Hampir setiap hari Minggu pagi saya menikmati akhir pekan dengan bersepeda di seputaran Bundaran HI (Hotel Indonesia) Jakarta. Di salah satu sisi bundaran, saya temukan sebuah komunitas yang berkumpul dan bercerita sesukanya seakan membuang lepas ke udara pagi, segala beban hidup di Jakarta.
Untuk menjawab rasa penasaran, saya berusaha mendekat dan mencari tahu. Ternyata, mereka adalah komunitas pencinta sepeda antik dan berbagai aksesorisnya. Tampak sejumlah sepeda tempo doeloe dengan aksesoris antik ala pejuang, jaket kulit, janggut putih, kaca mata, lambang-lambang, hingga topi khas Jenderal Soedirman tumplek di area itu.
Keunikan mereka menarik perhatian masyarakat yang sedang bersepeda ria di seputaran HI. Sebuah penunjukan jati diri yang dilakukan dengan penuh percaya diri.
Dua pekan pertama tahun 2012, masyarakat Indonesia disuguhi prestasi anak-anak SMK Solo yang berhasil membuat mobil Kiat Esemka. Meski masih memerlukan uji kelayakan namun siswa-siswa Solo sudah berani menujukkan jati diri mereka sebagai pencipta mobil SUV (Sport Utility Vehicle) dengan penuh rasa percaya diri.
Sepeda antik dan mobil Kiat Esemeka, dua pemandangan berbeda dalam satu makna. Keduanya berusaha tampil di tengah kerumunan. Dengan keantikan sepeda, masyarakat menemukan “warna baru” di antara ratusan sepeda. Dengan inovasi yang tidak dipikirkan sebelumnya, mobil Kiat Esemka tiba-tiba menyeruak ke permukaan dan memberi “warna baru” prestasi anak sekolah di antara ribuan sekolah di negeri ini.
Sesuatu yang “baru” di antara kerumunan, dalam kasus pemasaran disebut ceruk pasar. Konsumen memang sesekali terpesona dengan sesuatu yang “baru dan unik” di antara kerumunan. Lihat saja, ketika orang Padang berkunjung Sulawesi misalnya, mereka mencari Sate Padang. Ketika warga Makassar ke Kalimantan, mereka mencari Coto Makassar. Ketika jamaah Indonesia ke Saudi, mereka mencari Gado-gado. Makanan yang mereka cari adalah makanan yang “baru” di antara kerumunan makanan yang tersaji. Hallaaaakh, kalau mau cari Gado-gado, kenapa jauh-jauh harus ke Saudi…. Tapi, begitulah wajah konsumen kita, kadang-kadang melakukan sesuatu di luar logika. Hehehee.
Mobil Kiat Esemka bukanlah produk otomotif pertama karya anak bangsa. Belasan karya sudah tercatat namun tak satu pun yang berumur panjang. Sebut saja beberapa di antaranya: Maleo (1993) karya IPTN, Timor (1996) besutan PT Timor Putra Nasional, Kancil (1999) buatan PT Karunia Abadi Niaga, Kanzen (2000) rakitan PT Inti Kanzen Motor, terakhir Kiat Esemka (2012) persembahan anak-anak SMK Solo.
Mengapa kemudian merek-merek itu begitu mudah dihempas angin dan menghilang dari peredaran? Terlepas dari sisi teknis dan kekuatan mesin, saya melihatnya dari kacamata pemasaran bahwa hadirnya mobil buatan anak negeri tidak hanya memerlukan kreativitas tetapi juga kekuatan tempur di pasar.
Seberapa kuat mobil anak negeri mampu menghadapi kekuatan pasar mobil Jepang? Mampukah merek baru menelikung di antara merek kelas dunia sebangsa Toyota? Bagaimana suku cadangnya? Jaringan service after sales-nya? Strategi pemasarannya? Sederet panjang pertanyaan lagi masih perlu dijawab.
Sangatlah tepat jika mobil Kiat Esemka membidik ceruk pasar dan tidak dijual umum. Ia akan lebih mudah dipasarkan ke segmen yang mencari hal-hal “baru”. Melalui strategi ini, produk Kiat Esemka selanjutnya akan lebih kokoh dan menjadi buah bibir sepanjang waktu karena di-positioning-kan sebagai sesuatu yang antik dan very limited edition.
Bukankah sesuatu yang “terbatas” selalu “dicari” sebagaimana Sate Padang di Sulawesi, Coto Makassar di Kalimantan, dan Gado-gado di Saudi?***
Dimuat 16 Januari di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Selasa, Februari 07, 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar