Ereke, sebuah kota kecil di Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Untuk mencapai kota ini, satu-satunya moda transportasi yang bisa digunakan hanyalah kapal kayu. Itu pun ditempuh selama lima jam setelah berjuang menghalau ombak.
Jangan bayangkan jaringan telepon dan internet di kota kecil itu. Pasokan listrik saja hanya terlayani 12 jam sehari, dari pukul 06:00 sore hari hingga pukul 06:00 di pagi hari. Berada di kota itu (dalam kondisi tidak ada sambungan telepon selular) kita benar-benar merasakan suatu “kebebasan intervensi” dari suara deringan.
Akhir pekan lalu saya menikmati ”kebebasan” itu selama dua hari di sana. Mister Nokia di genggaman seketika membisu. Begitupun si Cerdas Blackberry berpuasa terima email yang selama ini dengan derasnya mengalirkan hingga 300 email setiap harinya.
Saat mendekati sejumlah siswa berpakaian pramuka di pinggir jalan, saya seketika tercengang. Rupanya, mereka memotret wajah Pak Gubernur Nur Alam yang sedang menghadiri acara dengan kamera handphone di tangan.
Saking penasarannya, saya kemudian mengorek informasi ke mereka dan menanyakan berapa banyak siswa di sekolahnya yang punya ”handphone bisu” sekadar untuk berkamera ria.
Jawabnya singkat: 60%!
Wow. Artinya, dari 100 siswa terdapat 60 orang di antaranya punya handphone meski belum ada jaringan selular.
Penelusuran bergeser ke salah satu kantor. Tidak kalah menariknya, ada juga yang punya Blackberry tapi tidak bisa digunakan karena tidak ada jaringan. Padahal, Blackberry lazim digunakan para praktisi, politisi, juga pebisnis untuk kemudahan komunikasi email, internet, instant messaging, hingga untuk telepon dan SMS.
Konon pula kabarnya, beberapa rumah yang belum menikmati pasokan listrik juga punya kulkas. Meski tidak dapat mendinginkan isi kulkas, tetapi mereka tetap menggunakannya sebagai lemari pakaian. Kereeen!
Tidak ada yang perlu disalahkan. Mereka beli handphone dan kulkas juga pakai uang sendiri. Tapi ada sesuatu yang menarik bahwa masyarakat di kota itu sudah ”berkarakter” seharusnya punya handphone dan punya kulkas.
Sama halnya generasi sekarang, termasuk saya. Secara perlahan karakter serba instant melekat di kepribadian kita. Mungkin karena keseringan santap mie instant sehingga segala sesuatu juga diinginkan terjadi secara instant. Produk yang dipasarkan mengikuti pembentukan karakter ini pun menjadi laris. Sebut saja kredit tanpa agunan, masakan siap saji sebangsa Kentucky, ayam potong, obat pelangsing, obat gemuk, penghancur lemak, pemutih pakaian, dan banyak lagi.
Kondisi hari ini, apapun yang dibuat instant selalu laku. Untuk itu, mumpung karakter konsumen berada di level ini, coba telusur produk yang sedang Anda pasarkan. Jika masih ada celah dibuat instant, lakukan secepatnya. Pasar demam instant nih.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Senin, Maret 16, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar