Setelah sekian bulan tidak menyapa pembaca, tulisan saya kini kembali hadir dalam suasana Tahun Baru. Di awal kehadirannya di tahun 2008, kolom ini diberi nama Pojok Marketing. Selanjutnya mengalami evolusi dan berganti nama kolom menjadi “Ketika Praktisi Bicara Pemasaran”. Awal 2012 hari ini, kolom ini kembali lagi ke khittah-nya dengan mengusung nama semula, “Pojok Marketing”. Selanjutnya, insya Allah akan terus menyapa setiap minggu di harian ini.
Kawan-kawan yang sering membaca ulasan marketing di kolom ini ternyata lebih senang dengan penamaan Pojok Marketing. Kata mereka, istilah itu terdengar lebih singkat, unik, dan mudah diingat. Dalam kasus pemasaran, saya adalah produsen dan mereka adalah konsumen atas sebuah produk tulisan.
Produsen memang selalu dianjurkan mendengar apa kata konsumen. Produsen tidak boleh main hakim sendiri sebab sesuatu yang baik di mata produsen tidak selamanya baik di mata konsumen. Pada akhirnya, konsumenlah yang “menyetir” produk.
Dulu, orangtua kita menyimpan uang di bawah bantal. Seiring kebutuhan akan rasa aman, konsumen (nasabah) lalu membutuhkan tempat penyimpanan yang aman sehingga lahirlah bank. Masa berlalu, konsumen ternyata tidak hanya butuh bank tetapi mereka juga butuh kemudahan membawa uang ke mana-mana sehingga dibuatkan kartu ATM. Itu pun belum cukup. Konsumen menginginkan transaksi yang tidak perlu membuang-buang waktu ke mesin ATM lalu diciptakanlah internet banking dan mobile banking.
Belum habis sampai di situ.
Mereka ternyata masih punya segudang keinginan berbelanja namun tidak punya dana yang cukup sehingga diluncurkanlah Kartu Kredit, yang memungkinkan konsumen berhutang tanpa jaminan apapun. Hmmm.... betapa indahnya dunia....
Karana perbankan mampu mengakomodir kebutuhan nasabahnya, maka transaksi di semua bank tidak pernah sepi dari waktu ke waktu. Bahkan secara omset, prosentase pertumbuhannya melejit melebihi pertumbuhan jumlah kantor dan karyawannya.
Jika ada produk yang selalu laris dari tahun ke tahun berarti produk itu mampu menjawab kebutuhan konsumen. Sebaliknya, jika sebuah produk hanya laku di zamannya dan hari ini sudah tidak diminati lagi berarti produk tersebut tidak melakukan evolusi untuk menjawab kebutuhan konsumen.
Lihat saja, betapa ramainya Kantor Pos di tahun 90-an lalu bandingkan betapa sepinya hari ini. Lihat juga betapa menjamurnya bisnis Wartel di akhir 90-an lalu silahkan menghitung jari mereka yang masih bertahan hari ini.
Untuk menjaga konsistensi agar selalu mendengar suara konsumen, beberapa perusahaan merawat konsumen mereka dengan baik melalui komunitas, seperti pencinta sepeda, penggemar motor gede, peminat novel, dan banyak lagi.
Sadar akan hadirnya ancaman kehilangan fans, kalangan artis pun melakukan hal yang sama. Maka terdengarlah penamaan-penamaan komunitas mereka, seperti Slankers, Sobat Padi, bahkan artis jebolan You Tube Norman Kamaru juga sudah mulai menggalang komunitas dengan sebutan Normanisme.
Tidak ada pilihan lain. Produsen harus dan mutlak selalu mendengar suara konsumen jika ingin tetap hidup seribu tahun lagi. Dengarkan suara mereka dan jangan biarkan ”suara emas” itu berlalu dan akhirnya hinggap di sarang tetangga.
Selamat Tahun Baru.... Selamat Mendengarkan Suara Konsumen.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 3 Januari 2012
Selasa, Februari 07, 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar