiga tahun itu menelan biaya hingga 600 milyar rupiah. Rasanya tidak berlebihan jika pun saya katakan, saat kita berada di bandara itu, seperti sedang tidak berada di Indonesia. Bandara yang beroperasi di atas lahan 51 ribu meter persegi itu kini menjadi landmark baru Indonesia Timur, khususnya kota Makassar.

Landmark dapat diartikan sebagai sesuatu yang terlahir dari fenomena natural (gunung, pantai, air terjun, dll) dan bisa juga dari fenomena buatan (menara, candi, bandara, dll).

Sejumlah landmark di dunia seperti Taj Mahal di India, Burj al Arab di Dubai, Menara Eiffel di Paris, Piramida di Mesir, dan banyak lagi. Di Indonesia juga ada Monas, Candi Borobudur, Pantai Kuta, Bunaken, dan lainnya.

Beberapa titik landmark kadang-kadang di-brandingkan nama lokasi dengan huruf-huruf raksana. Lihatlah nama Hollywood di Bukit Lee Amerika Serikat, nama Losari di bibir pantai Losari Makassar, nama Coastarina (salah satu perumahan mewah) di Pantai Teluk Tering Batam, nama Papua di salah satu puncak gunung di sana, dan lainnya.

Apa sesungguhnya tujuan pembuatan landmark-landmark seperti itu? Bukannya tanpa nama tertancap di Bukit Lee, kota itu tetap saja dinamakan Hollywood?

Dalam pemasaran dikenal istilah differensiasi. Sebuah produk akan mudah diingat konsumen jika mampu tampil secara “different“. Tampilnya huruf-huruf raksasa di atas bukit atau cantiknya desain sebuah bandara akan terus diingat konsumen ketika dikemas secara “different“. Kota Makassar yang banyak dipersepsikan berwatak keras dapat teranulir dengan hadirnya bandara megah itu.

Tentu saja, di balik kemegahannya perlu dibarengi keramahan staf pelayanan di sejumlah titik transaksi: mulai check-in counter hingga boarding gate. Karena bandara adalah gerbang memasuki kota, maka kekaguman dan kesenangan konsumen saat menginjakkan kaki di gerbang itu secara psikologis akan mengantarkan kekaguman dan kesenangannya terhadap kota itu secara keseluruhan.

Sebuah produk, saat kemasannya terlihat menyenangkan maka juga akan berefek multiplier pada kesenangan konsumen saat mencicipinya. Kemasan, seperti halnya bandara, ia adalah gerbang memasuki jantung kota. Pastikan kemasannya terlihat different agar bisa menjadi landmark.***
Dimuat di kendari Pos, 25 Agustus 2008

Minggu, Agustus 10, 2008

Magnet-magnet Sachet

Sebenarnya, fenomena ini saya temukan 13 tahun lalu. Ketika itu, kesempatan pertama kali menginjakkan kaki di negeri Sakura, Jepang. Maksud ke sana hanya sekadar cuci mata (sightseeing) dari satu daerah ke daerah lain, yang orang Jepang sendiri menyebutnya dengan istilah Asobi.

Selama masa Asobi dua bulan di sana, saya menemukan satu fenomena baru yang rasanya masih aneh di Indonesia ketika itu: segala-galanya sachet (kemasan kecil). Perlengkapan menjahit yang di Indonesia biasa dijual terpisah (jarum, benang, kancing), di sana dijual satu paket berisi dua meteran benang, beberapa jarum, beberapa kancing. Pisang raja yang di Indonesia biasa dijual per sisir, di sana justru dijual per 5 – 6 biji saja (satu sisir dibagi dua atau tiga).

Aneh! Begitu gumam saya ketika itu. Pisang yang hanya sepertiga sisir di sana seharga satu tandan di negeri saya. Ternyata, buah-buahan di sana rata-rata impor sehingga harga terkerek naik. Agar dapat dijual dengan mudah, maka dibuatlah per “sachet“ isi sepertiga sisir.

Di banyak industri, kemasan sachet sudah menjadi fenomena umum. Lihatlah bagaimana susu bubuk Ovaltine yang dulunya hanya dijual kalengan, berubah ke refill, lalu ke sachet. Bahkan susu kental manis pun saat ini sudah dijual per sachet.

Terasi, merica bubuk, bumbu penyedap, shampoo, dan banyak lagi yang dulunya dijual per bungkus besar berubah ke paket sachet. Fenomena Jepang 13 tahun lalu, baru terlihat di kampung kita tiga tahun terakhir ini.

Tingginya biaya hidup menjadikan entry barrier makin tebal. Entry barrier adalah palang rintang konsumen untuk masuk bertransaksi. Banyak hal yang dapat menciptakan entry barrier, salah satunya adalah tingginya harga-harga.

Biaya membeli sebungkus susu bubuk makin tinggi sementara kebutuhan minum sesekali diperlukan, lalu dijuallah per sachet. Sachet diciptakan sebagai magnet untuk menarik keinginan konsumen. Sachet berhasil menjadikan harga mahal menjadi terjangkau sekaligus menipiskan entry barrier.

Karena di-sachet-kan, maka sebuah keluarga berpenghasilan pas-pasan, tetap saja bisa menikmati susu bubuk, susu kental, terasi, shampoo, dan lainnya. Rumah atau mobil sekalipun, sebenarnya juga sudah di-sachet-kan melalui jasa pembiayaan. Masyarakat akhirnya tetap dapat membeli rumah meski kondisi ekonomi makin sulit.

Agar suatu produk Anda terkesan murah dan terjangkau, cobalah dipilah per sachet. Entah di-sachet-kan secara volume (seperti susu bubuk) atau di-sachet-kan secara pembiayaan (seperti rumah dan mobil). Karena sesungguhnya, bungkusan kecil dan cicilan per bulan adalah magnet-magnet sachet yang siap “menerkam“ konsumen.***

Dimuat di Kendari Pos, 11 Agustus 2008

Minggu, Agustus 03, 2008

Jimbaran in Context

Bagai sebuah tradisi! Rasanya tidak afdhol berkunjung ke Bali jika tidak mampir bersantap malam di Jimbaran. Pantai itu, dulunya sebuah kampung nelayan dengan warung-warung seafood sederhana. Karena menu yang disajikan terasa pas di lidah, lalu makin ramailah wisatawan berkunjung ke pantai itu. Selanjutnya nama Jimbaran terus dikenal se-antero nusantara.

Pekan lalu, saya juga menyempatkan diri mencicipi seafood di Jimbaran. Menunya tidak jauh beda dengan restoran seafood kebanyakan. Namun nuansa khas Jimbaran yang walaupun dikunjungi berkali-kali, selalu saja sulit terlupakan.

Terkenalnya Jimbaran Bali itu sesungguhnya bukan semata karena merek. Hal ini dibuktikan bahwa meski merek Jimbaran banyak digunakan di sejumlah rumah makan di kota lain: Semarang, Jogja, Medan, Ancol, Sidoarjo, Magelang, Kendari, dan lainnya namun “cita rasa“ di kota-kota itu tetap saja beda dibandingkan Jimbaran sebenarnya.

Jimbaran, bagai magnet yang terus menarik arus deras wisatawan. Cita rasa Jimbaran yang sulit terlupakan itu perlu dilihat dari sisi “content“ (what to offer) dan “context“ (how to offer). Selain menu makanan yang dapat dinikmati (content), ada pula nuansa alami (context) yang mendukung suasana makan malam.

Saat resep makanan bisa ditiru, maka menjadilah “content“ ala Jimbaran. Namun bersenandungnya iringan lagu di sela-sela butiran pasir pantai dan rantak hentak gemuruh ombak menjadikan Jimbaran sebuah “context“.

Di sisi lain, suatu kesan selalu teringat biasanya karena “context“, bukan karena “content“. Lihatlah bagaimana terkesannya konsumen Starbuck (dengan aroma kopi di counter), BreadTalk (dengan proses pembuatan roti yang terlihat melalui kaca transparan), suasana hotel (dengan senyum ramah petugas dari buka pintu masuk, pintu lift hingga pintu kamar), motor Harley Davidson (dengan ke-macho-an saat mengendarainya), dan banyak lagi.

Saat yang lain bermain di ladang “content“, bolehlah dicoba lirik lahan “context“. Pilihan yang satu ini lebih sulit di-copy-paste dan lebih sulit dilupakan konsumen. Jimbaran, salah satu contohnya.

Meski terdapat merek yang sama di banyak kota, tetap saja restoran panjang di Pantai Jimbaran Bali itu, ramai dikunjungi untuk sekadar bersantap malam: karena “content“ (menu seafood) dan “context“ (hentak rantak gemuruh ombak) menyatu, utuh, dan tersaji sempurna di hidangan malam.***

Dimuat di Kendari Pos, 4 Agustus 2008

Senin, Juli 28, 2008

Personal Branding di Mana-mana

Setelah pemerintah mengumumkan 34 partai politik (parpol) yang akan bertarung di pemilu tahun depan, kesibukan parpol makin terlihat dari hulu ke hilir. Senada dengan itu, para tokoh yang mencalonkan diri sebagai calon presiden juga melakukan hal yang sama: melibatkan istri, anak, cucu, tetangga, hingga konsultan.

Milyaran rupiah pun disiapkan untuk mensosialisasikan “brand“-nya ke tengah-tengah masyarakat. Bergulir pulalah berbagai upaya untuk membangun Personal Branding (pencitraan diri) yang baik.

Prabowo Subianto, Megawati Soekarno Putri, Soetrisno Bachir, dan sederet lagi tokoh nasional lainnya belakangan ini cukup giat mengemas personal branding mereka melalui pesan-pesan moral di berbagai media.

Ibarat sebuah produk, promosi besar-besaran dilakukan sebelum launching digelar. Sebagai contoh, sebelum sebuah deterjen baru diperkenalkan, terlebih dahulu dilakukan pencitraan: mulai kemasan, harga, kualitas, hingga dampak lingkungannya. Merek deterjen yang diperkenalkan ke pasar bukan lagi sebuah merek semata tetapi menjadi lebih luas sebagai deterjen eksklusif, deterjen berkualitas, atau deterjen ramah lingkungan.

Begitu pulalah pentas politik. Agar mudah dikenal pasar yang menjadi sasaran target, maka dibutuhkan upaya pencitraan diri sejak dini. Maka sebuah nama tidak lagi sekadar sebuah “brand“ tetapi kemudian makin bergeser ke brand awareness, brand assosiation, hingga ke quality perception.

Seorang Prabowo Subianto misalnya, kini bukan lagi sekadar nama sebagai anak dari Begawan Ekonomi Indonesia Sumitro Djojohadikusumo. Dalam pentas politik per hari ini, brand itu kini (mungkin) menjadi makin luas karena dampak pencitraan yang dibangun melalui personal branding sebagai sosok peduli kemakmuran, pejuang masyarakat tani, dan calon pemimpin.

Hal yang sama juga terus dilakukan oleh “brand-brand” lain yang ingin maju ke pentas yang sama. Spanduk, baliho, billboard raksasa, iklan di televisi dan berbagai media lain terus dilakukan untuk membangun Personal Branding yang baik di tengah masyarakat.

Untuk bisa berhasil membangun Personal Branding, selain yang saya sebutkan di atas (awareness, association, quality perception), masih terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan namun keterbatasan kolom ini tidak memungkinkan dapat dibahas tuntas.

Kabarnya Indonesia Marketing Association (IMA) sebagai salah organisasi independen yang secara intens mendiskusikan fenomena-fenomena pemasaran akan menggelar seminar sehari seputar Personal Branding di Kendari akhir bulan depan.

Dengan pemateri dari MarkPlus Jakarta dan IMA Pusat, Personal Branding akan diulas sedetail-detailnya. Karena satu hal, sesungguhnya dalam setiap aktivitas kita tertancap pencitraan demi pencitraan yang terus terakumulasi menjadi sebuah “brand“: baik atau buruk, peramah atau pemarah, pejuang atau pengecut, dan banyak lagi.

Tidak ada salahnya belajar pencitraan merek di produk-produk komersial agar bisa optimal membangun pencitraan diri kita di ranah publik.***

Minggu, Juli 20, 2008

Wanita-wanita Bandung

Bandung Lautan Asmara (BLA) marak diperbincangkan beberapa tahun lalu. Kisah asmara sepasang kekasih di kota kembang itu melejitkan nama Bandung selama bertahun-tahun. Untuk suatu urusan, akhir pekan lalu saya menikmati sejuknya kota Bandung. Kota yang terus berbenah itu makin padat, khususnya setelah ia “bersalaman“ dengan Jakarta lewat Tol Cipularang di tahun 2005.

Meski kunjungan ke Bandung tidak ada hubungan dengan kewanitaan, selalu saja ada kawan mengingatkan: hati-hati gadis Bandung. Pesan yang sama juga ketika berkunjung ke Manado. Hallaaaakh....

Bukankah ini persepsi? Lihatlah bagaimana Makassar diidentikkan demonstrasi, Medan dengan kekerasan, Aceh dengan ketaatan reliji, Solo dengan sopan santun, Poso dan Ambon dengan SARA, dan banyak lagi.

Padahal ketika mengunjungi Bandung, ternyata tidak demikian. Penamaan memang tidak muncul serta merta tetapi merupakan buah dari suatu peristiwa besar. BLA yang sudah dilupakan warga Bandung sendiri terus saja me-minor-kan citra Bandung di mata publik karena menjadi cerita tak berkesudahan.

Dalam kasus pemasaran, hal seperti ini disebut efek WOM (Word of Mouth). WOM adalah cerita berkesinambungan dari satu orang ke orang lain bagai mata rantai tak terputus. WOM berpotensi menciptakan citra.

Sebuah produk yang dipasarkan dengan kekuatan WOM cenderung bertahan lebih lama di pasar karena kedigdayaan WOM sulit terkuburkan oleh kekuatan apapun dalam seketika. Mari kita alihkan sejenak perhatian ke sistem pemasaran MLM (Multi Level Marketing). Secara volume iklan, produk MLM nyaris tidak melakukannya ke pentas publik.

Namun dengan stimulan member secara menarik, produk MLM selalu saja laris di pasar. Intensitas WOM yang terus digulirkan dari member ke member, member ke publik, publik ke publik dan seterusnya menjadikan cerita berantai tanpa biaya ini mengokohkan status produk yang dipasarkan.

Suatu studi kasus memaparkan, 67% keberhasilan produk di pasar dikontribusi efek WOM. Makin banyak cas-cus tentang suatu produk, makin besar pula kemungkinan keberhasilan pasar. Begitu pula iklan: semakin tinggi frekuensi iklan, semakin tinggi pula efek WOM yang bisa terjadi.

WOM bisa berarti positif dan negatif. Jika WOM positif, maka penjualan akan meningkat. Namun jika negatif, citra makin buruk dan penjualan sulit dilakukan. Untuk melebarkan jalan konsumen untuk masuk bertransaksi di pasar, salah satu caranya adalah meretaskan “kalimat-kalimat indah” yang terbungkus rapih.

Silakan berkreasi membentuk WOM. Sekarang juga!***

Senin, Juli 14, 2008

Menuju Piramida Bawah

Sadar atau tidak, produk ataupun jasa yang banyak dipasarkan saat ini cenderung berpindah piramida. Jika sebelumnya membidik segmen pasar di piramida atas, maka pada hari ini secara perlahan menuruni anak tangga ke piramida di bawahnya.

Kartu kredit yang dulunya disasarkan ke kalangan eksekutif, saat ini tidak terjadi lagi. Tidak sedikit karyawan berpenghasilan rata-rata, juga bisa menikmati lezatnya berutang di kartu kredit.

Hal yang sama juga terjadi di produk lain. Sebut saja Laptop, Telepon Selular, AC, Salon, Swalayan, Kartu ATM, Sepeda Motor, hingga Mobil. Arus informasi yang makin deras dari berbagai saluran (radio, TV, internet, SMS, dll) menjadikan segmen pasar atas, menengah, dan bawah sudah semakin tipis perbedaannya. Semua segmen merasa dirinya “penting” dan ingin hidup “lebih sempurna”.

Rasanya tidak aman keluar rumah tanpa ATM di dompet. Seperti ada yang hilang saat ke kantor tanpa ponsel di tangan. Layaknya anak ayam kehilangan induk jika seharian tidak ada SMS masuk. Begitulah seterusnya, tuntutan menjadi orang “penting dan sempurna” mewarnai putaran waktu masyarakat kita saat ini.

Dahsyatnya arus menjadi orang ”penting dan sempurna” sayang sekali tidak sedahsyat arus penghasilan. Wajarlah kemudian, jika purchasing power (kemampuan beli) konsumen makin kecil. Belum lagi faktor eksternal yang mempengaruhinya seperti kenaikan BBM hingga 33% yang kemudian menjadikan gap yang makin lebar antara tuntutan kebutuhan dan purchasing power.

Potret pasar seperti ini mendorong lahirnya produk anyar dengan membidik piramida bawah yang mengusung sisi fungsinya saja. Lalu hadirlah Laptop bercirikan yang penting bisa dijinjing, ponsel yang penting bisa menelepon dan kirim-terima SMS, motor yang penting roda dua dan bisa diatur kecepatannnya.

Masuknya produsen ke piramida bawah sesungguhnya bagai silet bermata dua: peluang dan tantangan saling berkejaran. Peluangnya, produk mudah dipenetrasikan dengan sangat cepat karena didorong harga wajar yang berhasil menutupi gap. Tantangannya, loyalitas konsumen sangat rentan sehingga perlu dipikirkan program lanjutan yang dapat menciptakan repeat order bagi konsumen.

Agar roda bisnis tetap berputar, terjadinya gap antara tuntutan kebutuhan dan purchasing power sepatutnya menjadi indikator. Selagi masih di tengah jalan, sisa enam bulan ke depan di semester II ini masih bolehlah dievaluasi. Salah satu pilihannya adalah menurunkan target pasar ke piramida yang lebih rendah!***

Jumat, Juli 11, 2008

Challenger Brand

Kaki saya terpijak di Pantai Akkarena Makassar akhir pekan lalu. Tempat wisata keluarga yang padat dikunjungi di kota Anging Mammiri itu bersebelahan tepat di sisi barat Pantai Losari.

Akkarena dan Losari, keduanya selalu ramai dikunjungi. Meski sebenarnya beda nama tetapi sumber kekayaan alam (laut dan pantai)-nya satu kesatuan.

Losari dikenal dengan keindahan sunset (matahari terbenam) sementara Akkarena dengan wisata pantai keluarga. Losari makin kinclong ditangani Pemda dan Akkarena terus berkibar dipoles swasta.

Losari yang sudah melegenda sejak puluhan tahun dibayang-bayangi Akkarena yang baru saja diperkenalkan sekitar tujuh tahun lalu. Ibarat dagangan, kehadiran Akkarena adalah Challenger Brand (merek penantang) bagi Losari sang Master Brand (merek penguasa).

Jika sang Master Brand menawarkan garansi spare part setahun, seharusnya Challenger Brand menawarkan dua tahun plus asuransi. Kalau saja Master Brand menghadiahkan motor, selayaknya Challenger Brand menyajikan mobil. Begitu seterusnya.

Dalam segala aspek ekonomi, Challenger Brand bisa hadir setiap saat. Untuk itu, sang Master jangan lengah sedikit pun karena si Challenger selalu siap mengintai pasar. Serunya lagi, arena perseteruan Master vs Challenger selalu menarik ditonton karena keduanya menyajikan jurus-jurus cerdas.

Lihatlah bagaimana Yamaha melawan Honda, Esia menantang Flexi, Mie Sedaap menghadang Indomie, Bintangin menggerus Antangin, Frestea mendampingi Teh Sosro, dan banyak lagi.

Agar mudah menyelam di kedalaman persaingan, differensiasi yang kuat menjadi tuntutannya. Entah harga yang lebih murah, kemasan yang lebih menarik, insentif sales yang lebih besar, atau gaya komunikasi yang lebih cerdas.

Jika sekadar menantang dan tidak punya differensiasi, yakinlah hanya akan berbuah kegagalan. Dengan secuil saja perbedaan, maka penasaran pasar akan tercipta --minimal sekadar coba-coba mencicipi produk baru!

Kadang-kadang, publik tidak mau lagi tahu jika barang dagangan Challenger Brand bersumber dari lahan yang sama dengan merek sebelumnya: pabrik yang sama, bahan baku yang sama, atau karyawan yang sama pula. Dengan sedikit goresan di kemasan, publik akan melihat sesuatu yang baru. Yeah.... a small difference make a great success!

Seperti halnya Akkarena dan Losari. Bukankah berasal dari bahan baku (air laut) yang sama? Pabrik (pantai) yang sama? Lingkungan (hamparan alam) yang sama? Namun keduanya berhasil mengemas "merek" mereka dengan cara pandang yang "different". Lalu pasar pun ikut terbawa menikmati keduanya.***

Dimuat di Kendari Pos, 8 Juli 2008

Senin, Juni 30, 2008

Cost per Head

Banyak cara dilakukan perusahaan dalam memperkenalkan produknya ke masyarakat. Cara yang paling lumrah melalui pemasangan iklan di media massa.

Namun pernahkah kita evaluasi efektivitas iklan? Adakah yang baca print ad kita di koran? Adakah yang dengar spot lose di radio? Adakah yang tidak memindahkan channel TV saat iklan Commercial Break ditayangkan TV?

Untuk mengetahui efektivitas sebuah iklan, perlu dilakukan kalkulasi cost vs benefit. Jangan lupa pijakan dasar ekonomi yang menyatakan tujuan akhir sebuah bisnis adalah meminimalkan biaya (cost) dan memaksimalkan keuntungan (benefit).

Di sisi lain, beragamnya media periklanan membuat biaya tayangnya juga makin beragam dan makin mahal. Saat TV nasional dikuasai TVRI beberapa tahun lalu, dinamika periklanan tidak se-seru sekarang.

Untuk biaya iklan di TV swasta saat ini, durasi iklan 30 - 60 detik, biaya yang harus digelontorkan berkisar 10 hingga 25 juta rupiah (tergantung rating program) sekali tayang. Anggaplah diratakan 15 juta per tayang.

Jika kemudian iklan ditayangkan 10 kali saja di salah satu TV, biayanya menjadi 150 juta rupiah dalam sehari. Bukankah dengan beriklan di 8 TV swasta nasional, penayangan iklan masing-masing 10 kali per TV, biayanya melebihi 1 Milyar rupiah untuk sehari saja?

Secara angka, tentu terdengar sangat besar! Namun dalam analisa periklanan dikenal suatu indikator yang lazim disebut Cost per Head atau Biaya per Kepala. Jika rating acara cukup baik, angka sebesar itu menjadi kecil.

Sebutlah contoh, Anda menayangkan iklan di program Empat Mata-nya Tukul di Trans 7 dengan biaya iklan 11 juta rupiah sekali tayang. Penduduk negeri ini 220 juta orang. Asumsi yang nonton acara tersebut 1% saja (1 orang dari 100 penduduk), maka Cost per Head-nya adalah 11 juta rupiah dibagi 2,2 juta (biaya iklan : jumlah penonton) = 5 rupiah.

Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk biaya promosi per kepala hanya 5 rupiah. Sekali lagi, 5 rupiah! Bukankah biaya ini tiba-tiba menjadi begitu kecil?

Analisa yang sama dapat dilakukan untuk iklan di koran (hitung oplahnya), di radio (hitung pendengarnya), dan media massa lainnya. Cost per Head-nya pasti di luar dugaan.

Bandingkan berapa biaya fotocopy brosur per lembar? Biaya pasang spanduk per lembar? Biaya cetak poster per lembar? Bukankah biaya-biaya tersebut berlipat ganda hingga ratusan persen?

Untuk itu, efektivitas sebuah iklan sesungguhnya dapat diketahui, salah satu caranya melalui analisa Cost per Head tadi. Makin kecil biaya Cost per Head, makin efektif iklan Anda.

Yakini pula bahwa media massa dalam berbagai jenis-nya (TV, Radio, Koran, Majalah, dll) sangat efektif sebagai sarana promosi. Pertimbangannya sederhana: sekali media menabuh gendangnya, suaranya menggema dari lantai Gubernur hingga ke lorong-lorong kelurahan.

Karena itu, Cost per Head media massa cenderung lebih kecil tetapi gaungnya selalu lebih besar.***


Dimuat di Harian kendari Pos, 30 Juni 2008

Selasa, Juni 24, 2008

Mainkan Bola di Musim Bola

Info bola terus saja mengalir di semua saluran informasi: koran, radio, TV, hingga internet. Di sebagian sudut kota juga terlihat nonton bareng (nobar) yang dilakukan secara swadaya. Euro 2008 betul-betul telah menyedot perhatian jutaan pasang mata di seluruh dunia.

Jika ada ajang internasional seperti ini, aturan mainnya selalu dibuat seketat mungkin: pemasangan logo kegiatan, pemasangan logo sponsor, pelaksanaan siaran langsung, hingga aturan nobar.

Khusus nobar, selain panitia pelaksana diwajibkan punya izin kegiatan, mereka juga dituntut memenuhi standar nobar seperti TV minimal 29 inch, screen tidak boleh lebih 2 x 3 meter, kepekaan pancar projector minimal 5.000 ans lumens, dan banyak lagi.

Wajarlah jika gawean besar seperti ini diatur sedemikian rupa karena dianggap sangat mujarab mendongkrak merek. Makanya, untuk menjadi sponsor resmi di event ini juga punya hitungan-hitungan tertentu.

Ibarat orang menimba, maka Euro 2008 adalah tali katrol dan merek yang mensponsori adalah embernya. Saat tali katrol tertarik ke atas, ember juga ikut tertarik. Makin tinggi perhatian publik ke pertandingan bergengsi itu, makin tinggi pula perhatian publik pada merek tersebut.

Kondisi ini lazim dikenal dengan istilah leveraging brand (pengungkilan merek). Sebuah produk akan mudah dipasarkan jika mereknya dikenal publik. Proses memperkenalkan merek dilalui dengan berbagai cara, salah satunya melalui sponsorship.

Anda dapat cermati, merek-merek yang menempel sebagai sponsor resmi di event akbar ini, sebentar lagi menuai hasil. Jika bukan penjualannya meningkat tajam, setidaknya mereknya makin dikenal publik.

Saat mata tertuju ke kulit bundar, tim pemasar juga sepatutnya mengerti irama gendang. Materi-materi promo yang digelar sedapat mungkin juga bernuansa kulit bundar.

Bola, sebuah pertandingan yang tak kenal lelah. Makin menggelinding bola di lapangan hijau, makin seru publik membahasnya. Saking serunya pertandingan, penonton se-antero dunia bahkan serentak mengubah pola tidurnya agar tidak ada yang terlewatkan.

Selagi musim bola, mainkan pula bola-bola promosi Anda. Jangan lupa bahwa ada garis batas yang boleh dan tidak boleh (do and dont’s) dilakukan sang pemilik merek sebagaimana ketetapan panitia.

Tugas pemasar adalah menendang bola secantik mungkin. Karena sesungguhnya yang selalu diingat penonton bukanlah besaran score-nya tetapi gol-gol cantiknya. Silakan diracik, diramu, dan ikuti irama gendang. Selamat berkarya!***

Minggu, Juni 22, 2008

CUKUP SATU FANTASI

Tulisan ini dibuat di atas riak gelombang laut Wakatobi, sebuah pulau kecil di sebelah tenggara pulau Buton. Hempasan air dan hembusan angin tersimpul rapih menjadi lambaian keindahan.

Bunaken di Manado sudah lama dikenal di negeri ini. Namun Wakatobi di Sulawesi Tenggara masih asing di telinga. Pulau kecil yang menyimpan ratusan spesies keindahan alam bawah laut itu justru lebih dikenal di manca negara dibanding di negerinya sendiri.

Wartawan dan wisatawan terus mengalir ke pulau kecil itu meski secara infrastruktur terlihat belum siap: bandara pesawat reguler belum ada, daerah wisata belum terjangkau jaringan telepon, pasokan listrik hanya setengah hari, dsb.

Itulah Wakatobi! Namanya dibentuk dari akronim empat pulau: Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko. Meski hanya pulau-pulau kecil dalam satu kesatuan akronim, namun nama Wakatobi menggelegar hingga manca negara.


Kunjungan saya ke pulau ini menyisakan sisi penting Marketing. Dalam segala keterbatasan infrastruktur, pemerintah kabupaten Wakatobi secara intens memperkenalkan pulau kecil itu dalam satu pesan singkat: surga nyata bawah laut!


Sepotong kalimat ini sontak membuat penasaran. Jangankan orang awam, pencari berita yang kesehariannya mengendus informasi kepincut berjuang membelah arus Laut Banda agar bisa tiba di pulau kecil itu.


Di sinilah keajaiban pemasaran karena berhasil menarik datang konsumen walau perjuangan dan doa berderet di sepanjang jalan. Cara ini lazim disebut Pull Strategy.


Dunia iklan juga banyak menerapkan Pull Strategy seperti ini. Lihat saja jutaan konsumen terbius hadiah-hadiah walau sebelumnya tidak pernah membeli produk itu. Simaklah ketika Sirup ABC mengiklankan hadiah Umroh, Silver Queen iming-imingkan Honda Jazz, Kopi Torabika janjikan kejutan hadiah, Coca Cola siapkan wisata luar negeri, dan sederetan lagi lainnya.


Ketika Pull Strategy digelar, sesungguhnya sang produsen “menari-nari” dalam khayalan objek pasar. Fantasi pergi umroh seketika terbentuk di benak calon konsumen saat melihat sirup ABC di etalase toko. Warna merah Honda Jazz juga langsung terbayang ketika temukan Silver Queen terjejer rapih di depan kasir.


Iklan demi iklan yang tersaji setiap hari bertujuan membentuk fantasi kita hingga akhirnya tiba pada suatu keputusan “beli”. Pemasar yang cerdas tidak butuh iklan panjang. Dia hanya butuh satu pesan fantasi tertanam di benak konsumen.


Saya, Anda, dan kita semua mungkin sudah menjadi bagian dari korban fantasi. Wow!??***

PERANG KAPASITAS

Dua hari lagi kita habiskan bulan April. Artinya, sepertiga dari tahun ini segera menjadi catatan sejarah. Lazimnya, apa yang terjadi dalam sepertiga pertama akan menjadi referensi pada dua pertiga sisanya.

Sepanjang sepertiga pertama ini, satu pemandangan unik terjadi di industri telekomunikasi, khususnya selular: perang tarif hingga ke titik terendah.

Selaku pengasuh kolom ini, saya lebih cenderung menyebutnya perang kapasitas dan bukan perang tarif. Tentu saja, sebagian besar masyarakat kita sangat menyambut diskon besar-besaran ini meski di balik kesenangannya tersimpan pertanyaan besar: dari mana operator-operator selular itu meraup untung?

Hal yang sama juga terjadi di industri penerbangan. Jalur domestik dipelopori Lion Air sementara jalur internasional dikibarkan Air Asia. Kedua maskapai ini dikenal Low Cost Carrier atau penerbangan bertarif murah.

Lion maju dengan motto We Make People Fly dan Air Asia yakin dengan motto menantang: Now Every One Can Fly. Yang ingin dijual kedua maskapai ini sesungguhnya bahwa terbang dari suatu kota ke kota lain adalah “hak publik”. Silakan gunakan jasa kami yang murah, ramah, dan bisa terbangkan Anda.

Selular dan penerbangan, dua industri berbeda jauh namun sangat mirip dari sisi kebijakan tarif. Keduanya punya pelanggan tetap dan juga pelanggan tidak tetap. Tidak sedikit pelanggan mereka dari kalangan swinger (mudah beralih pilihan, tergantung ke mana arah angin berhembus)


Di balik perseteruan itu, ada satu hal yang luput dari perhatian kita, yaitu kapasitas. Sebutlah kapasitas 213 seat di pesawat Boeing 737-900 nya Lion Air dan kapasitas 148 seat pesawat Boeing 737-300 nya Air Asia.


Tentu saja tidak semua tempat duduk itu diobral. Ada hitungan-hitungan penjualan tertentu berdasarkan kapasitas minimal, untuk bisa sekadar menutupi biaya operasional. Anggaplah dari 213 seat-nya Lion Air, dengan menjual 150 seat harga standard sudah cukup untuk biaya avtur, gaji pramugari, sewa parkir pesawat, dll, maka sisanya yang 63 seat sudah bisa dijual harga khusus.


Bagaimanapun juga, penuh atau tidaknya seat pesawat, argo biaya tetap jalan: biaya avturnya sama, gaji pramugarinya sama, sewa parkirnya sama, dll.


Hal yang sama terjadi di industri selular. Padat tidaknya okupansi jaringan tidak mempengaruhi biaya listrik, biaya AC, gaji karyawan, dll. Perang gaya “baru” ini akhirnya menguntungkan kita sebagai pelanggan.
Begitu kira-kira, Kawan!***

ASING TAPI LOKAL

Pakaian bermerek asing selalu saja diburu. Awalnya karena kualitas yang tak tertandingi namun kemudian bergeser dari kualitas ke persepsi. Konsumen membeli pakaian bermerek asing karena dianggapnya mampu mengangkat citra yang menggunakannya.

Wajarlah kemudian jika toko-toko yang menjajakan pakaian bermerek asing tidak pernah sepi. Jangankan baju baru, yang bekas pun masih laku. Di Sulawesi Selatan dikenal istilah pasar Cakar dan di Sulawesi Tenggara dengan nama RB.

Meski sepanjang hari dan sepanjang minggu pasar RB tidak pernah sepi pengunjung namun supply (pasokan barang) selalu saja mampu memenuhi demand (permintaan pasar). Pertanyaannya kemudian, kenapa demand untuk merek-merek asing selalu tinggi? Bukannya negeri ini sudah mampu menciptakan merek sendiri bahkan dengan kualitas yang jauh lebih baik? Jangankan baju, pesawat terbang saja sudah dapat dibuat di Era Orde Baru. Apalagi sekadar pakaian?

Di sinilah kedahsyatan merek asing.

Jika Anda sesekali perhatikan, tidak sedikit konsumen berbelanja, yang paling pertama diperhatikan bukan harganya. Bukan juga kualitasnya, apalagi jenis bahannya. Kiblat pertama kali adalah merek. Semakin terdengar asing suatu merek, semakin mudah konsumen membelinya.

Karena peluang ciamik ini, lahir pulalah ide-ide cerdik. Meski produk buatan asli Indonesia, namun dibuatnya bermerek asing agar konsumen mudah kepincut. Ada pula yang tidak sekadar meng-asing-kan mereknya tetapi melakukan lebih jauh dengan membuat nuansa gerai se-asing mungkin.

Lihatlah toko roti Holland Bakery yang mencirikan kincir angin di atap gerai tokonya dan bukan bendera merah putih atau lambang Garuda Pancasila. Lihat pula konsep iklan yang diusung Lea Jeans atau baju Stanley Adam dalam konteks asing, tagline asing, bahkan juga bintang iklan orang asing.

Padahal merek-merek itu asli Indonesia. Selain toko roti Holland Bakery, celana Lea Jeans, baju Stanley Adam, masih terdapat sederet merek asing asli produk Indonesia lainnya yang terus mengakrabi telinga bahkan dompet kita.

Masih ada tas Sophie Martin, kosmetik Tje Fuk, Donut J.Co, makanan Hoka Hoka Bento, pizza Papa Ron’s, dan banyak lagi.

Secara kualitas, merek-merek tersebut memang terbilang lumayan. Namun terlepas dari kualitas itu, sasaran yang sesungguhnya ingin dituju adalah persepsi kebanyakan kita yang memposisikan merek dalam negeri berkualitas rendah dan merek asing berkualitas tinggi. Maka lahirlah sekeranjang merek-merek asing namun sesungguhnya asli produk Indonesia.

Ini sekaligus bukti, betapa sebuah merek mampu menggoda “iman” sekaligus menggadaikan “kewarganegaraan” kita. ***

TIBA TIBA ITU NIKMAT

Tiba-tiba dapat undian, tiba-tiba naik haji, tiba-tiba ada bonus, tiba-tiba proposal disetujui, tiba-tiba naik pangkat, dan sederetan lagi kasus tiba-tiba kerap menjadi catatan sejarah kehidupan kita. Uniknya, semua ke-tiba-tiba-an itu berujung pada kenyamanan dan anugerah.

Ibu-ibu rumah tangga, sebelum pergi ke pasar ataupun mall, secarik kertas dan sebuah pulpen menjadi teman setianya. Mulai sikat gigi hingga pengharum ruangan tumplek di selembar kertas itu. Dengan harapan tidak ada lagi yang terlupakan saat belanja nantinya.

Kenyataan kemudian, setelah tiba di pasar, justru banyak belanjaan yang tadinya tidak terpikirkan ikut masuk ke kantong belanja. Bahkan tidak jarang terjadi, belanjaan yang tidak terencana lebih banyak dari yang terencana. Wow!

Lantas, kenapa masih saja over belanja? Bukannya catatan sudah di tangan? Bukannya uang yang dibawa pas-pasan? Bukannya barang-barang makin mahal sehingga tidak ada ruang untuk belanja ekstra?

Di sinilah peranan besar sang pemasar cerdas. Dalam kesempitan ruang gerak konsumen, produk yang tadinya tidak masuk dalam daftar belanjaan malah berhasil menyelinap ke kantong belanja. Maka kemudian, kita saksikan segepok belanjaan tak terduga seperti snack, ice cream, balon-balon, cokelat, roti, hingga parfum merapat di kantongan.

Dalam kasus pemasaran, keputusan beli yang terjadi secara tiba-tiba seperti ini, dikenal dengan istilah Impulse Buying (unplanned decision to buy, made just before a purchase).

Tiba-tiba saja beli roti dan tiba-tiba saja beli parfum adalah dua contoh keberhasilan stimulus (rangsangan) yang dirancang baik di sekitaran produk. Stimulus bisa dicipta melalui diskon (cuci gudang), packaging (warna eye catching), aroma (efek penciuman), dan banyak lagi.

Perlu diketahui bahwa ketika sang ibu rumah mencatatakan daftar belanjaan, yang berfungsi dominan adalah otak kiri: kalkulasi matang sedetail-detailnya. Namun ketika melangkahkan kaki masuk ke pasar, fungsi otak kanan ikut berperan.

Otak kanan lebih banyak menggunakan emosi (melupakan logika), terpesona kemasan (mengabaikan harga), dan mengedepankan citra (exposure). Jika kemudian suatu produk berhasil menstimulus otak kanan, maka akan terjadilah pembelian tak terduga.

Urusan ada penyesalan kemudian karena budget belanja membengkak, itu pasal ke-13, Bung! Target pemasar bukan di situ. Target pemasar adalah menciptakan stimulus agar dapat menyelinap ke kantong belanja. That’s it!

Impulse buying, meski sebenarnya membuat ibu-ibu rumah tangga “merana” namun bagi pemasar itu adalah “anugerah”. Bagi pemasar, pembelian tiba-tiba itu nikmat.***

CIPTAKAN EXPERIENCE

Akhir pekan lalu, saya menginjakkan kaki di kota Beijing dan Shanghai, China. Sepanjang perjalanan wisata di kedua kota besar itu, banyak hal yang dapat di-sharing ke pencinta kolom kecil ini.

Dari sederet negara yang pernah saya kunjungi sebelumnya, untuk China yang biasa disebut negeri tirai bambu ini memang patut diacungkan jempol. Kunjungan wisatawan terus mengalir seperti air bah yang tak terbendung.

Dari kacamata trik Marketing, pemerintah setempat terlihat mengedepankan sisi Experiencing (melibatkan pengunjung menciptakan pengalamannya) sebagai pendobrak pasar.

Great Wall (Tembok China), kabarnya sebagai salah satu bangunan besar dunia yang saking besarnya, dapat dipotret dengan foto satelit. Dari puncak Great Wall dapat pula disaksikan hijaunya alam Beijing.

Di salah satu puncak Great Wall, sebutlah Pos Satu (karena masih ada ratusan lagi anak tangga berikutnya), setelah kita menapaki 350-an anak tangga, terdapat satu pojok pembuatan "sertifikat" yang seakan mengesahkan bahwa kita telah mendaki dengan sukses ketinggian Great Wall. Meski terkesan hanya sebagai suvenir dan penerima "sertifikat" justru harus merogoh kocek 40 Yuan (Rp 55 ribu) sebagai ongkos cetak, namun peminatnya tetap saja berjubel.

Lain pula di Huangpu River, sungai tengah kota Shanghai yang terus ramai dikunjungi. Siang hari, terlihat pesona bangunan berkarakter unik dan modern berselang seling menjulang. Di malam hari, saat berdiri di titik yang sama, terlihat kemilau lampu menggaris setiap lekuk bangunan yang begitu mengagumkan. Shanghai di malam hari, tiba-tiba menjadi kota cahaya, tersulap oleh efek-efek lighting.

Great Wall di Beijing dan Huangpu River di Shanghai berhasil "menjual" dirinya melalui model Experiencing. Tetesan keringat setiap anak tangga dan suara ngos menderu di setiap pijakan anak tangga Great Wall memang cukup melelahkan. Namun perjuangan seru itu kemudian menjadi kenangan terindah yang ber-"sertifikat". Kedahsyatan efek-efek lighting di Huangpu River juga menyisakan pengalaman tak terlupakan yang tertancap tajam di memori kita.

Dan akhirnya, Great Wall dan Huangpu River menjadi cerita berkesinambungan ketika wisatawan kembali ke negara masing-masing.

Untuk itu, dagangan apapun yang dijajakan, jika diramu dengan model Experiencing akan menciptakan Word of Mouth (pembicaraan dari mulut ke mulut) dan terus membekas di ingatan hingga ribuan hari.

Agar berhasil menciptakan kesan berkualitas, tanamkan Experience (pengalaman) di benak konsumen.
Karena dengan menjadi Word of Mouth, lompatan besar penjualan akan lebih mudah diwujudkan.***

PERLEBAR JALAN MASUK

BBM Naik. Berita itu tiba-tiba menghantam pundi-pundi negeri ini. Bahan bakar bensin yang dominan digunakan, terkerek naik hingga 33,3% dari sebelumnya hanya Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liternya.

Sudah menjadi hukum alam. Ketika BBM naik, pasti berefek domino pada kenaikan biaya-biaya: biaya sekolah naik, harga obat menjulang, harga susu terdongkrak, juga harga sayur ikut melambung. Repotnya lagi, kenaikan biaya-biaya tidak berbanding lurus dengan kenaikan penghasilan.

Lalu menjadilah konsumen menahan diri dalam berbelanja. Mall, pasar tradisional, SPBU, juga warung-warung makan menjadi tidak seramai biasanya. Terasa seakan ada tembok tebal yang menghalangi konsumen masuk ke dunia transaksi.

Dalam kasus pemasaran, kondisi ini lazim dikenal dengan Entry Barrier (rintangan masuk). Kenaikan BBM menjadi pelaku utama yang menebalkan Entry Barrier. Konsumen tiba-tiba berpikir beli susu, beli buku, beli pulsa, dan kebutuhan-kebutuhan sekunder lainnya. Jika masih bisa minum teh, lupakan sementara susu bubuk. Begitu pula yang lain.

Kondisi ini kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi tim pemasar untuk kembali melakukan re-mapping (pemetaan ulang) dari berbagai sisi: harga, distribusi, hingga paket promosi.

Dalam waktu beberapa hari mendatang, kita akan menyaksikan sikap pemasar yang “back to nature” dengan mengusung tema efisiensi. Akan terdengarlah iklan balon lampu hemat listrik, promosi sabun cuci yang hanya segenggam mampu membersihkan sekeranjang pakaian, advetorial mobil irit bensin yang menampilkan perbandingan konsumsi bensin dengan jarak ditempuh.

Meski BBM naik, roda perusahaan harus tetap berputar. Seiring biaya operasional yang terus membengkak dan menggelindingnya tuntutan kenaikan gaji, maka pemasar perlu merobohkan Entry Barrier yang terbentuk alami sesegera mungkin.

Salah satu trik yang dapat dilakukan adalah memperlebar jalan masuk agar konsumen tetap bisa tergoda. Bukan lagi zamannya menggiring emotional benefit (gaya hidup, trend, kebanggan merek) tetapi yang lebih tepat diusung saat ini adalah functional benefit (efisiensi) secara menyeluruh: mulai kemasan hingga bahasa iklan.

Hemat dan efisien, seketika akan menjadi bahasa keramat yang akan diagung-agungkan selama masa shock kenaikan BBM beberapa pekan mendatang. Setidaknya, dua kata ini akan menjadi magnet yang diharapkan memperlebar jalan masuk konsumen sehingga mereka seakan-akan merasa tidak ada kenaikan harga, karena yang dilihat kemudian adalah fungsinya. Bukan yang lain!***

PENASARAN ITU PERLU

Hari lahirnya Pancasila kembali diperingati 1 Juni lalu. Di hari yang sama, salah satu motivator negeri ini Tung Desem Waringin (TDW) menggelar pre-launching buku barunya. Baik peringatan Hari Lahir Pancasila ataupun pre-Launching buku harusnya peristiwa yang biasa-biasa saja.

Peringatan Hari Lahir Pancasila diseremonialkan setiap tahun, kan? Juga peluncuran buku, selalu digelar setiap saat, kan? Namun karena kedua peristiwa itu diramu secerdas mungkin, maka keduanya tiba-tiba menjadi peristiwa yang luar biasa.

Di rumah Guruh Soekarno Putra, Cinta Laura membacakan teks Pancasila ketika seremonial hari lahirnya Pancasila diperingati. Wanita berdarah Jerman itu maju ke panggung upacara dibalut pakaian seragam paskibraka serba putih. Semua mata memandang ke gadis belia itu ketika kata demi kata dibacakan. Ada rasa penasaran menggelora!

Meski disiarkan berkali-kali di berbagai TV Swasta negeri ini, jutaan pasang mata terus saja kembali merapatkan pandangan ke sosok Cinta Laura. Tidak ada rasa bosan yang muncul. Justru kelucuan dan keluguan yang mengemuka, terbungkus rapih dalam kata p-e-n-a-s-a-r-a-n.

Bandingkan jika pejabat negara yang membacakan teks Pancasila. Apa respon kita? Jujur sih, mungkin kita alihkan channel TV ke sinetron atau gosip artis. Lalu ketika Cinta Laura membacakannya, fakta bicara lain. Ternyata, Cinta Laura mampu menghipnosis pasar.

Ibarat Pancasila sebuah produk yang lama tidak kita cicipi, dengan sedikit sentuhan mem-"penasaran"-kan publik, maka produk itu kembali dilirik. Ingat bahwa di balik "penasaran" selalu ada "pemasaran".

TDW punya cara lain menciptakan penasaran publik. Di hari yang sama, tepat di atas lapangan terbuka kota Serang, ia membagi-bagikan uang kertas senilai total 100 juta rupiah. Dari ketinggian 200 meter, delapan kantong uang kertas dibagi habis dari pesawat helikopter.

Terlepas dari pro-kontra kegiatan bagi-bagi uang di tengah himpitan naiknya BBM, yang dapat dipetik dari ajang TDW itu adalah upaya menciptakan rasa penasaran publik. Makin menganga rasa penasaran, makin mudah pula pasar digerayangi.

Cinta Laura dan Tung Desem Waringin, keduanya adalah kontributor pencipta rasa penasaran. Dengan sentuhan mereka, publik ikut terhipnosis dan terdiam dalam kubangan penasaran. Lalu menjadilah Pancasila dan buku terbaru TDW terus teringat.

Sekali lagi ini bukti bahwa membuat penasaran itu perlu, karena di balik penasaran selalu ada pemasaran.***