Decak kagum langsung terkuak saat saya menginjakkan kaki di Bandara Internasional Hasanuddin di Makassar pekan lalu. Bandara yang baru saja diresmikan awal Agustus itu memang bukan sembarang bandara. Fasilitas dan desain interior berstandard internasional menjadikan penumpang semakin nyaman berada di sana.
Bandara yang dibangun lebih tiga tahun itu menelan biaya hingga 600 milyar rupiah. Rasanya tidak berlebihan jika pun saya katakan, saat kita berada di bandara itu, seperti sedang tidak berada di Indonesia. Bandara yang beroperasi di atas lahan 51 ribu meter persegi itu kini menjadi landmark baru Indonesia Timur, khususnya kota Makassar.
Landmark dapat diartikan sebagai sesuatu yang terlahir dari fenomena natural (gunung, pantai, air terjun, dll) dan bisa juga dari fenomena buatan (menara, candi, bandara, dll).
Sejumlah landmark di dunia seperti Taj Mahal di India, Burj al Arab di Dubai, Menara Eiffel di Paris, Piramida di Mesir, dan banyak lagi. Di Indonesia juga ada Monas, Candi Borobudur, Pantai Kuta, Bunaken, dan lainnya.
Beberapa titik landmark kadang-kadang di-brandingkan nama lokasi dengan huruf-huruf raksana. Lihatlah nama Hollywood di Bukit Lee Amerika Serikat, nama Losari di bibir pantai Losari Makassar, nama Coastarina (salah satu perumahan mewah) di Pantai Teluk Tering Batam, nama Papua di salah satu puncak gunung di sana, dan lainnya.
Apa sesungguhnya tujuan pembuatan landmark-landmark seperti itu? Bukannya tanpa nama tertancap di Bukit Lee, kota itu tetap saja dinamakan Hollywood?
Dalam pemasaran dikenal istilah differensiasi. Sebuah produk akan mudah diingat konsumen jika mampu tampil secara “different“. Tampilnya huruf-huruf raksasa di atas bukit atau cantiknya desain sebuah bandara akan terus diingat konsumen ketika dikemas secara “different“. Kota Makassar yang banyak dipersepsikan berwatak keras dapat teranulir dengan hadirnya bandara megah itu.
Tentu saja, di balik kemegahannya perlu dibarengi keramahan staf pelayanan di sejumlah titik transaksi: mulai check-in counter hingga boarding gate. Karena bandara adalah gerbang memasuki kota, maka kekaguman dan kesenangan konsumen saat menginjakkan kaki di gerbang itu secara psikologis akan mengantarkan kekaguman dan kesenangannya terhadap kota itu secara keseluruhan.
Sebuah produk, saat kemasannya terlihat menyenangkan maka juga akan berefek multiplier pada kesenangan konsumen saat mencicipinya. Kemasan, seperti halnya bandara, ia adalah gerbang memasuki jantung kota. Pastikan kemasannya terlihat different agar bisa menjadi landmark.***
Bandara yang dibangun lebih tiga tahun itu menelan biaya hingga 600 milyar rupiah. Rasanya tidak berlebihan jika pun saya katakan, saat kita berada di bandara itu, seperti sedang tidak berada di Indonesia. Bandara yang beroperasi di atas lahan 51 ribu meter persegi itu kini menjadi landmark baru Indonesia Timur, khususnya kota Makassar.
Landmark dapat diartikan sebagai sesuatu yang terlahir dari fenomena natural (gunung, pantai, air terjun, dll) dan bisa juga dari fenomena buatan (menara, candi, bandara, dll).
Sejumlah landmark di dunia seperti Taj Mahal di India, Burj al Arab di Dubai, Menara Eiffel di Paris, Piramida di Mesir, dan banyak lagi. Di Indonesia juga ada Monas, Candi Borobudur, Pantai Kuta, Bunaken, dan lainnya.
Beberapa titik landmark kadang-kadang di-brandingkan nama lokasi dengan huruf-huruf raksana. Lihatlah nama Hollywood di Bukit Lee Amerika Serikat, nama Losari di bibir pantai Losari Makassar, nama Coastarina (salah satu perumahan mewah) di Pantai Teluk Tering Batam, nama Papua di salah satu puncak gunung di sana, dan lainnya.
Apa sesungguhnya tujuan pembuatan landmark-landmark seperti itu? Bukannya tanpa nama tertancap di Bukit Lee, kota itu tetap saja dinamakan Hollywood?
Dalam pemasaran dikenal istilah differensiasi. Sebuah produk akan mudah diingat konsumen jika mampu tampil secara “different“. Tampilnya huruf-huruf raksasa di atas bukit atau cantiknya desain sebuah bandara akan terus diingat konsumen ketika dikemas secara “different“. Kota Makassar yang banyak dipersepsikan berwatak keras dapat teranulir dengan hadirnya bandara megah itu.
Tentu saja, di balik kemegahannya perlu dibarengi keramahan staf pelayanan di sejumlah titik transaksi: mulai check-in counter hingga boarding gate. Karena bandara adalah gerbang memasuki kota, maka kekaguman dan kesenangan konsumen saat menginjakkan kaki di gerbang itu secara psikologis akan mengantarkan kekaguman dan kesenangannya terhadap kota itu secara keseluruhan.
Sebuah produk, saat kemasannya terlihat menyenangkan maka juga akan berefek multiplier pada kesenangan konsumen saat mencicipinya. Kemasan, seperti halnya bandara, ia adalah gerbang memasuki jantung kota. Pastikan kemasannya terlihat different agar bisa menjadi landmark.***
Dimuat di kendari Pos, 25 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar