Dua hari lagi kita habiskan bulan April. Artinya, sepertiga dari tahun ini segera menjadi catatan sejarah. Lazimnya, apa yang terjadi dalam sepertiga pertama akan menjadi referensi pada dua pertiga sisanya.
Sepanjang sepertiga pertama ini, satu pemandangan unik terjadi di industri telekomunikasi, khususnya selular: perang tarif hingga ke titik terendah.
Selaku pengasuh kolom ini, saya lebih cenderung menyebutnya perang kapasitas dan bukan perang tarif. Tentu saja, sebagian besar masyarakat kita sangat menyambut diskon besar-besaran ini meski di balik kesenangannya tersimpan pertanyaan besar: dari mana operator-operator selular itu meraup untung?
Hal yang sama juga terjadi di industri penerbangan. Jalur domestik dipelopori Lion Air sementara jalur internasional dikibarkan Air Asia. Kedua maskapai ini dikenal Low Cost Carrier atau penerbangan bertarif murah.
Lion maju dengan motto We Make People Fly dan Air Asia yakin dengan motto menantang: Now Every One Can Fly. Yang ingin dijual kedua maskapai ini sesungguhnya bahwa terbang dari suatu kota ke kota lain adalah “hak publik”. Silakan gunakan jasa kami yang murah, ramah, dan bisa terbangkan Anda.
Selular dan penerbangan, dua industri berbeda jauh namun sangat mirip dari sisi kebijakan tarif. Keduanya punya pelanggan tetap dan juga pelanggan tidak tetap. Tidak sedikit pelanggan mereka dari kalangan swinger (mudah beralih pilihan, tergantung ke mana arah angin berhembus)
Di balik perseteruan itu, ada satu hal yang luput dari perhatian kita, yaitu kapasitas. Sebutlah kapasitas 213 seat di pesawat Boeing 737-900 nya Lion Air dan kapasitas 148 seat pesawat Boeing 737-300 nya Air Asia.
Tentu saja tidak semua tempat duduk itu diobral. Ada hitungan-hitungan penjualan tertentu berdasarkan kapasitas minimal, untuk bisa sekadar menutupi biaya operasional. Anggaplah dari 213 seat-nya Lion Air, dengan menjual 150 seat harga standard sudah cukup untuk biaya avtur, gaji pramugari, sewa parkir pesawat, dll, maka sisanya yang 63 seat sudah bisa dijual harga khusus.
Bagaimanapun juga, penuh atau tidaknya seat pesawat, argo biaya tetap jalan: biaya avturnya sama, gaji pramugarinya sama, sewa parkirnya sama, dll.
Hal yang sama terjadi di industri selular. Padat tidaknya okupansi jaringan tidak mempengaruhi biaya listrik, biaya AC, gaji karyawan, dll. Perang gaya “baru” ini akhirnya menguntungkan kita sebagai pelanggan.
Begitu kira-kira, Kawan!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar