Minggu, Juni 22, 2008

ASING TAPI LOKAL

Pakaian bermerek asing selalu saja diburu. Awalnya karena kualitas yang tak tertandingi namun kemudian bergeser dari kualitas ke persepsi. Konsumen membeli pakaian bermerek asing karena dianggapnya mampu mengangkat citra yang menggunakannya.

Wajarlah kemudian jika toko-toko yang menjajakan pakaian bermerek asing tidak pernah sepi. Jangankan baju baru, yang bekas pun masih laku. Di Sulawesi Selatan dikenal istilah pasar Cakar dan di Sulawesi Tenggara dengan nama RB.

Meski sepanjang hari dan sepanjang minggu pasar RB tidak pernah sepi pengunjung namun supply (pasokan barang) selalu saja mampu memenuhi demand (permintaan pasar). Pertanyaannya kemudian, kenapa demand untuk merek-merek asing selalu tinggi? Bukannya negeri ini sudah mampu menciptakan merek sendiri bahkan dengan kualitas yang jauh lebih baik? Jangankan baju, pesawat terbang saja sudah dapat dibuat di Era Orde Baru. Apalagi sekadar pakaian?

Di sinilah kedahsyatan merek asing.

Jika Anda sesekali perhatikan, tidak sedikit konsumen berbelanja, yang paling pertama diperhatikan bukan harganya. Bukan juga kualitasnya, apalagi jenis bahannya. Kiblat pertama kali adalah merek. Semakin terdengar asing suatu merek, semakin mudah konsumen membelinya.

Karena peluang ciamik ini, lahir pulalah ide-ide cerdik. Meski produk buatan asli Indonesia, namun dibuatnya bermerek asing agar konsumen mudah kepincut. Ada pula yang tidak sekadar meng-asing-kan mereknya tetapi melakukan lebih jauh dengan membuat nuansa gerai se-asing mungkin.

Lihatlah toko roti Holland Bakery yang mencirikan kincir angin di atap gerai tokonya dan bukan bendera merah putih atau lambang Garuda Pancasila. Lihat pula konsep iklan yang diusung Lea Jeans atau baju Stanley Adam dalam konteks asing, tagline asing, bahkan juga bintang iklan orang asing.

Padahal merek-merek itu asli Indonesia. Selain toko roti Holland Bakery, celana Lea Jeans, baju Stanley Adam, masih terdapat sederet merek asing asli produk Indonesia lainnya yang terus mengakrabi telinga bahkan dompet kita.

Masih ada tas Sophie Martin, kosmetik Tje Fuk, Donut J.Co, makanan Hoka Hoka Bento, pizza Papa Ron’s, dan banyak lagi.

Secara kualitas, merek-merek tersebut memang terbilang lumayan. Namun terlepas dari kualitas itu, sasaran yang sesungguhnya ingin dituju adalah persepsi kebanyakan kita yang memposisikan merek dalam negeri berkualitas rendah dan merek asing berkualitas tinggi. Maka lahirlah sekeranjang merek-merek asing namun sesungguhnya asli produk Indonesia.

Ini sekaligus bukti, betapa sebuah merek mampu menggoda “iman” sekaligus menggadaikan “kewarganegaraan” kita. ***

Tidak ada komentar: