Senin, Mei 07, 2012
Pilih Salah Satunya Saja!
Kemajuan sebuah daerah dapat dilihat dari 3 T, yaitu Tourism, Telecommunication, Transportation. Untuk mengukur kemajuan daerah, silahkan mencermati kemajuan 3T di daerah tersebut.
Mana yang lebih maju, Bali atau Manado? Untuk mengetahuinya, kita gunakan indikator tadi. Quick count 3T akan segera menjawabnya.
Bagaimana pula dengan daerah yang tidak maju-maju sejak sekian tahun dipimpin kepala daerah terhormat? Caranya pun mudah: fokus pada 3T. Titik!
Tentu saja sebuah daerah tidak dapat serta merta memajukan ketiga-tiganya dalam satu kesempatan. Terkait ini, yang terpenting dilakukan adalah memprioritaskan salah satunya, daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.
Dalam kasus-kasus pemasaran juga seperti itu. Idealnya, produk kita dapat diterima dengan baik di pasar tradisional, pasar modern, dan pasar online. Jika ketiga pasar tersebut menyambut positif maka produk kita terbilang sukses masuk ke semua kalangan.
Namun tentu saja kita tidak mungkin dapat menyatukan karakter ketiga pasar ini dalam sekali ketuk. Untuk itu, kita perlu melakukan skala prioritas.
Tentu saja, setiap jenis pasar punya kelebihan dan kekurangan. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan yang termudah dan paling kita kuasai.
Pasar itu proses. Semakin kuat kita menciptakan proses transaksi, semakin kuat pula produk kita di pasar. Keluhan konsumen yang silih berganti masuk ke produsen bukanlah musibah tetapi bagian dari sebuah mata rantai proses.
Kedewasaan sebuah produk diuji ketika sudah terjerembab dalam pusaran proses. Ibarat pisau, dia akan makin tajam jika selalu mengalami "proses penajaman" di batu asah. Seperi juga manusia, dia akan menjadi pejuang hidup jika selalu diterpa "proses ujian" di sepanjang hidupnya.
Agar produk dapat diterima dengan baik di pasar, sang pemasar cukup menguasai salah satu karakter pasar terlebih dahulu. Jangan bermimpi bisa langsung diterima seluruh lapisan pasar jika tidak mencoba menaklukkannya secara bertahap.
Kita hanya butuh satu langkah sederhana: memilih salah satu dari jejeran pilihan yang ada. Kuasai dan taklukkan. That's it!
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 7 Mei 2012.
Minggu, April 15, 2012
Saatnya Cek Ban Mobil
Mayoritas penduduk negeri ini sudah mengenal Social Network. Jaringan pertemanan di dunia maya itu, kini hadir dalam berbagai bentuk. Di antaranya yang sangat dikenal adalah Facebook dan Twitter.
Anak kita di rumah mungkin punya teman setia hanya sepuluh orang di sekitaran rumah, tetapi di alam maya dia mempunyai lebih seratus orang. Mereka saling terhubung dan memberi kabar antara satu dengan yang lain tanpa batas waktu, batas dinding, bahkan tanpa batas negara. Mereka bisa saling sapa kapan saja dan dengan siapa saja.
Kemajuan teknologi menjadikan anak kita “matang” sebelum waktunya. Bahkan pengalaman dari beberapa orang, mereka mengakui jika anak-anak mereka tampak lebih cepat dewasa dibandingkan seusia orangtuanya dulu.
Serangan informasi yang menghunjam dari layar komputer, dari layar televisi, juga dari layar handphone, masuk ke benak sang anak tanpa filter lagi. Apa yang yang dapat dilihat dan didengar senior mereka juga dapat dilihat dan didengar oleh sang anak. Batas privasi sudah semakin tipis. Sebuah ironinya jika ini terbiarkan.
Hal yang sama terjadi di industri kita. Karena cepatnya arus informasi, sebuah produk yang baru saja diluncurkan, bisa saja melejit dalam waktu secepat-cepatnya dan bisa juga jatuh berkeping-keping dalam waktu se-singkat-singkatnya.
Produk yang diluncurkan detik ini misalnya, dalam hitungan menit informasinya langsung tersebar hingga ke pelosok Papua. Sekali klik di internet, masyarakat se-antero negeri langsung bisa membacanya, secepat kedipan mata.
Produk bisa saja masih ada di pabrik namun pembeli sudah indent di kantor-kantor cabang. Brosur bisa saja masih dicetak tetapi antrian sudah memanjang di mall-mall Papua. Dulu, pembeli harus melihat barang yang dijajakan. Sekarang, barang bisa dilihat dan dibayangkan sendiri bermodalkan spesifikasi yang dicantumkan di website. Life cycle produk menjadi lebih cepat dari usianya.
Dalam situasi seperti ini, pelaku usaha sudah tidak dapat berdiam diri. Bukan lagi saatnya mengatakan bahwa rejeki sudah diatur dan pembeli akan datang jika sudah ditakdirkan datang. Sekarang zaman jemput bola karena lawan bisa saja menendangkan bola ke gawang kita setiap saat tanpa batasan waktu dan batasan geografis.
Dulu, operasional toko mulai pagi hingga sore. Sekarang, buka toko dapat kita saksikan sepanjang hari di dunia maya. Konsumen dapat membeli apa saja dan berkeluh kesah kapan saja di dunia maya. Peluang dan tantangan pasar tersaji dan hadir di setiap dentang waktu.
Untuk menjawab kebutuhan konsumen yang sangat dinamis seperti ini, tuntutan utamanya adalah speed (kecepatan). Arus informasi sudah bergerak begitu cepat. Seyogyanya, speed juga ditingkatkan untuk segala hal terkait pemenuhan kebutuhan pasar; mulai produksi, distribusi, hingga layanan purna jual.
Hanya dengan speed yang terjaga, kinerja akan menjadi lebih baik. Jika salah satu mata rantai tidak mampu menunjukkan speed yang baik, maka gerbong akan menjadi lambat. Meski kita mempunyai mobil baru, tetapi jika salah satu bannya kempis, maka mobil akan berjalan lambat.
Sesekali kita perlu mengecek kehandalan tim pemasar. Mereka adalah ban yang tidak boleh kempis. Ban gundul dan berumur perlu dirotasi dan jangan biarkan mobil bergerak lambat karenanya.***
Anak kita di rumah mungkin punya teman setia hanya sepuluh orang di sekitaran rumah, tetapi di alam maya dia mempunyai lebih seratus orang. Mereka saling terhubung dan memberi kabar antara satu dengan yang lain tanpa batas waktu, batas dinding, bahkan tanpa batas negara. Mereka bisa saling sapa kapan saja dan dengan siapa saja.
Kemajuan teknologi menjadikan anak kita “matang” sebelum waktunya. Bahkan pengalaman dari beberapa orang, mereka mengakui jika anak-anak mereka tampak lebih cepat dewasa dibandingkan seusia orangtuanya dulu.
Serangan informasi yang menghunjam dari layar komputer, dari layar televisi, juga dari layar handphone, masuk ke benak sang anak tanpa filter lagi. Apa yang yang dapat dilihat dan didengar senior mereka juga dapat dilihat dan didengar oleh sang anak. Batas privasi sudah semakin tipis. Sebuah ironinya jika ini terbiarkan.
Hal yang sama terjadi di industri kita. Karena cepatnya arus informasi, sebuah produk yang baru saja diluncurkan, bisa saja melejit dalam waktu secepat-cepatnya dan bisa juga jatuh berkeping-keping dalam waktu se-singkat-singkatnya.
Produk yang diluncurkan detik ini misalnya, dalam hitungan menit informasinya langsung tersebar hingga ke pelosok Papua. Sekali klik di internet, masyarakat se-antero negeri langsung bisa membacanya, secepat kedipan mata.
Produk bisa saja masih ada di pabrik namun pembeli sudah indent di kantor-kantor cabang. Brosur bisa saja masih dicetak tetapi antrian sudah memanjang di mall-mall Papua. Dulu, pembeli harus melihat barang yang dijajakan. Sekarang, barang bisa dilihat dan dibayangkan sendiri bermodalkan spesifikasi yang dicantumkan di website. Life cycle produk menjadi lebih cepat dari usianya.
Dalam situasi seperti ini, pelaku usaha sudah tidak dapat berdiam diri. Bukan lagi saatnya mengatakan bahwa rejeki sudah diatur dan pembeli akan datang jika sudah ditakdirkan datang. Sekarang zaman jemput bola karena lawan bisa saja menendangkan bola ke gawang kita setiap saat tanpa batasan waktu dan batasan geografis.
Dulu, operasional toko mulai pagi hingga sore. Sekarang, buka toko dapat kita saksikan sepanjang hari di dunia maya. Konsumen dapat membeli apa saja dan berkeluh kesah kapan saja di dunia maya. Peluang dan tantangan pasar tersaji dan hadir di setiap dentang waktu.
Untuk menjawab kebutuhan konsumen yang sangat dinamis seperti ini, tuntutan utamanya adalah speed (kecepatan). Arus informasi sudah bergerak begitu cepat. Seyogyanya, speed juga ditingkatkan untuk segala hal terkait pemenuhan kebutuhan pasar; mulai produksi, distribusi, hingga layanan purna jual.
Hanya dengan speed yang terjaga, kinerja akan menjadi lebih baik. Jika salah satu mata rantai tidak mampu menunjukkan speed yang baik, maka gerbong akan menjadi lambat. Meski kita mempunyai mobil baru, tetapi jika salah satu bannya kempis, maka mobil akan berjalan lambat.
Sesekali kita perlu mengecek kehandalan tim pemasar. Mereka adalah ban yang tidak boleh kempis. Ban gundul dan berumur perlu dirotasi dan jangan biarkan mobil bergerak lambat karenanya.***
Selasa, April 03, 2012
Berawal dari Persepsi
Sejumlah daerah sedang giat mempersiapkan prosesi Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Terjadi hampir merata di seluruh belahan nusantara bahkan pada skop yang lebih besar, persiapan yang sama sudah mulai terlihat untuk Pilpres (Pemilihan Presiden).
Berbagai slogan mulai diperdengarkan dari tim sukses. Peta kekuatan juga sudah digambar jelas untuk tujuan memenangkan jagoan. Ide-ide kreatif pun muncul dan menjamur.
Persis ajang Panasonic Gobel Award (PGA) yang telah dilaksanakan pekan lalu, 27 Maret 2012 di The Djakarta Theatre. Ajang tahunan yang sudah memasuki tahun ke-15 dan diperuntukkan bagi insan pertelevisian itu merupakan cara terbaik menemukan suara akar rumput kualitas acara dan kualitas presenter yang diidolakan pemirsa. Terlepas bahwa pilihan pemirsa itu betul-betul berkualitas, setidaknya itulah hasil ”kesepakatan” yang sudah ditabulasi.
Pilkada, Pilpres, ataupun PGA nyaris sama dengan penjaringan merek di pasar. Sejumlah produk bersaing di etalase toko dengan jargon-jargon menarik agar dipilih konsumen. Diskon besar, cuci gudang, hadiah langsung, harga khusus, dan lainnya menjadi senjata pamungkas yang kerap ditodongkan sang produsen.
Satu hal yang membelalakkan mata dari fakta di lapangan bahwa kebanyakan konsumen memilih produk dari etalase, lebih karena ”persepsi” daripada ”kualitas riil”. Ketika ditanya alasan membeli AC Sharp dan bukan merek China misalnya, kebanyakan konsumen akan menjawab sesuai persepsi masing-masing. Konsumen tidak mempunyai waktu yang cukup meneliti perangkat AC dan membanding-bandingkannya antara satu dengan yang lain. Konsumen melakukan pembelian karena didorong oleh persepsi, seperti: kata tetangga, suaranya tidak bising; kata teman, layanan purna jualnya lebih mudah; kata brosur, lebih hemat listrik; dan seterusnya.
Terlepas dari benar tidaknya persepsi yang terbentuk, itulah yang terdengar di kerumunan pasar. Bisa jadi, AC merek China lebih tidak bising, lebih mudah purna jualnya, dan lebih hemat listrik namun karena belum menjadi ”persepsi umum” sehingga pada kenyataannya belum mampu mengalahkan Sharp.
Persepsi yang terbangun di masyarakat pada titik tertentu tersulap menjadi fakta. Konsumen sudah sangat yakin dengan apa kata tetangga dan apa kata iklan. Pada beberapa kesempatan, iklan bahkan sudah berhasil memerintahkan otak untuk membungkus persepsi-persepsi liar menjadi seakan-akan sebagai fakta riil! Misalnya: kalau beli Aqua, airnya pasti jernih; kalau pakai Pepsodent, gigi pasti putih; kalau naik Lion, pasti hemat...
Yeah... Sebuah bukti kedigdayaan iklan yang mendentum hebat.... padahal jika Anda tahu, semua itu berawal dari potongan iklan.... Sekali lagi, dari potongan iklan! Selanjutnya mengkristal menjadi persepsi. Karena masuk ke ranah umum dan berhasil hinggap menjadi persepsi umum, lalu mewujudlah di benak konsumen seakan-akan itu fakta!
Kenyataan di lapangan, tidak selalu tarif Lion itu murah. Namun karena maskapai murah sudah di-generate oleh Lion sehingga ketika penumpang mencari tiket murah akan langsung terasosiasikan ke maskapai besutan Rusdi Kirana itu.
Begitupun tim sukses Pilkada, Pilpres, juga tim pemasar bahwa yang terpenting bagi kita adalah menebarkan energi-energi positif melalui iklan dan testimoni. Tugas kita sesungguhnya hanyalah mengawal jagoan ke panggung persepsi. That's it!
Ingat selalu bahwa semua berawal dari potongan iklan dan semua berawal dari anak tangga persepsi. Yakinlah, jika kita mampu mengerek jagoan kita hingga mewujud menjadi persepsi umum maka otak pemilih/konsumen akan auto pilot menganggap persepsi yang menari-nari di atas panggung adalah fakta riil.
Memenangi persepsi konsumen adalah bagian terbesar dari sebuah kemenangan nyata! Saatnya fokus memenangkan persepsi....***
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 2 April 2012
Berbagai slogan mulai diperdengarkan dari tim sukses. Peta kekuatan juga sudah digambar jelas untuk tujuan memenangkan jagoan. Ide-ide kreatif pun muncul dan menjamur.
Persis ajang Panasonic Gobel Award (PGA) yang telah dilaksanakan pekan lalu, 27 Maret 2012 di The Djakarta Theatre. Ajang tahunan yang sudah memasuki tahun ke-15 dan diperuntukkan bagi insan pertelevisian itu merupakan cara terbaik menemukan suara akar rumput kualitas acara dan kualitas presenter yang diidolakan pemirsa. Terlepas bahwa pilihan pemirsa itu betul-betul berkualitas, setidaknya itulah hasil ”kesepakatan” yang sudah ditabulasi.
Pilkada, Pilpres, ataupun PGA nyaris sama dengan penjaringan merek di pasar. Sejumlah produk bersaing di etalase toko dengan jargon-jargon menarik agar dipilih konsumen. Diskon besar, cuci gudang, hadiah langsung, harga khusus, dan lainnya menjadi senjata pamungkas yang kerap ditodongkan sang produsen.
Satu hal yang membelalakkan mata dari fakta di lapangan bahwa kebanyakan konsumen memilih produk dari etalase, lebih karena ”persepsi” daripada ”kualitas riil”. Ketika ditanya alasan membeli AC Sharp dan bukan merek China misalnya, kebanyakan konsumen akan menjawab sesuai persepsi masing-masing. Konsumen tidak mempunyai waktu yang cukup meneliti perangkat AC dan membanding-bandingkannya antara satu dengan yang lain. Konsumen melakukan pembelian karena didorong oleh persepsi, seperti: kata tetangga, suaranya tidak bising; kata teman, layanan purna jualnya lebih mudah; kata brosur, lebih hemat listrik; dan seterusnya.
Terlepas dari benar tidaknya persepsi yang terbentuk, itulah yang terdengar di kerumunan pasar. Bisa jadi, AC merek China lebih tidak bising, lebih mudah purna jualnya, dan lebih hemat listrik namun karena belum menjadi ”persepsi umum” sehingga pada kenyataannya belum mampu mengalahkan Sharp.
Persepsi yang terbangun di masyarakat pada titik tertentu tersulap menjadi fakta. Konsumen sudah sangat yakin dengan apa kata tetangga dan apa kata iklan. Pada beberapa kesempatan, iklan bahkan sudah berhasil memerintahkan otak untuk membungkus persepsi-persepsi liar menjadi seakan-akan sebagai fakta riil! Misalnya: kalau beli Aqua, airnya pasti jernih; kalau pakai Pepsodent, gigi pasti putih; kalau naik Lion, pasti hemat...
Yeah... Sebuah bukti kedigdayaan iklan yang mendentum hebat.... padahal jika Anda tahu, semua itu berawal dari potongan iklan.... Sekali lagi, dari potongan iklan! Selanjutnya mengkristal menjadi persepsi. Karena masuk ke ranah umum dan berhasil hinggap menjadi persepsi umum, lalu mewujudlah di benak konsumen seakan-akan itu fakta!
Kenyataan di lapangan, tidak selalu tarif Lion itu murah. Namun karena maskapai murah sudah di-generate oleh Lion sehingga ketika penumpang mencari tiket murah akan langsung terasosiasikan ke maskapai besutan Rusdi Kirana itu.
Begitupun tim sukses Pilkada, Pilpres, juga tim pemasar bahwa yang terpenting bagi kita adalah menebarkan energi-energi positif melalui iklan dan testimoni. Tugas kita sesungguhnya hanyalah mengawal jagoan ke panggung persepsi. That's it!
Ingat selalu bahwa semua berawal dari potongan iklan dan semua berawal dari anak tangga persepsi. Yakinlah, jika kita mampu mengerek jagoan kita hingga mewujud menjadi persepsi umum maka otak pemilih/konsumen akan auto pilot menganggap persepsi yang menari-nari di atas panggung adalah fakta riil.
Memenangi persepsi konsumen adalah bagian terbesar dari sebuah kemenangan nyata! Saatnya fokus memenangkan persepsi....***
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 2 April 2012
Minggu, Maret 18, 2012
Jurus Sakti Pembuktian Terbalik
Kasus demi kasus yang ditangani KPK setahun terakhir makin menarik dicermati. Beberapa kasus di antaranya: kasus Gayus Tambunan, kasus M. Nazaruddin, kasus Anglina Sondakh, dan banyak lagi.
Ketika sebuah kasus sulit dibuktikan, ditempulah salah satu metode pembuktian terbalik. Cara ini dianggap cukup ampuh ”memaksa” pengakuan terdakwa untuk mengakui perbuatannya.
Contoh sederhana, seorang koruptor seharusnya mengakui korupsi yang dituduhkan kepadanya karena hukum sebab – akibat: karena saya korupsi, maka saya kaya. Karena saya makan, maka saya kenyang. Begitulah kira-kira.
Pada pada kondisi tertentu, terdakwa tidak ingin mengakui bahwa dia baru saja makan nasi sehingga kenyang. Karena dirasa sulit mengungkap pengakuan, maka dilakukanlah pembuktian terbalik dengan memutar balik arah pertanyaan: kenapa Anda kenyang?
Bukan lagi mengedepankan sebab tetapi mendahulukan akibat. Karena ada akibat, pasti ada sebab. Karena Anda kenyang, maka pasti Anda habis makan.
Dalam kasus-kasus pemasaran juga terjadi demikian. Ketika kompetisi sudah semakin crowded dan arah pasar semakin sulit ditebak, maka juga dilakukan pembuktian terbalik. Biasanya, pembuktian terbalik dilakukan, pasar akan langsung merespon dengan cepat.
Kita tentu saja masih ingat sepuluh tahun lalu jika berhutang itu dianggap kurang baik dalam kultur ketimuran karena menujukkan ketidakmampuan membiayai hidup sehari-hari. Hal itu tidak lagi terjadi saat ini.
Profesional muda di ibukota nyaris tidak pernah luput dari berbagai tawaran hutang dengan kemasan berbeda-beda. Mulai kemasan halus (soft cover) ala KPR hingga cara nekat (hard cover) gaya Kredit Tanpa Agunan, tumplek plek menjadi santapan harian.
Perbankan semakin agresif menawarkan hutang ke calon nasabah meskipun dalam penawaran mereka sesungguhnya terdapat risiko yang sangat besar. Ketika kartu kredit diterbitkan, risiko sudah mulai ditabur. Ketika nasabah menunggak, risiko mulai dituai. Begitulah seterusnya....
Secara naluri, pihak perbankan tentu saja was-was ketika menerbitkan kartu kredit. Namun karena pasar yang ingin digarap sudah semakin kompetitif dan peluang mengeruk keuntungan semakin kecil, maka ditempulah cara-cara yang out of the box: kartu hutang (kartu kredit) ditebar, penawaran tanpa agunan dihambur, pemberian cash back digenjot.
Apa yang dilakukan para penerbit kartu kredit merupakan penjabaran dari pembuktian terbalik. Karena saya akan punya uang maka saya bisa berhutang, begitu hukum sebab - akibatnya. Kondisi itu kemudian dibalik dengan mengedepankan akibat menjadi ”berhutanglah karena Anda akan punya uang untuk bayar kelak”.
Sekitar tahun 2001, salah bank besar pemerintah juga pernah menerapkan strategi ini dengan memberikan hadiah kepada nasabah yang melakukan penarikan terbesar di ATM. Yang diberikan hadiah bukan tabungan terbanyak tetapi penarikan terbesar.
Logikanya sederhana. Penarikan dapat dilakukan jika ada dana dalam tabungan. Penarikan dalam jumlah besar dapat dilakukan jika dana dalam tabungan juga besar. Memancing hadiah di sisi penarikan berarti mendorong nasabah menambah isi tabungan.
Jurus seperti itu kembali terngiang. Pembuktian terbalik tidak hanya dijalankan di pengadilan tetapi juga di dunia pemasaran. Pertanyaan”Sudahkah Anda makan nasi pagi ini?” mulai terdengar usang. Saatnya kita ganti dengan yang lebih sakti ”Kelihatannya Anda kenyang sekali. Makan apa pagi tadi?”
Dengan mengedepankan akibat, maka jawaban pertanyaan (sebab hal itu terjadi) akan keluar. Pembuktian terbalik tampak lebih sakti.***
Saran dan kritik: 081524004567.
Ketika sebuah kasus sulit dibuktikan, ditempulah salah satu metode pembuktian terbalik. Cara ini dianggap cukup ampuh ”memaksa” pengakuan terdakwa untuk mengakui perbuatannya.
Contoh sederhana, seorang koruptor seharusnya mengakui korupsi yang dituduhkan kepadanya karena hukum sebab – akibat: karena saya korupsi, maka saya kaya. Karena saya makan, maka saya kenyang. Begitulah kira-kira.
Pada pada kondisi tertentu, terdakwa tidak ingin mengakui bahwa dia baru saja makan nasi sehingga kenyang. Karena dirasa sulit mengungkap pengakuan, maka dilakukanlah pembuktian terbalik dengan memutar balik arah pertanyaan: kenapa Anda kenyang?
Bukan lagi mengedepankan sebab tetapi mendahulukan akibat. Karena ada akibat, pasti ada sebab. Karena Anda kenyang, maka pasti Anda habis makan.
Dalam kasus-kasus pemasaran juga terjadi demikian. Ketika kompetisi sudah semakin crowded dan arah pasar semakin sulit ditebak, maka juga dilakukan pembuktian terbalik. Biasanya, pembuktian terbalik dilakukan, pasar akan langsung merespon dengan cepat.
Kita tentu saja masih ingat sepuluh tahun lalu jika berhutang itu dianggap kurang baik dalam kultur ketimuran karena menujukkan ketidakmampuan membiayai hidup sehari-hari. Hal itu tidak lagi terjadi saat ini.
Profesional muda di ibukota nyaris tidak pernah luput dari berbagai tawaran hutang dengan kemasan berbeda-beda. Mulai kemasan halus (soft cover) ala KPR hingga cara nekat (hard cover) gaya Kredit Tanpa Agunan, tumplek plek menjadi santapan harian.
Perbankan semakin agresif menawarkan hutang ke calon nasabah meskipun dalam penawaran mereka sesungguhnya terdapat risiko yang sangat besar. Ketika kartu kredit diterbitkan, risiko sudah mulai ditabur. Ketika nasabah menunggak, risiko mulai dituai. Begitulah seterusnya....
Secara naluri, pihak perbankan tentu saja was-was ketika menerbitkan kartu kredit. Namun karena pasar yang ingin digarap sudah semakin kompetitif dan peluang mengeruk keuntungan semakin kecil, maka ditempulah cara-cara yang out of the box: kartu hutang (kartu kredit) ditebar, penawaran tanpa agunan dihambur, pemberian cash back digenjot.
Apa yang dilakukan para penerbit kartu kredit merupakan penjabaran dari pembuktian terbalik. Karena saya akan punya uang maka saya bisa berhutang, begitu hukum sebab - akibatnya. Kondisi itu kemudian dibalik dengan mengedepankan akibat menjadi ”berhutanglah karena Anda akan punya uang untuk bayar kelak”.
Sekitar tahun 2001, salah bank besar pemerintah juga pernah menerapkan strategi ini dengan memberikan hadiah kepada nasabah yang melakukan penarikan terbesar di ATM. Yang diberikan hadiah bukan tabungan terbanyak tetapi penarikan terbesar.
Logikanya sederhana. Penarikan dapat dilakukan jika ada dana dalam tabungan. Penarikan dalam jumlah besar dapat dilakukan jika dana dalam tabungan juga besar. Memancing hadiah di sisi penarikan berarti mendorong nasabah menambah isi tabungan.
Jurus seperti itu kembali terngiang. Pembuktian terbalik tidak hanya dijalankan di pengadilan tetapi juga di dunia pemasaran. Pertanyaan”Sudahkah Anda makan nasi pagi ini?” mulai terdengar usang. Saatnya kita ganti dengan yang lebih sakti ”Kelihatannya Anda kenyang sekali. Makan apa pagi tadi?”
Dengan mengedepankan akibat, maka jawaban pertanyaan (sebab hal itu terjadi) akan keluar. Pembuktian terbalik tampak lebih sakti.***
Saran dan kritik: 081524004567.
Minggu, Maret 04, 2012
Ketika Toyota Mengasah Jadda
Film Negeri 5 Menara serentak tayang di seluruh Indonesia pekan lalu. Film Indonesia yang diangkat dari novel dengan judul yang sama itu, melakukan pengambilan gambar selama 40 hari di 4 tempat (Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Danau Maninjau Sumatera Barat, Bandung, London). Film itu mengusung filosofi Islam berbunyi man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses.
Filosofi itu pada kenyataannya memang banyak digaungkan ke dalam jiwa santri-santri pondok di se-antero nusantara. Setiap anak santri di pondok mana pun di negeri ini mengerti betul makna di balik kalimat man jadda wajada. Harapannya, setiap santri kelak akan selalu berbuat yang terbaik dan fokus mencapai mahligai sukses setelah mengayuh roda jadda demi jadda di setiap dentang waktu.
Banyak pembelajaran diteteskan dari film ini yang dapat kita petik dan relevan dijalankan dalam keseharian. Pada skop lebih besar, jadda atau kesungguhan merupakan modal utama kita ketika berinteraksi dengan waktu. Semakin besar jadda yang kita investasikan, semakin cepat pula waktu itu menyajikan keberhasilan di hadapan kita.
Jika kemudian ditarik ke kasus-kasus pemasaran, kita pun menyaksikan deretan panjang perusahaan sukses yang berasal dari kristalisasi jadda selama puluhan tahun. Fase jadda merupakan fase kritis yang membutuhkan cucuran keringat, bauran pemikiran, juga tetesan air mata.
Di dalam jadda, lebih banyak duka yang menyambut dibandingkan suka yang tersaji. Penjualan menurun karena ulah distributor misalnya, itu salah satu mata rantai jadda yang menuntut vitamin jadda yang lebih banyak lagi agar perjuangan dapat membuahkan keberhasilan.
Semakin banyak pulau kecil jadda yang dilewati sebuah produk, akan semakin matang pula produk itu ketika bersanding di medan tempur. Hambatan-hambatan jadda di sepanjang perjalanan merupakan proses pembentukan jati diri produk dalam meraih mihrab suksesnya.
Banyak buku membahas Cara Cepat Jadi Kaya, Jalan Pintas Naik Pangkat, Manager Satu Menit, dll. Namun hal itu tidak dikenal di perjalanan karir sebuah produk. Produk mengalami fase-fase yang sangat kompleks sebagaimana manusia mengalami 4 runutan fase dari bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa.
Dalam produk dikenal istilah PLC (Product Life Cycle) yang menerangkan bahwa setiap produk mengalami pola hidup yang bersiklus. Sebagaimana film Negeri 5 Menara yang pengambilan gambarnya dilakukan di 4 tempat dan manusia mengalami 4 tahap kehidupan, maka produk pun memiliki 4 siklus, yaitu: Introduction (Perkenalan), Growing (Pertumbuhan), Maturity (Kedewasaan), dan Declining (Penurunan).
Tidak ada produk instant di dunia ini, yang begitu diluncurkan langsung laku keras. Itu hanya ada dalam mimpi!
Lalu, bagaimana dengan produk Anda? Saat ini berada di siklus mana?
Jika sudah berada di siklus Maturity, hal yang perlu segera dilakukan untuk “menunda” perjalanan ke siklus paling ganas (declining) adalah menciptakan varian produk. Dengan begitu, pasar menjadi tidak jenuh.
Contoh paling dekat kita cermati adalah strategi Toyota meluncurkan Avanza Veloz akhir tahun lalu sebagai upaya untuk tetap mempertahankan kepemimpinan Avanza di pasar MPV (Multi Purpose Vehicle). Dengan varian Veloz, pasar kembali tersaji menu masakan baru racikan Toyota sekaligus sebagai upaya “menunda” putaran PLC ke fase declining.
Strategi ini juga bagian dari perjuangan jadda sang pemimpin pasar. Ternyata, orang Jepang sekelas Toyota pun mengasah jadda-nya di pasar Indonesia.***
Filosofi itu pada kenyataannya memang banyak digaungkan ke dalam jiwa santri-santri pondok di se-antero nusantara. Setiap anak santri di pondok mana pun di negeri ini mengerti betul makna di balik kalimat man jadda wajada. Harapannya, setiap santri kelak akan selalu berbuat yang terbaik dan fokus mencapai mahligai sukses setelah mengayuh roda jadda demi jadda di setiap dentang waktu.
Banyak pembelajaran diteteskan dari film ini yang dapat kita petik dan relevan dijalankan dalam keseharian. Pada skop lebih besar, jadda atau kesungguhan merupakan modal utama kita ketika berinteraksi dengan waktu. Semakin besar jadda yang kita investasikan, semakin cepat pula waktu itu menyajikan keberhasilan di hadapan kita.
Jika kemudian ditarik ke kasus-kasus pemasaran, kita pun menyaksikan deretan panjang perusahaan sukses yang berasal dari kristalisasi jadda selama puluhan tahun. Fase jadda merupakan fase kritis yang membutuhkan cucuran keringat, bauran pemikiran, juga tetesan air mata.
Di dalam jadda, lebih banyak duka yang menyambut dibandingkan suka yang tersaji. Penjualan menurun karena ulah distributor misalnya, itu salah satu mata rantai jadda yang menuntut vitamin jadda yang lebih banyak lagi agar perjuangan dapat membuahkan keberhasilan.
Semakin banyak pulau kecil jadda yang dilewati sebuah produk, akan semakin matang pula produk itu ketika bersanding di medan tempur. Hambatan-hambatan jadda di sepanjang perjalanan merupakan proses pembentukan jati diri produk dalam meraih mihrab suksesnya.
Banyak buku membahas Cara Cepat Jadi Kaya, Jalan Pintas Naik Pangkat, Manager Satu Menit, dll. Namun hal itu tidak dikenal di perjalanan karir sebuah produk. Produk mengalami fase-fase yang sangat kompleks sebagaimana manusia mengalami 4 runutan fase dari bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa.
Dalam produk dikenal istilah PLC (Product Life Cycle) yang menerangkan bahwa setiap produk mengalami pola hidup yang bersiklus. Sebagaimana film Negeri 5 Menara yang pengambilan gambarnya dilakukan di 4 tempat dan manusia mengalami 4 tahap kehidupan, maka produk pun memiliki 4 siklus, yaitu: Introduction (Perkenalan), Growing (Pertumbuhan), Maturity (Kedewasaan), dan Declining (Penurunan).
Tidak ada produk instant di dunia ini, yang begitu diluncurkan langsung laku keras. Itu hanya ada dalam mimpi!
Lalu, bagaimana dengan produk Anda? Saat ini berada di siklus mana?
Jika sudah berada di siklus Maturity, hal yang perlu segera dilakukan untuk “menunda” perjalanan ke siklus paling ganas (declining) adalah menciptakan varian produk. Dengan begitu, pasar menjadi tidak jenuh.
Contoh paling dekat kita cermati adalah strategi Toyota meluncurkan Avanza Veloz akhir tahun lalu sebagai upaya untuk tetap mempertahankan kepemimpinan Avanza di pasar MPV (Multi Purpose Vehicle). Dengan varian Veloz, pasar kembali tersaji menu masakan baru racikan Toyota sekaligus sebagai upaya “menunda” putaran PLC ke fase declining.
Strategi ini juga bagian dari perjuangan jadda sang pemimpin pasar. Ternyata, orang Jepang sekelas Toyota pun mengasah jadda-nya di pasar Indonesia.***
Minggu, Februari 26, 2012
Biarkan Ratu Duduk Manis
Makin tinggi pohon, makin tinggi juga angin menerpanya. Makin kuat iman seseorang, makin ganas juga setan menggodanya.
Ketika sebuah merek memimpin pasar, kursi kerajaan yang didudukinya selalu diserang kompetitor dengan berbagai cara. Kalau saja sang pemimpin pasar tidak mempunyai "iman" yang kuat, mereka akan tergoda mengikuti arus deras persaingan.
Fakta menunjukkan, hanya sedikit merek yang kuat imannya untuk tidak tergoda. Justru banyak pemimpin pasar terpeleset mengikuti rancak gendang sang penggoda (kompetitor).
Lihat saja pemandangan setahun - dua tahun lalu ketika Honda terbujuk rayu moleknya pasar roda dua hingga terlena dan sempat diisalip beberapa bulan oleh Yamaha. Begitupun Nokia yang terninabobokkan alunan irama pertumbuhan selular dan lupa memperhitungkan tren industri yang bergeser ke pasar Social Media hingga kemuudian pasarnya direbut Blackberry.
Extra Joss pun begitu. Bermaksud mengikuti rel kompetisi secara apik namun akhirnya menginjak ranjau pesaing. Secara kinerja, Extra Joss termasuk sangat kinclong bahkan pada 2005 sempat menembus omset Rp 1 Triliun yang selama ini tidak pernah ditembus produk konsumsi.
Pengalaman pahit Extra Joss yang sangat fenomenal cukup menarik dijadikan cerminan untuk kajian kasus pemasaran. Ketika seru-serunya mencapai puncak sekitar tahun 2003-2004, Extra Joss yang sudah matang tergoda rayuan pemain seksi lain yang baru saja menginjak remaja dan sedang gemulai-gemulainya menari di pentas kompetisi, seperti Hemaviton Jreng, Kuku Bima, dan M-150.
Karena mengintip keberhasilan para merek remaja itu menyajikan varian rasa, Extra Joss seketika kalang kabut lalu menjadi follower. Dia langsung meluncurkan varian rasa lebih manis, Extra Joss LG.
Di sinilah kesalahan fatal Extra Joss karena secara frontal melawan pesaing dengan brand yang sudah ada (Extra Joss). Seharusnya, perlawanan dilakukan dengan mendorong fighting brand ke atas pentas. Begitu kurang lebih komentar Simon Jonathan, Direktur Pengelola Bintang Toejoe ketika diwawancarai media setahun lalu.
Pelajaran yang dapat dipetik darri kasus ini bahwa merek yang sudah mapan jangan digaruk lagi. Biarkan dia duduk manis di singgasananya hingga tertidur pulas menikmati surga pasar. Untuk maju berperang, dianjurkan menggunakan merek khusus yang memang ditujukan sebagai prajurit lapangan. Apa yang dilakukan pesaing, ajukan jawaban dengan fighting brand itu.
Saya salut dengan strategi Garuda Indonesia. Segmen yang dibidiknya dari kalangan menengah ke atas. Menghadapi Lion Air yang semakin lincah, Garuda menyodorkan Citilink sebagai fighting brand. Yang terjadi kemudian, pasar Garuda tetap terjaga dan permintaan pasar terhadap Low Cost Carrier juga dapat terjawab.
Keberhasilan sebuah merek merupakan inner beauty yang seharusnya terus dijaga kekokohannya. Hempasan angin yang datang sesekali itu wajar. Untuk melindungi kemolekan inner beauty, munculkan daun muda (as fighting brand) dan biarkan merek itu berlaga dengan para penantang di dataran rumput.
Jangan mengganggu ketenangan hidup sang ratu di kursi kekuasaan. Biarkan sang ratu duduk manis dan relakan fighting brand berdarah-darah di medan tempur.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 27 Februari 2012
Ketika sebuah merek memimpin pasar, kursi kerajaan yang didudukinya selalu diserang kompetitor dengan berbagai cara. Kalau saja sang pemimpin pasar tidak mempunyai "iman" yang kuat, mereka akan tergoda mengikuti arus deras persaingan.
Fakta menunjukkan, hanya sedikit merek yang kuat imannya untuk tidak tergoda. Justru banyak pemimpin pasar terpeleset mengikuti rancak gendang sang penggoda (kompetitor).
Lihat saja pemandangan setahun - dua tahun lalu ketika Honda terbujuk rayu moleknya pasar roda dua hingga terlena dan sempat diisalip beberapa bulan oleh Yamaha. Begitupun Nokia yang terninabobokkan alunan irama pertumbuhan selular dan lupa memperhitungkan tren industri yang bergeser ke pasar Social Media hingga kemuudian pasarnya direbut Blackberry.
Extra Joss pun begitu. Bermaksud mengikuti rel kompetisi secara apik namun akhirnya menginjak ranjau pesaing. Secara kinerja, Extra Joss termasuk sangat kinclong bahkan pada 2005 sempat menembus omset Rp 1 Triliun yang selama ini tidak pernah ditembus produk konsumsi.
Pengalaman pahit Extra Joss yang sangat fenomenal cukup menarik dijadikan cerminan untuk kajian kasus pemasaran. Ketika seru-serunya mencapai puncak sekitar tahun 2003-2004, Extra Joss yang sudah matang tergoda rayuan pemain seksi lain yang baru saja menginjak remaja dan sedang gemulai-gemulainya menari di pentas kompetisi, seperti Hemaviton Jreng, Kuku Bima, dan M-150.
Karena mengintip keberhasilan para merek remaja itu menyajikan varian rasa, Extra Joss seketika kalang kabut lalu menjadi follower. Dia langsung meluncurkan varian rasa lebih manis, Extra Joss LG.
Di sinilah kesalahan fatal Extra Joss karena secara frontal melawan pesaing dengan brand yang sudah ada (Extra Joss). Seharusnya, perlawanan dilakukan dengan mendorong fighting brand ke atas pentas. Begitu kurang lebih komentar Simon Jonathan, Direktur Pengelola Bintang Toejoe ketika diwawancarai media setahun lalu.
Pelajaran yang dapat dipetik darri kasus ini bahwa merek yang sudah mapan jangan digaruk lagi. Biarkan dia duduk manis di singgasananya hingga tertidur pulas menikmati surga pasar. Untuk maju berperang, dianjurkan menggunakan merek khusus yang memang ditujukan sebagai prajurit lapangan. Apa yang dilakukan pesaing, ajukan jawaban dengan fighting brand itu.
Saya salut dengan strategi Garuda Indonesia. Segmen yang dibidiknya dari kalangan menengah ke atas. Menghadapi Lion Air yang semakin lincah, Garuda menyodorkan Citilink sebagai fighting brand. Yang terjadi kemudian, pasar Garuda tetap terjaga dan permintaan pasar terhadap Low Cost Carrier juga dapat terjawab.
Keberhasilan sebuah merek merupakan inner beauty yang seharusnya terus dijaga kekokohannya. Hempasan angin yang datang sesekali itu wajar. Untuk melindungi kemolekan inner beauty, munculkan daun muda (as fighting brand) dan biarkan merek itu berlaga dengan para penantang di dataran rumput.
Jangan mengganggu ketenangan hidup sang ratu di kursi kekuasaan. Biarkan sang ratu duduk manis dan relakan fighting brand berdarah-darah di medan tempur.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 27 Februari 2012
Minggu, Februari 19, 2012
Hadirkan Cerita dalam Merek
Bulan Februari menjadi bulan ditunggu-tunggu pasangan kawula muda. Konon, 14 Februari adalah hari kasih sayang sedunia, yang dalam istilah kerennya disebut sebagai hari Valentine.
Jika melirik ke sejarah, tanggal tersebut merupakan hari kematian pendeta Santo Valentine yang dilambangkan sebagai pejuang kasih sayang di zaman kepemimpinan Kaisar Claudius di Roma tahun 269 M. Sebagai bentuk simpati pada pejuang cinta Santo Valentine itu, lalu dirayakanlah hari kasih sayang setiap tanggal 14 Februari di Perancis, Inggris, dan Roma. Hingga akhirnya, kawula muda di sekitaran kita juga ikut merayakan Hari Valentine tanpa mengetahui asbaabun nuzulnya.
Terlepas dari pro-kontra itu, saya mencoba memandangnya dari kacamata pemasaran. Sepanjang tahun, hampir tiap bulan kita mempunyai cerita khusus. Februari dengan Kasih Sayang-nya, April dengan April Mop-nya, Oktober dengan Semangat Persatuan-nya, Desember dengan Bakti Ibu sepanjang masa, dan banyak lagi.
Betapa hampanya hari-hari kita jika tanpa cerita. Juga betapa jenuhnya kegiatan kantor jika kita hanya masuk jam 08.00 pagi dan pulang jam 17.00 sore dengan datang, duduk, diam, mengetik, lalu pulang.
Yang menancap di ingatan kita ketika masa muda sepuluh tahun lalu adalah ”cerita-cerita yang membekas”. Semakin indah cerita masa lalu, semakin kita ingin kembali ke masa itu. Karena sejumlah ”cerita”, maka kita bisa membedakan masa lalu dan masa kini.
Begitupun dengan merek. Jika ada lima merek susu terpajang di etalase, maka seharusnya ada lima cerita seru yang terungkap. Mungkin saja setelah meminumnya, kita akan berkesimpulan: Milo padat cokelat, Dancow lebih alami, Ovaltine menyatu dengan air, Anlene agak asin, Bendera rasa merdeka. Hehe....
Semakin indah cerita yang didapatkan, kita pun semakin merindukan merek itu. Dalam kesehariannya, konsumen selalu diserbu ratusan merek dari berbagai penjuru. Baru bangun tidur langsung lihat Seiko. Sarapan pagi tampak Bango, Royco, Miyako. Ke kantor berjejer Alphard, Innova, Xenia. Selama di kantor ketemu Toshiba, Bantex, Stabilo. Kembali ke rumah berpapasan Suzuki, Honda, Yamaha.
Tiada waktu sedetikpun tanpa melihat merek. Bahkan ketika ke kamar mandi sekalipun kita masih dijejali Toto, Pepsodent, Biore, dan Lux. Hingga menjelang tidur, kita masih menyempatkan salam pisah dengan Blackberry.
Betapa beratnya tugas otak ini jika semua merek yang dilihat harus dihafal. Selama 365 hari setahun kita menemukan merek berseliweran di rumah, di jalan, juga di kantor. Berlangsung setiap detik, setiap hari, sepanjang tahun.
Tidak semua merek bisa diingat tetapi sebagian di antaranya justru tidak bisa dilupakan. Kenapa itu terjadi? Karena sesungguhnya yang melekatkan merek ke benak kita bukanlah susunan huruf dan warna tetapi lebih karena c-e-r-i-t-a!
Yeah... karena cerita-lah yang membuat kita semakin mesra dengan pasangan. Cerita-lah yang membuat kita semakin rindu kampung halaman. Cerita-lah yang membuat kita selalu ingin reuni. Cerita pulalah yang membuat kita bisa membedakan waktu.
Begitu pentingnya sebuah ”cerita” dalam sejarah hidup manusia sehingga setiap merek seharusnya bisa ”bercerita” tentang dirinya supaya mudah diingat dan dirindukan konsumen. Menghadirkan ”experiencing” adalah nilai tambah tertinggi dalam sebuah kompetisi.
Tarif hotel bintang lima mungkin lebih mahal lima kali lipat dibanding hotel melati namun faktanya hotel bintang lima selalu saja dicari dan dirindukan. Ukuran kamar boleh sama. Paras cantik resepsionis juga boleh sama. Yang membedakan hanyalah ”cerita/experiencing” yang dihadirkannya.
Agar tampil percaya diri di panggung kompetisi, maka hadirkanlah ”cerita” ke dalam merek!
Betul kata iklan: Ini ceritaku.... Mana ceritamu?***
Jika melirik ke sejarah, tanggal tersebut merupakan hari kematian pendeta Santo Valentine yang dilambangkan sebagai pejuang kasih sayang di zaman kepemimpinan Kaisar Claudius di Roma tahun 269 M. Sebagai bentuk simpati pada pejuang cinta Santo Valentine itu, lalu dirayakanlah hari kasih sayang setiap tanggal 14 Februari di Perancis, Inggris, dan Roma. Hingga akhirnya, kawula muda di sekitaran kita juga ikut merayakan Hari Valentine tanpa mengetahui asbaabun nuzulnya.
Terlepas dari pro-kontra itu, saya mencoba memandangnya dari kacamata pemasaran. Sepanjang tahun, hampir tiap bulan kita mempunyai cerita khusus. Februari dengan Kasih Sayang-nya, April dengan April Mop-nya, Oktober dengan Semangat Persatuan-nya, Desember dengan Bakti Ibu sepanjang masa, dan banyak lagi.
Betapa hampanya hari-hari kita jika tanpa cerita. Juga betapa jenuhnya kegiatan kantor jika kita hanya masuk jam 08.00 pagi dan pulang jam 17.00 sore dengan datang, duduk, diam, mengetik, lalu pulang.
Yang menancap di ingatan kita ketika masa muda sepuluh tahun lalu adalah ”cerita-cerita yang membekas”. Semakin indah cerita masa lalu, semakin kita ingin kembali ke masa itu. Karena sejumlah ”cerita”, maka kita bisa membedakan masa lalu dan masa kini.
Begitupun dengan merek. Jika ada lima merek susu terpajang di etalase, maka seharusnya ada lima cerita seru yang terungkap. Mungkin saja setelah meminumnya, kita akan berkesimpulan: Milo padat cokelat, Dancow lebih alami, Ovaltine menyatu dengan air, Anlene agak asin, Bendera rasa merdeka. Hehe....
Semakin indah cerita yang didapatkan, kita pun semakin merindukan merek itu. Dalam kesehariannya, konsumen selalu diserbu ratusan merek dari berbagai penjuru. Baru bangun tidur langsung lihat Seiko. Sarapan pagi tampak Bango, Royco, Miyako. Ke kantor berjejer Alphard, Innova, Xenia. Selama di kantor ketemu Toshiba, Bantex, Stabilo. Kembali ke rumah berpapasan Suzuki, Honda, Yamaha.
Tiada waktu sedetikpun tanpa melihat merek. Bahkan ketika ke kamar mandi sekalipun kita masih dijejali Toto, Pepsodent, Biore, dan Lux. Hingga menjelang tidur, kita masih menyempatkan salam pisah dengan Blackberry.
Betapa beratnya tugas otak ini jika semua merek yang dilihat harus dihafal. Selama 365 hari setahun kita menemukan merek berseliweran di rumah, di jalan, juga di kantor. Berlangsung setiap detik, setiap hari, sepanjang tahun.
Tidak semua merek bisa diingat tetapi sebagian di antaranya justru tidak bisa dilupakan. Kenapa itu terjadi? Karena sesungguhnya yang melekatkan merek ke benak kita bukanlah susunan huruf dan warna tetapi lebih karena c-e-r-i-t-a!
Yeah... karena cerita-lah yang membuat kita semakin mesra dengan pasangan. Cerita-lah yang membuat kita semakin rindu kampung halaman. Cerita-lah yang membuat kita selalu ingin reuni. Cerita pulalah yang membuat kita bisa membedakan waktu.
Begitu pentingnya sebuah ”cerita” dalam sejarah hidup manusia sehingga setiap merek seharusnya bisa ”bercerita” tentang dirinya supaya mudah diingat dan dirindukan konsumen. Menghadirkan ”experiencing” adalah nilai tambah tertinggi dalam sebuah kompetisi.
Tarif hotel bintang lima mungkin lebih mahal lima kali lipat dibanding hotel melati namun faktanya hotel bintang lima selalu saja dicari dan dirindukan. Ukuran kamar boleh sama. Paras cantik resepsionis juga boleh sama. Yang membedakan hanyalah ”cerita/experiencing” yang dihadirkannya.
Agar tampil percaya diri di panggung kompetisi, maka hadirkanlah ”cerita” ke dalam merek!
Betul kata iklan: Ini ceritaku.... Mana ceritamu?***
Senin, Februari 13, 2012
Berburu Rezeki di Jalur Pulang
Fenomena menarik kita temukan di kota-kota besar, khususnya di ibukota provinsi. Toko-toko swalayan berjejeran di jalan-jalan utama, dari ujung utara hingga ujung selatan.
Dua pemain besar yang sangat aktif melakukan ekspansi adalah Alfamart dan Indomaret. Ibarat gula dan semut, kedua pemain ini pun saling intip. Di mana ada Alfamart, di situ ada Indomaret. Begitupun sebaliknya.
Program diskon juga dibuat jor-joran. Dinamika pasar di produk FMCG (Fast Moving Consumer Goods) seperti sabun, susu, gula, dll pada kedua toko swalayan tersebut tampak sangat blak-blakan.
Bagai berbalas pantun, keduanya sangat PeDe menunjukkan kepiawaian mereka menghunjam masuk ke pasar-pasar modern bahkan juga dengan sukses merapat ke pasar tradisional.
Sebagian berpendapat bahwa dengan masuknya Alfamart dan Indomaret ke suatu daerah akan mematikan usaha-usaha kecil yang telah berdiri puluhan tahun. Hal ini disebabkan oleh persaingan harga yang tidak mampu disandingkan dengan pedagang-pedagang kecil di daerah.
Perlu diketahui bahwa tidak selamanya persaingan harga menjadi senjata utama yang mematikan. Lihat saja Singapore Airlines masih kuat bertahan (bahkan masih terus diminati) meski tarifnya selangit dibandingkan AirAsia. Begitu pun antara Garuda dengan Lion Air, kereta eksekutif dengan ekonomi, dan moda transportasi lainnya.
Kejadian yang sama terlihat juga dengan nyata di merek Aqua, Dji Sam Soe, Levis, McD, Philips, dll. Meski harga produk merek-merek tersebut menjulang dibanding kompetitornya namun tetap saja dicari. Ini menunjukkan bahwa harga bukanlah satu-satunya pendorong konsumen untuk membeli dan bukan pula satu-satunya peluru mematikan dalam berkompetisi.
Khusus Alfamart dan Indomaret, mereka menerapkan Strategi Jalur Pulang yang selama ini tidak dilirik toko-toko kelontong tradisional. Kedua swalayan tersebut ternyata tidak sembarang menentukan lokasi ekspansi toko barunya. Mereka lebih awal melakukan survei dengan perkiraan BEP (Break Even Point / Balik Modal) paling lama tiga setengah tahun.
Untuk mewujudkan itu, syarat utama penentuan lokasi adalah Jalur Pulang. Ya, jalur pulang dari kantor ke rumah. Mereka fokus ke Jalur Pulang, bukan Jalur Pergi.
Di zaman serba mobile saat ini, strategisnya sebuah lokasi bukan lagi ditentukan dengan area lampu merah, dekat persimpangan, berhadapan pasar, dan lainnya. Kini ditemukan titik strategis baru yang lebih presisi yaitu Jalur Pulang.
Ketika suami siap-siap tinggalkan kantor, kebiasaan istri menelepon sang suami untuk dibelikan beras, gula, atau apapun itu yang kebetulan persiapan di rumah sedang habis.
Di tengah perjalanan kembali ke rumah, anak-anak di rumah sesekali menghubungi ponsel ayahnya untuk singgah dibelikan buku gambar, pinsil warna, atau mungkin ayam goreng. Tentu saja, permintaan istri pada suami dan permohonan anak pada ayahnya akan dipenuhi dalam perjalanan pulang. Maka wajarlah jika Alfamart dan Indomaret melirik Jalur Pulang sebagai lokasi strategis baru untuk membuka toko.
Kita pun bisa melakukan itu.
Meski sedikit terlambat namun akan sangat membantu menyuburkan pundi-pundi ketika kita berhasil membaca Jalur Pulang para pekerja ke rumahnya.
Kelihatan sederhana tapi pasti.
Di pagi hari, ketika pekerja menuju kantor selalu disertai semangat untuk bekerja. Namun di sore hari, ketika pekerja kembali ke rumah selalu disertai semangat membahagiakan keluarga. Apapun yang diminta istri dan anak-anak selalu diupayakan untuk dipenuhi.
Dan, proses pemenuhan kebutuhan istri dan anak-anak terjadi di Jalur Pulang; sebuah titik strategis baru yang masih potensial dikembangkan dan sangat mudah ditemukan.
Saatnya kini kita telusuri Jalur Pulang. Saatnya pula kita memburu rezeki di Jalur pulang.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 13 Februari 2012
Dua pemain besar yang sangat aktif melakukan ekspansi adalah Alfamart dan Indomaret. Ibarat gula dan semut, kedua pemain ini pun saling intip. Di mana ada Alfamart, di situ ada Indomaret. Begitupun sebaliknya.
Program diskon juga dibuat jor-joran. Dinamika pasar di produk FMCG (Fast Moving Consumer Goods) seperti sabun, susu, gula, dll pada kedua toko swalayan tersebut tampak sangat blak-blakan.
Bagai berbalas pantun, keduanya sangat PeDe menunjukkan kepiawaian mereka menghunjam masuk ke pasar-pasar modern bahkan juga dengan sukses merapat ke pasar tradisional.
Sebagian berpendapat bahwa dengan masuknya Alfamart dan Indomaret ke suatu daerah akan mematikan usaha-usaha kecil yang telah berdiri puluhan tahun. Hal ini disebabkan oleh persaingan harga yang tidak mampu disandingkan dengan pedagang-pedagang kecil di daerah.
Perlu diketahui bahwa tidak selamanya persaingan harga menjadi senjata utama yang mematikan. Lihat saja Singapore Airlines masih kuat bertahan (bahkan masih terus diminati) meski tarifnya selangit dibandingkan AirAsia. Begitu pun antara Garuda dengan Lion Air, kereta eksekutif dengan ekonomi, dan moda transportasi lainnya.
Kejadian yang sama terlihat juga dengan nyata di merek Aqua, Dji Sam Soe, Levis, McD, Philips, dll. Meski harga produk merek-merek tersebut menjulang dibanding kompetitornya namun tetap saja dicari. Ini menunjukkan bahwa harga bukanlah satu-satunya pendorong konsumen untuk membeli dan bukan pula satu-satunya peluru mematikan dalam berkompetisi.
Khusus Alfamart dan Indomaret, mereka menerapkan Strategi Jalur Pulang yang selama ini tidak dilirik toko-toko kelontong tradisional. Kedua swalayan tersebut ternyata tidak sembarang menentukan lokasi ekspansi toko barunya. Mereka lebih awal melakukan survei dengan perkiraan BEP (Break Even Point / Balik Modal) paling lama tiga setengah tahun.
Untuk mewujudkan itu, syarat utama penentuan lokasi adalah Jalur Pulang. Ya, jalur pulang dari kantor ke rumah. Mereka fokus ke Jalur Pulang, bukan Jalur Pergi.
Di zaman serba mobile saat ini, strategisnya sebuah lokasi bukan lagi ditentukan dengan area lampu merah, dekat persimpangan, berhadapan pasar, dan lainnya. Kini ditemukan titik strategis baru yang lebih presisi yaitu Jalur Pulang.
Ketika suami siap-siap tinggalkan kantor, kebiasaan istri menelepon sang suami untuk dibelikan beras, gula, atau apapun itu yang kebetulan persiapan di rumah sedang habis.
Di tengah perjalanan kembali ke rumah, anak-anak di rumah sesekali menghubungi ponsel ayahnya untuk singgah dibelikan buku gambar, pinsil warna, atau mungkin ayam goreng. Tentu saja, permintaan istri pada suami dan permohonan anak pada ayahnya akan dipenuhi dalam perjalanan pulang. Maka wajarlah jika Alfamart dan Indomaret melirik Jalur Pulang sebagai lokasi strategis baru untuk membuka toko.
Kita pun bisa melakukan itu.
Meski sedikit terlambat namun akan sangat membantu menyuburkan pundi-pundi ketika kita berhasil membaca Jalur Pulang para pekerja ke rumahnya.
Kelihatan sederhana tapi pasti.
Di pagi hari, ketika pekerja menuju kantor selalu disertai semangat untuk bekerja. Namun di sore hari, ketika pekerja kembali ke rumah selalu disertai semangat membahagiakan keluarga. Apapun yang diminta istri dan anak-anak selalu diupayakan untuk dipenuhi.
Dan, proses pemenuhan kebutuhan istri dan anak-anak terjadi di Jalur Pulang; sebuah titik strategis baru yang masih potensial dikembangkan dan sangat mudah ditemukan.
Saatnya kini kita telusuri Jalur Pulang. Saatnya pula kita memburu rezeki di Jalur pulang.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 13 Februari 2012
Selasa, Februari 07, 2012
Mulailah dari Pagar
Tukul Arwana selalu mempopulerkan ”Don’t judge the book by its cover (jangan menilai kualitas buku dari cover-nya)” memang tidak terbantahkan. Kecantikan seorang wanita tidak hanya perlu dilihat dari raut wajah tetapi juga dari perilaku.
Secara umum, apa yang digaungkan Tukul itu benar. Dari kacamata konsumen, peribahasa itu perlu selalu dipegang agar produk yang dibelinya tidak mengecewakan. Spesifikasi di brosur seharusnya selalu sama dengan barangnya.
Pengalaman menunjukkan bahwa selama ini produsen cenderung berada di satu anak tangga yang lebih tinggi dibanding konsumen. Produsen men-drive pikiran konsumen sehingga terbujuk rayu membeli produknya.
Itulah misi yang selalu diemban setiap agency periklanan ketika mendapat order iklan dari mitranya. Ketika Kentucky Fried Chicken (KFC) meminta dibuatkan iklan ayam goreng misalnya, maka agency langsung merumuskan keinginan KFC sedetail mungkin agar konsumen yang nantinya melihat iklan tersebut langsung tergoda mencicipi ayam goreng KFC.
Supaya kesan renyah langsung ditangkap konsumen, ditampilkanlah gambar potongan ayam goreng yang crunchy alias garing. Dengan trik ini, produsen berusaha masuk ke alam bawah sadar pikiran konsumen hingga tiba di titik kesimpulan: renyah!
Terlepas bahwa ayam itu memang benar-benar renyah dan garing, setidaknya produsen sudah berhasil masuk ke pikiran konsumen hingga tiba di titik kesimpulan. Bukan sesuatu yang mudah untuk menggiring sebuah kata ke benak konsumen. Karena itu, sang produsen menggandeng pihak ketiga demi menghadirkan ”cover buku yang baik” di depan mata konsumen.
Persoalan ”cover buku” seperti ini berlaku di semua industri. Konsultan dan penulis property dunia sekalipun, sebangsa Dolf De Roos, ternyata juga menerapkan hal yang sama. Menurutnya, untuk meningkatkan harga jual sebuah rumah, Anda cukup melakukan satu langkah sederhana: cat pagarnya!
Beliau mempunyai 101 cara meningkatkan nilai jual rumah. Beberapa di antaranya: rapikan rumput, ganti pintu utama, bersihkan atap rumah, cat ulang rumah, pasang carport, buat sekat jalan untuk mobil, pasang lampu depan pintu, ganti saklar-saklar lampu, pasang teralis, ganti handle pintu, dan seterusnya.
Kita tidak perlu melakukan banyak hal untuk menghasilkan lebih banyak uang, kata De Roos. Mungkin biaya yang dibutuhkan hanya Rp 10 juta namun nilai jual bisa terkerek hingga 5 kali lipat dari biaya itu. Hmm....
Perlu diketahui bahwa produsen selalu bermain di area depan sebagaimana buku dengan cover-nya dan rumah dengan pagar-nya. Sementara konsumen, sebenarnya lebih butuh isi buku dibanding cover dan lebih butuh isi rumah dari sekadar pagar. Meski demikian, alam pikiran konsumen selama ini selalu mengikut sesuai arahan produsen (berkat hasil kreasi agency tadi) sehingga sampai dunia kiamat sekalipun, konsumen masih akan selalu men-judge sesuatu by its cover.
Untuk itu, ingat selalu untuk memulai dari pagar. Konsumen hanya melihat pagar, rumput, atap, dan tampilan luar. Bukan isinya.***
Dimuat 6 Februari 2012 di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Secara umum, apa yang digaungkan Tukul itu benar. Dari kacamata konsumen, peribahasa itu perlu selalu dipegang agar produk yang dibelinya tidak mengecewakan. Spesifikasi di brosur seharusnya selalu sama dengan barangnya.
Pengalaman menunjukkan bahwa selama ini produsen cenderung berada di satu anak tangga yang lebih tinggi dibanding konsumen. Produsen men-drive pikiran konsumen sehingga terbujuk rayu membeli produknya.
Itulah misi yang selalu diemban setiap agency periklanan ketika mendapat order iklan dari mitranya. Ketika Kentucky Fried Chicken (KFC) meminta dibuatkan iklan ayam goreng misalnya, maka agency langsung merumuskan keinginan KFC sedetail mungkin agar konsumen yang nantinya melihat iklan tersebut langsung tergoda mencicipi ayam goreng KFC.
Supaya kesan renyah langsung ditangkap konsumen, ditampilkanlah gambar potongan ayam goreng yang crunchy alias garing. Dengan trik ini, produsen berusaha masuk ke alam bawah sadar pikiran konsumen hingga tiba di titik kesimpulan: renyah!
Terlepas bahwa ayam itu memang benar-benar renyah dan garing, setidaknya produsen sudah berhasil masuk ke pikiran konsumen hingga tiba di titik kesimpulan. Bukan sesuatu yang mudah untuk menggiring sebuah kata ke benak konsumen. Karena itu, sang produsen menggandeng pihak ketiga demi menghadirkan ”cover buku yang baik” di depan mata konsumen.
Persoalan ”cover buku” seperti ini berlaku di semua industri. Konsultan dan penulis property dunia sekalipun, sebangsa Dolf De Roos, ternyata juga menerapkan hal yang sama. Menurutnya, untuk meningkatkan harga jual sebuah rumah, Anda cukup melakukan satu langkah sederhana: cat pagarnya!
Beliau mempunyai 101 cara meningkatkan nilai jual rumah. Beberapa di antaranya: rapikan rumput, ganti pintu utama, bersihkan atap rumah, cat ulang rumah, pasang carport, buat sekat jalan untuk mobil, pasang lampu depan pintu, ganti saklar-saklar lampu, pasang teralis, ganti handle pintu, dan seterusnya.
Kita tidak perlu melakukan banyak hal untuk menghasilkan lebih banyak uang, kata De Roos. Mungkin biaya yang dibutuhkan hanya Rp 10 juta namun nilai jual bisa terkerek hingga 5 kali lipat dari biaya itu. Hmm....
Perlu diketahui bahwa produsen selalu bermain di area depan sebagaimana buku dengan cover-nya dan rumah dengan pagar-nya. Sementara konsumen, sebenarnya lebih butuh isi buku dibanding cover dan lebih butuh isi rumah dari sekadar pagar. Meski demikian, alam pikiran konsumen selama ini selalu mengikut sesuai arahan produsen (berkat hasil kreasi agency tadi) sehingga sampai dunia kiamat sekalipun, konsumen masih akan selalu men-judge sesuatu by its cover.
Untuk itu, ingat selalu untuk memulai dari pagar. Konsumen hanya melihat pagar, rumput, atap, dan tampilan luar. Bukan isinya.***
Dimuat 6 Februari 2012 di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Hypnotic Words
Masih terasa di banyak sudut kota nuansa merah, sisa-sisa perayaan imlek yang baru saja berlalu. Imlek yang awalnya hanya dirayakan kaum petani sebagai ungkapan syukur atas panen musim semi, kini merambah ke panggung publik dan dirayakan secara terbuka dengan balutan kalimat singkat: “gong xi fa chai” (mandarin), “kiung hi sin nyien” (khek), atau “sin cia ju ie” (tio chu).
Berbagai perayaan keagamaan dan kenegaraan di negeri ini selalu menyisakan pesan moral bagi pengikutnya. Lihat saja yang terpancar di Imlek dengan semangat untuk hidup lebih sejahtera, di Idul fitri dengan hati yang lebih suci, juga di HUT Proklamasi dengan perjuangan hidup yang lebih baik, dan banyak lagi.
Kalimat-kalimat pendek di setiap perayaan sesungguhnya adalah kumpulan dari Hypnotic Words bahwa kata-kata yang ada mengantarkan pengikutnya ke sebuah imajinasi positif.
Hal yang sama juga selalu terjadi bahkan wajib terjadi di dunia pemasaran. Dalam kacamata pemasaran, hal seperti ini lazim disebut tagline. Kata-katanya pendek, unik, dan inspiratif.
Ahli brand Eric Swartz melihat bahwa tagline umumnya tidak lebih dari tujuh kata dan sangat powerfull. Untuk itu, pemilihan kata untuk tagline perlu dilakukan dengan hati-hati karena tagline akan merepresentasikan personality dan positioning brand yang dikawalnya.
Beberapa contoh tagline saya paparkan seperti: KFC, Jagonya Ayam; YOU C1000, Healthy Inside Fresh Outside; TOYOTA AVANZA, You'll Think You Can; YAMAHA VEGA, Menjawab Semua Impian; PANASONIC, Idea's For Life; BODREX, Selalu Oke Setiap Saat; A MILD, Bukan Basa Basi; CLEAR, Ketombe Siapa Takut; EXTRA JOSS, The Real Joss; NIKE, Just do it; SANYO, Rajanya Pompa Air; dan seterusnya.
Dalam bisnis dikenal pameo bahwa ketika kita menjual sebuah produk, tugas pertama adalah ”mengaduk-aduk” emosi pembeli. Kita perlu membawa imajinasi pembeli ke ”alam mimpi” seakan-akan hal itu sudah terjadi.
Ketika kita berkunjung ke pameran perumahan misalnya, di sana kita ditawari rumah dilengkapi bumbu-bumbu mimpi seperti rencana pembangunan jalan lingkar, akses bebas hambatan, kompleks bebas banjir, taman hijau, pagar kompleks keliling lengkap security 24 jam, dan lain-lain.
Emosi kita diaduk sedemikian rupa seakan-akan rumah itu sudah ada di hadapan kita. Konsumen dibawa ke ”alam mimpi” meski pembangunannya sendiri belum dimulai dan harus menunggu setahun setelah bayar DP. Wow....
Untuk memudahkan konsumen menentukan pilihan, tim pemasar perlu memilih kata-kata yang menginspirasi hingga emosinya teraduk-aduk sehingga tanpa sadar masuk ke ”alam mimpi”. Kesuksesan tahap awal tim pemasar dapat dilihat dari suksesnya menggiring konsumen ke alam mimpi. Dan, hal itu dapat dilakukan dengan mendampingkan kata-kata positif nan inspiratif di setiap produk yang ditawarkannya.
Ketatnya kompetisi mungkin bisa mengalahkan kita dari sisi kualitas produk tetapi fakta menunjukkan bahwa kebanyakan konsumen membeli bukan karena kualitas tapi karena dorongan emosi. Gunakan celah ini dan saatnya memainkan emosi!**
Dimjuat 30 Januari 2012 di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Berbagai perayaan keagamaan dan kenegaraan di negeri ini selalu menyisakan pesan moral bagi pengikutnya. Lihat saja yang terpancar di Imlek dengan semangat untuk hidup lebih sejahtera, di Idul fitri dengan hati yang lebih suci, juga di HUT Proklamasi dengan perjuangan hidup yang lebih baik, dan banyak lagi.
Kalimat-kalimat pendek di setiap perayaan sesungguhnya adalah kumpulan dari Hypnotic Words bahwa kata-kata yang ada mengantarkan pengikutnya ke sebuah imajinasi positif.
Hal yang sama juga selalu terjadi bahkan wajib terjadi di dunia pemasaran. Dalam kacamata pemasaran, hal seperti ini lazim disebut tagline. Kata-katanya pendek, unik, dan inspiratif.
Ahli brand Eric Swartz melihat bahwa tagline umumnya tidak lebih dari tujuh kata dan sangat powerfull. Untuk itu, pemilihan kata untuk tagline perlu dilakukan dengan hati-hati karena tagline akan merepresentasikan personality dan positioning brand yang dikawalnya.
Beberapa contoh tagline saya paparkan seperti: KFC, Jagonya Ayam; YOU C1000, Healthy Inside Fresh Outside; TOYOTA AVANZA, You'll Think You Can; YAMAHA VEGA, Menjawab Semua Impian; PANASONIC, Idea's For Life; BODREX, Selalu Oke Setiap Saat; A MILD, Bukan Basa Basi; CLEAR, Ketombe Siapa Takut; EXTRA JOSS, The Real Joss; NIKE, Just do it; SANYO, Rajanya Pompa Air; dan seterusnya.
Dalam bisnis dikenal pameo bahwa ketika kita menjual sebuah produk, tugas pertama adalah ”mengaduk-aduk” emosi pembeli. Kita perlu membawa imajinasi pembeli ke ”alam mimpi” seakan-akan hal itu sudah terjadi.
Ketika kita berkunjung ke pameran perumahan misalnya, di sana kita ditawari rumah dilengkapi bumbu-bumbu mimpi seperti rencana pembangunan jalan lingkar, akses bebas hambatan, kompleks bebas banjir, taman hijau, pagar kompleks keliling lengkap security 24 jam, dan lain-lain.
Emosi kita diaduk sedemikian rupa seakan-akan rumah itu sudah ada di hadapan kita. Konsumen dibawa ke ”alam mimpi” meski pembangunannya sendiri belum dimulai dan harus menunggu setahun setelah bayar DP. Wow....
Untuk memudahkan konsumen menentukan pilihan, tim pemasar perlu memilih kata-kata yang menginspirasi hingga emosinya teraduk-aduk sehingga tanpa sadar masuk ke ”alam mimpi”. Kesuksesan tahap awal tim pemasar dapat dilihat dari suksesnya menggiring konsumen ke alam mimpi. Dan, hal itu dapat dilakukan dengan mendampingkan kata-kata positif nan inspiratif di setiap produk yang ditawarkannya.
Ketatnya kompetisi mungkin bisa mengalahkan kita dari sisi kualitas produk tetapi fakta menunjukkan bahwa kebanyakan konsumen membeli bukan karena kualitas tapi karena dorongan emosi. Gunakan celah ini dan saatnya memainkan emosi!**
Dimjuat 30 Januari 2012 di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Yang "Terbatas" Selalu "Dicari"
Hampir setiap hari Minggu pagi saya menikmati akhir pekan dengan bersepeda di seputaran Bundaran HI (Hotel Indonesia) Jakarta. Di salah satu sisi bundaran, saya temukan sebuah komunitas yang berkumpul dan bercerita sesukanya seakan membuang lepas ke udara pagi, segala beban hidup di Jakarta.
Untuk menjawab rasa penasaran, saya berusaha mendekat dan mencari tahu. Ternyata, mereka adalah komunitas pencinta sepeda antik dan berbagai aksesorisnya. Tampak sejumlah sepeda tempo doeloe dengan aksesoris antik ala pejuang, jaket kulit, janggut putih, kaca mata, lambang-lambang, hingga topi khas Jenderal Soedirman tumplek di area itu.
Keunikan mereka menarik perhatian masyarakat yang sedang bersepeda ria di seputaran HI. Sebuah penunjukan jati diri yang dilakukan dengan penuh percaya diri.
Dua pekan pertama tahun 2012, masyarakat Indonesia disuguhi prestasi anak-anak SMK Solo yang berhasil membuat mobil Kiat Esemka. Meski masih memerlukan uji kelayakan namun siswa-siswa Solo sudah berani menujukkan jati diri mereka sebagai pencipta mobil SUV (Sport Utility Vehicle) dengan penuh rasa percaya diri.
Sepeda antik dan mobil Kiat Esemeka, dua pemandangan berbeda dalam satu makna. Keduanya berusaha tampil di tengah kerumunan. Dengan keantikan sepeda, masyarakat menemukan “warna baru” di antara ratusan sepeda. Dengan inovasi yang tidak dipikirkan sebelumnya, mobil Kiat Esemka tiba-tiba menyeruak ke permukaan dan memberi “warna baru” prestasi anak sekolah di antara ribuan sekolah di negeri ini.
Sesuatu yang “baru” di antara kerumunan, dalam kasus pemasaran disebut ceruk pasar. Konsumen memang sesekali terpesona dengan sesuatu yang “baru dan unik” di antara kerumunan. Lihat saja, ketika orang Padang berkunjung Sulawesi misalnya, mereka mencari Sate Padang. Ketika warga Makassar ke Kalimantan, mereka mencari Coto Makassar. Ketika jamaah Indonesia ke Saudi, mereka mencari Gado-gado. Makanan yang mereka cari adalah makanan yang “baru” di antara kerumunan makanan yang tersaji. Hallaaaakh, kalau mau cari Gado-gado, kenapa jauh-jauh harus ke Saudi…. Tapi, begitulah wajah konsumen kita, kadang-kadang melakukan sesuatu di luar logika. Hehehee.
Mobil Kiat Esemka bukanlah produk otomotif pertama karya anak bangsa. Belasan karya sudah tercatat namun tak satu pun yang berumur panjang. Sebut saja beberapa di antaranya: Maleo (1993) karya IPTN, Timor (1996) besutan PT Timor Putra Nasional, Kancil (1999) buatan PT Karunia Abadi Niaga, Kanzen (2000) rakitan PT Inti Kanzen Motor, terakhir Kiat Esemka (2012) persembahan anak-anak SMK Solo.
Mengapa kemudian merek-merek itu begitu mudah dihempas angin dan menghilang dari peredaran? Terlepas dari sisi teknis dan kekuatan mesin, saya melihatnya dari kacamata pemasaran bahwa hadirnya mobil buatan anak negeri tidak hanya memerlukan kreativitas tetapi juga kekuatan tempur di pasar.
Seberapa kuat mobil anak negeri mampu menghadapi kekuatan pasar mobil Jepang? Mampukah merek baru menelikung di antara merek kelas dunia sebangsa Toyota? Bagaimana suku cadangnya? Jaringan service after sales-nya? Strategi pemasarannya? Sederet panjang pertanyaan lagi masih perlu dijawab.
Sangatlah tepat jika mobil Kiat Esemka membidik ceruk pasar dan tidak dijual umum. Ia akan lebih mudah dipasarkan ke segmen yang mencari hal-hal “baru”. Melalui strategi ini, produk Kiat Esemka selanjutnya akan lebih kokoh dan menjadi buah bibir sepanjang waktu karena di-positioning-kan sebagai sesuatu yang antik dan very limited edition.
Bukankah sesuatu yang “terbatas” selalu “dicari” sebagaimana Sate Padang di Sulawesi, Coto Makassar di Kalimantan, dan Gado-gado di Saudi?***
Dimuat 16 Januari di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Untuk menjawab rasa penasaran, saya berusaha mendekat dan mencari tahu. Ternyata, mereka adalah komunitas pencinta sepeda antik dan berbagai aksesorisnya. Tampak sejumlah sepeda tempo doeloe dengan aksesoris antik ala pejuang, jaket kulit, janggut putih, kaca mata, lambang-lambang, hingga topi khas Jenderal Soedirman tumplek di area itu.
Keunikan mereka menarik perhatian masyarakat yang sedang bersepeda ria di seputaran HI. Sebuah penunjukan jati diri yang dilakukan dengan penuh percaya diri.
Dua pekan pertama tahun 2012, masyarakat Indonesia disuguhi prestasi anak-anak SMK Solo yang berhasil membuat mobil Kiat Esemka. Meski masih memerlukan uji kelayakan namun siswa-siswa Solo sudah berani menujukkan jati diri mereka sebagai pencipta mobil SUV (Sport Utility Vehicle) dengan penuh rasa percaya diri.
Sepeda antik dan mobil Kiat Esemeka, dua pemandangan berbeda dalam satu makna. Keduanya berusaha tampil di tengah kerumunan. Dengan keantikan sepeda, masyarakat menemukan “warna baru” di antara ratusan sepeda. Dengan inovasi yang tidak dipikirkan sebelumnya, mobil Kiat Esemka tiba-tiba menyeruak ke permukaan dan memberi “warna baru” prestasi anak sekolah di antara ribuan sekolah di negeri ini.
Sesuatu yang “baru” di antara kerumunan, dalam kasus pemasaran disebut ceruk pasar. Konsumen memang sesekali terpesona dengan sesuatu yang “baru dan unik” di antara kerumunan. Lihat saja, ketika orang Padang berkunjung Sulawesi misalnya, mereka mencari Sate Padang. Ketika warga Makassar ke Kalimantan, mereka mencari Coto Makassar. Ketika jamaah Indonesia ke Saudi, mereka mencari Gado-gado. Makanan yang mereka cari adalah makanan yang “baru” di antara kerumunan makanan yang tersaji. Hallaaaakh, kalau mau cari Gado-gado, kenapa jauh-jauh harus ke Saudi…. Tapi, begitulah wajah konsumen kita, kadang-kadang melakukan sesuatu di luar logika. Hehehee.
Mobil Kiat Esemka bukanlah produk otomotif pertama karya anak bangsa. Belasan karya sudah tercatat namun tak satu pun yang berumur panjang. Sebut saja beberapa di antaranya: Maleo (1993) karya IPTN, Timor (1996) besutan PT Timor Putra Nasional, Kancil (1999) buatan PT Karunia Abadi Niaga, Kanzen (2000) rakitan PT Inti Kanzen Motor, terakhir Kiat Esemka (2012) persembahan anak-anak SMK Solo.
Mengapa kemudian merek-merek itu begitu mudah dihempas angin dan menghilang dari peredaran? Terlepas dari sisi teknis dan kekuatan mesin, saya melihatnya dari kacamata pemasaran bahwa hadirnya mobil buatan anak negeri tidak hanya memerlukan kreativitas tetapi juga kekuatan tempur di pasar.
Seberapa kuat mobil anak negeri mampu menghadapi kekuatan pasar mobil Jepang? Mampukah merek baru menelikung di antara merek kelas dunia sebangsa Toyota? Bagaimana suku cadangnya? Jaringan service after sales-nya? Strategi pemasarannya? Sederet panjang pertanyaan lagi masih perlu dijawab.
Sangatlah tepat jika mobil Kiat Esemka membidik ceruk pasar dan tidak dijual umum. Ia akan lebih mudah dipasarkan ke segmen yang mencari hal-hal “baru”. Melalui strategi ini, produk Kiat Esemka selanjutnya akan lebih kokoh dan menjadi buah bibir sepanjang waktu karena di-positioning-kan sebagai sesuatu yang antik dan very limited edition.
Bukankah sesuatu yang “terbatas” selalu “dicari” sebagaimana Sate Padang di Sulawesi, Coto Makassar di Kalimantan, dan Gado-gado di Saudi?***
Dimuat 16 Januari di Kendari Pos (Jawa Pos Group)
Sense of Crisis
Banyak cara mengawali Tahun Baru. Mulai dari hiruk pikuk, study tour, hingga workshop serius. Lazimnya, tahun baru diawali dengan semangat baru dan target-target baru.
Sayangnya, semangat yang rrruaar biasa itu belum disertai dengan arahan yang rinci sehingga yang ada hanya mimpi-mimpi indah dan terus berulang setiap pergantian tahun. Harapan tinggal harapan, mimpi tinggal mimpi.
Cara yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah memilah milih titik krusial yang perlu segera ditingkatkan. Penetrasi pasar yang seharusnya tumbuh di sebuah cluster tetapi tidak berubah, misalnya, bisa menjadi salah satu titik fokus.
Bagi perusahaan yang sudah mapan, jika dirasa tidak ada yang krusial sekalipun, juga dianjurkan menciptakan sense yang sama. Hal yang tidak urgent bisa dibuat urgent agar dalam diri kita terlahir Sense of Crisis.
Dalam keseharian dikenal istilah Urgent (mendesak) dan Important (penting). Ada yang mendesak tapi tidak penting, ada yang penting tapi tidak mendesak, ada pula yang penting dan mendesak.
Mengambil jemuran ketika hujan saat santap siang bukan hal penting tetapi itu mendesak. Jika tidak segera berlari mengambil jemuran, pakaian-pakaian akan basah diguyur hujan.
Membuat program kerja itu 'penting' sehingga selalu menjadi agenda tahunan. Namun selama penjabaran di lapangan tidak dibuat 'mendesak' maka sepanjang tahun tidak akan tercipta Sense of Crisis.
Saya teringat dengan Jack Welch ketika baru saja diangkat menjadi CEO GE (General Electric) sekitar tahun 1980-an. Meski ketika itu GE menjadi salah satu dari 20 perusahaan terbaik dunia tetapi Jack Welch mengatakan kepada seluruh karyawannya bahwa GE sedang dalam bahaya. Sejumlah karyawan mempertanyakan statement tersebut namun Jack Welch tetap saja meyakinkan mereka untuk segera berubah.
Dalam suasana nyaman sekalipun (karena sudah berada di deretan perusahaan terbaik dunia), GE masih saja memproklamirkan diri ke internal mereka jika sedang dalam bahaya agar karyawan dapat keluar dengan segera dari comfort zone. Mereka menciptakan urgensi (suasana mendesak) untuk memicu adrenalin agar berbuat lebih baik lagi.
Banyak korban yang jatuh, bukan karena menabrak batu besar tetapi karena tergelincir kerikil-kerikil kecil. Comfort zone kadang-kadang membuat kita lengah dan 'buta' terhadap kondisi sekitar sehingga tanpa disadari jika tetangga sedang mempersiapkan serangan-serangan jitu.
Tragedi Black September menara WTC di Amerika 10 tahun lalu, menjadi sebuah bukti kelengahan Amerika di tengah comfort zone. Negara sekuat dan seadidaya Amerika sekalipun, ternyata juga terkilir di tengah kenyamanannya.
Di tahun naga 2012 ini, saatnya kita mencoba keluar dari comfort zone agar tidak ikut tergelincir. Salah satu caranya, dengan memposisikan produk kita dalam zona bahaya sehingga kita menjadi lebih awas terhadap kondisi di sekeliling.
Mari, mengawali aktivitas di tahun baru ini dengan Sense of Crisis yang tinggi. Hanya dengan itu, potensi produk kita akan teruji dan aliran deras adrenalin tenaga pemasar akan terpicu lebih kencang.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 10 Januari 2012
Sayangnya, semangat yang rrruaar biasa itu belum disertai dengan arahan yang rinci sehingga yang ada hanya mimpi-mimpi indah dan terus berulang setiap pergantian tahun. Harapan tinggal harapan, mimpi tinggal mimpi.
Cara yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah memilah milih titik krusial yang perlu segera ditingkatkan. Penetrasi pasar yang seharusnya tumbuh di sebuah cluster tetapi tidak berubah, misalnya, bisa menjadi salah satu titik fokus.
Bagi perusahaan yang sudah mapan, jika dirasa tidak ada yang krusial sekalipun, juga dianjurkan menciptakan sense yang sama. Hal yang tidak urgent bisa dibuat urgent agar dalam diri kita terlahir Sense of Crisis.
Dalam keseharian dikenal istilah Urgent (mendesak) dan Important (penting). Ada yang mendesak tapi tidak penting, ada yang penting tapi tidak mendesak, ada pula yang penting dan mendesak.
Mengambil jemuran ketika hujan saat santap siang bukan hal penting tetapi itu mendesak. Jika tidak segera berlari mengambil jemuran, pakaian-pakaian akan basah diguyur hujan.
Membuat program kerja itu 'penting' sehingga selalu menjadi agenda tahunan. Namun selama penjabaran di lapangan tidak dibuat 'mendesak' maka sepanjang tahun tidak akan tercipta Sense of Crisis.
Saya teringat dengan Jack Welch ketika baru saja diangkat menjadi CEO GE (General Electric) sekitar tahun 1980-an. Meski ketika itu GE menjadi salah satu dari 20 perusahaan terbaik dunia tetapi Jack Welch mengatakan kepada seluruh karyawannya bahwa GE sedang dalam bahaya. Sejumlah karyawan mempertanyakan statement tersebut namun Jack Welch tetap saja meyakinkan mereka untuk segera berubah.
Dalam suasana nyaman sekalipun (karena sudah berada di deretan perusahaan terbaik dunia), GE masih saja memproklamirkan diri ke internal mereka jika sedang dalam bahaya agar karyawan dapat keluar dengan segera dari comfort zone. Mereka menciptakan urgensi (suasana mendesak) untuk memicu adrenalin agar berbuat lebih baik lagi.
Banyak korban yang jatuh, bukan karena menabrak batu besar tetapi karena tergelincir kerikil-kerikil kecil. Comfort zone kadang-kadang membuat kita lengah dan 'buta' terhadap kondisi sekitar sehingga tanpa disadari jika tetangga sedang mempersiapkan serangan-serangan jitu.
Tragedi Black September menara WTC di Amerika 10 tahun lalu, menjadi sebuah bukti kelengahan Amerika di tengah comfort zone. Negara sekuat dan seadidaya Amerika sekalipun, ternyata juga terkilir di tengah kenyamanannya.
Di tahun naga 2012 ini, saatnya kita mencoba keluar dari comfort zone agar tidak ikut tergelincir. Salah satu caranya, dengan memposisikan produk kita dalam zona bahaya sehingga kita menjadi lebih awas terhadap kondisi di sekeliling.
Mari, mengawali aktivitas di tahun baru ini dengan Sense of Crisis yang tinggi. Hanya dengan itu, potensi produk kita akan teruji dan aliran deras adrenalin tenaga pemasar akan terpicu lebih kencang.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 10 Januari 2012
Jangan Biarkan Suara Emas itu Berlalu
Setelah sekian bulan tidak menyapa pembaca, tulisan saya kini kembali hadir dalam suasana Tahun Baru. Di awal kehadirannya di tahun 2008, kolom ini diberi nama Pojok Marketing. Selanjutnya mengalami evolusi dan berganti nama kolom menjadi “Ketika Praktisi Bicara Pemasaran”. Awal 2012 hari ini, kolom ini kembali lagi ke khittah-nya dengan mengusung nama semula, “Pojok Marketing”. Selanjutnya, insya Allah akan terus menyapa setiap minggu di harian ini.
Kawan-kawan yang sering membaca ulasan marketing di kolom ini ternyata lebih senang dengan penamaan Pojok Marketing. Kata mereka, istilah itu terdengar lebih singkat, unik, dan mudah diingat. Dalam kasus pemasaran, saya adalah produsen dan mereka adalah konsumen atas sebuah produk tulisan.
Produsen memang selalu dianjurkan mendengar apa kata konsumen. Produsen tidak boleh main hakim sendiri sebab sesuatu yang baik di mata produsen tidak selamanya baik di mata konsumen. Pada akhirnya, konsumenlah yang “menyetir” produk.
Dulu, orangtua kita menyimpan uang di bawah bantal. Seiring kebutuhan akan rasa aman, konsumen (nasabah) lalu membutuhkan tempat penyimpanan yang aman sehingga lahirlah bank. Masa berlalu, konsumen ternyata tidak hanya butuh bank tetapi mereka juga butuh kemudahan membawa uang ke mana-mana sehingga dibuatkan kartu ATM. Itu pun belum cukup. Konsumen menginginkan transaksi yang tidak perlu membuang-buang waktu ke mesin ATM lalu diciptakanlah internet banking dan mobile banking.
Belum habis sampai di situ.
Mereka ternyata masih punya segudang keinginan berbelanja namun tidak punya dana yang cukup sehingga diluncurkanlah Kartu Kredit, yang memungkinkan konsumen berhutang tanpa jaminan apapun. Hmmm.... betapa indahnya dunia....
Karana perbankan mampu mengakomodir kebutuhan nasabahnya, maka transaksi di semua bank tidak pernah sepi dari waktu ke waktu. Bahkan secara omset, prosentase pertumbuhannya melejit melebihi pertumbuhan jumlah kantor dan karyawannya.
Jika ada produk yang selalu laris dari tahun ke tahun berarti produk itu mampu menjawab kebutuhan konsumen. Sebaliknya, jika sebuah produk hanya laku di zamannya dan hari ini sudah tidak diminati lagi berarti produk tersebut tidak melakukan evolusi untuk menjawab kebutuhan konsumen.
Lihat saja, betapa ramainya Kantor Pos di tahun 90-an lalu bandingkan betapa sepinya hari ini. Lihat juga betapa menjamurnya bisnis Wartel di akhir 90-an lalu silahkan menghitung jari mereka yang masih bertahan hari ini.
Untuk menjaga konsistensi agar selalu mendengar suara konsumen, beberapa perusahaan merawat konsumen mereka dengan baik melalui komunitas, seperti pencinta sepeda, penggemar motor gede, peminat novel, dan banyak lagi.
Sadar akan hadirnya ancaman kehilangan fans, kalangan artis pun melakukan hal yang sama. Maka terdengarlah penamaan-penamaan komunitas mereka, seperti Slankers, Sobat Padi, bahkan artis jebolan You Tube Norman Kamaru juga sudah mulai menggalang komunitas dengan sebutan Normanisme.
Tidak ada pilihan lain. Produsen harus dan mutlak selalu mendengar suara konsumen jika ingin tetap hidup seribu tahun lagi. Dengarkan suara mereka dan jangan biarkan ”suara emas” itu berlalu dan akhirnya hinggap di sarang tetangga.
Selamat Tahun Baru.... Selamat Mendengarkan Suara Konsumen.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 3 Januari 2012
Kawan-kawan yang sering membaca ulasan marketing di kolom ini ternyata lebih senang dengan penamaan Pojok Marketing. Kata mereka, istilah itu terdengar lebih singkat, unik, dan mudah diingat. Dalam kasus pemasaran, saya adalah produsen dan mereka adalah konsumen atas sebuah produk tulisan.
Produsen memang selalu dianjurkan mendengar apa kata konsumen. Produsen tidak boleh main hakim sendiri sebab sesuatu yang baik di mata produsen tidak selamanya baik di mata konsumen. Pada akhirnya, konsumenlah yang “menyetir” produk.
Dulu, orangtua kita menyimpan uang di bawah bantal. Seiring kebutuhan akan rasa aman, konsumen (nasabah) lalu membutuhkan tempat penyimpanan yang aman sehingga lahirlah bank. Masa berlalu, konsumen ternyata tidak hanya butuh bank tetapi mereka juga butuh kemudahan membawa uang ke mana-mana sehingga dibuatkan kartu ATM. Itu pun belum cukup. Konsumen menginginkan transaksi yang tidak perlu membuang-buang waktu ke mesin ATM lalu diciptakanlah internet banking dan mobile banking.
Belum habis sampai di situ.
Mereka ternyata masih punya segudang keinginan berbelanja namun tidak punya dana yang cukup sehingga diluncurkanlah Kartu Kredit, yang memungkinkan konsumen berhutang tanpa jaminan apapun. Hmmm.... betapa indahnya dunia....
Karana perbankan mampu mengakomodir kebutuhan nasabahnya, maka transaksi di semua bank tidak pernah sepi dari waktu ke waktu. Bahkan secara omset, prosentase pertumbuhannya melejit melebihi pertumbuhan jumlah kantor dan karyawannya.
Jika ada produk yang selalu laris dari tahun ke tahun berarti produk itu mampu menjawab kebutuhan konsumen. Sebaliknya, jika sebuah produk hanya laku di zamannya dan hari ini sudah tidak diminati lagi berarti produk tersebut tidak melakukan evolusi untuk menjawab kebutuhan konsumen.
Lihat saja, betapa ramainya Kantor Pos di tahun 90-an lalu bandingkan betapa sepinya hari ini. Lihat juga betapa menjamurnya bisnis Wartel di akhir 90-an lalu silahkan menghitung jari mereka yang masih bertahan hari ini.
Untuk menjaga konsistensi agar selalu mendengar suara konsumen, beberapa perusahaan merawat konsumen mereka dengan baik melalui komunitas, seperti pencinta sepeda, penggemar motor gede, peminat novel, dan banyak lagi.
Sadar akan hadirnya ancaman kehilangan fans, kalangan artis pun melakukan hal yang sama. Maka terdengarlah penamaan-penamaan komunitas mereka, seperti Slankers, Sobat Padi, bahkan artis jebolan You Tube Norman Kamaru juga sudah mulai menggalang komunitas dengan sebutan Normanisme.
Tidak ada pilihan lain. Produsen harus dan mutlak selalu mendengar suara konsumen jika ingin tetap hidup seribu tahun lagi. Dengarkan suara mereka dan jangan biarkan ”suara emas” itu berlalu dan akhirnya hinggap di sarang tetangga.
Selamat Tahun Baru.... Selamat Mendengarkan Suara Konsumen.***
Dimuat di Kendari Pos (Jawa Pos Group), 3 Januari 2012
Langganan:
Postingan (Atom)