Sebenarnya, ulasan ini lebih mengarah ke investasi masa depan dibanding persoalan pemasaran. Tulisan ini sengaja diangkat untuk menjawab permintaan pembaca yang masuk ke saya beberapa hari lalu agar mengulas sisi lain dunia investasi yang dikhususkan bagi pasangan baru menikah. Meski demikian, tulisan berikutnya akan kembali ke khittah-nya pada kasus-kasus pemasaran.
Dalam keseharian kita, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, selalu ada dua sisi mata uang: kalau bukan untung, pasti buntung. That’s it!
Sebulan terakhir, kejadian gempa sangat akrab terdengar di telinga kita. Peristiwa yang memporakporandakan Aceh enam tahun silam, akhir bulan lalu juga mengguncang Sumatera Barat. Menyusul gempa-gempa kecil di Manokwari, Sukabumi, Saumlaki Maluku, dan lainnya.
Selain gempa, keseharian kita memang selalu dalam ancaman. Lihatlah bagaimana rumah bisa terancam kebakaran, kendaraan terancam kecelakaan, anak-anak terancam sakit, pekerjaan terancam PHK, dan lainnya.
Setiap gerak kita selalu ada sisi suka dan sisi duka. Jika untung, hidup kita hari ini menari di atas pentas suka. Jika buntung, maka hidup kita sedang murung di atas trotoar duka. Gempa, kebakaran, kecelakaan, penyakit, PHK, terus membayang-bayangi risiko hidup kita.
Sebagai pasangan rumah tangga yang baru menikah, ketenangan hidup jangka panjang selalu menjadi agenda penting. Kebutuhan utama sandang–pangan-papan adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Makan minum–pakaian–perumahan merupakan kebutuhan super pokok.
Kebutuhan serentak dari seluruh lapisan pengantin baru itu kemudian mendorong kebutuhan ini dengan sangat kuatnya ke permukaan. Selanjutnya berefek domino ke harga barang-barang yang terkerek naik. Keperluan makan-minum-pakaian masih bisa dimonitor kapasitas produksinya di pabrik sehingga dapat memenuhi kebutuhan.
Namun keperluan perumahan sangat terkait dengan lahan di bumi yang pertumbuhannya (pelebaran kota) dikalahkan oleh pertumbuhan pasangan baru. Untuk itu, harga lahan (tanah) dan rumah selalu bergerak naik karena didorong kebutuhan pengantin baru yang bertumbuh cepat.
Setelah kebutuhan primer itu terpenuhi, masih ada sederet risiko lain yang perlu dilirik seperti kebakaran, kecelakaan, perawatan rumah sakit, dan lainnya. Langkah cukup bijak yang dapat kita lakukan untuk kebutuhan yang tak terduga itu adalah “mengalihkan“ risiko ke pihak lain, dengan asuransi misalnya.
Hidup sang pengantin baru tentu akan lebih tenang karena risiko-risiko tamu tak diundang itu bisa diminimalisir. Tentu saja di balik itu, ada konsekuensi nominal tertentu yang harus dibayar sebagai “biaya hidup tenang“.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Selasa, Oktober 27, 2009
Selasa, Oktober 20, 2009
Menunggu Telepon Presiden
Hari-hari terakhir, mungkin saja pejabat-pejabat negara tidak ingin mematikan ponselnya karena khawatir ditelepon Presiden untuk sebuah tugas suci di kabinet mendatang.
Menjadi sebuah kebanggan jika berhasil terpilih sebagai pembantu presiden untuk masa bakti lima tahun ke depan; yang selama ini menjadi idaman jutaan orang.
Customer is King kembali berlaku. Presiden ibarat pelanggan yang memilih-milih produk. Para calon menteri ibarat produk yang dijejer di etalase. Siapa yang paling menarik, dialah akan terpilih.
Sebagai pelanggan, sang Presiden tentu saja memilih produk berkualitas, produk yang tidak cacat, dan produk yang kualitas brand-nya sudah dikenal. Khusus produk-produk yang tidak pernah mengecewakan sang pelanggan, akan di-repeat order untuk masa pemakaian lima tahun lagi.
Agar mudah diingat di benak konsumen (sang Presiden), produk diharapkan punya nilai lebih. Dia seharusnya tidak seperti produk-produk kebanyakan yang hanya tamatan S1, mengerti komputer, secuil bahasa asing, dan bisa bicara. Produk yang dilirik adalah jebolan dari mesin canggih bersertifikat dan higienis, alumni S2 luar negeri, kuasai perkembangan teknologi, lancar bahasa Inggris, dan punya kemampuan negosiasi.
Saatnya pelanggan berkuasa! Saatnya pembeli unjuk gigi! Saatnya sang Raja menduduki tahta kekuasaan bernama keleluasaan memilih produk berkualitas!
Dalam kapasitas sebagai produk, ia seharusnya tidak sekadar "duduk manis menunggu telepon". Produk juga perlu pro-aktif unjuk sebuah kekuatan nilai jual; mulai kemasan, brand, hingga after sales values.
Pekan lalu, saya berkunjung ke Candi Borobudur di Jawa Tengah. Meski candi itu tidak lagi dikategorikan keajaiban dunia sejak tahun lalu, pengunjung tetap saja ramai. Juga penjual tetap saja padat.
Sadar akan tingginya kompetisi antar pedagang, mereka tidak ingin berlama-lama menunggu panggilan sang Raja (pengunjung). Justru pedagang yang membaca "mata" calon pembeli. Ketika dilihatnya sedang menjejalkan pandangan, pedagang langsung mendekat dan menawarkan barangnya; mulai souvenir hingga jasa pemotretan.
Pro-aktif, salah satu kunci keberhasilan tim pemasar. Dalam kapasitas sebagai Raja, pelanggan tidak punya cukup waktu mencermati produk-produk berkualitas. Sang Raja hanya mengetahui dari brand image yang ditanam selama bertahun-tahun dan informasi-informasi para pembisik (word of mouth marketing).***
Dimuat di Harian Kendari Pos, 19 Oktober 2009
Saran : 0815 2400 4567
Menjadi sebuah kebanggan jika berhasil terpilih sebagai pembantu presiden untuk masa bakti lima tahun ke depan; yang selama ini menjadi idaman jutaan orang.
Customer is King kembali berlaku. Presiden ibarat pelanggan yang memilih-milih produk. Para calon menteri ibarat produk yang dijejer di etalase. Siapa yang paling menarik, dialah akan terpilih.
Sebagai pelanggan, sang Presiden tentu saja memilih produk berkualitas, produk yang tidak cacat, dan produk yang kualitas brand-nya sudah dikenal. Khusus produk-produk yang tidak pernah mengecewakan sang pelanggan, akan di-repeat order untuk masa pemakaian lima tahun lagi.
Agar mudah diingat di benak konsumen (sang Presiden), produk diharapkan punya nilai lebih. Dia seharusnya tidak seperti produk-produk kebanyakan yang hanya tamatan S1, mengerti komputer, secuil bahasa asing, dan bisa bicara. Produk yang dilirik adalah jebolan dari mesin canggih bersertifikat dan higienis, alumni S2 luar negeri, kuasai perkembangan teknologi, lancar bahasa Inggris, dan punya kemampuan negosiasi.
Saatnya pelanggan berkuasa! Saatnya pembeli unjuk gigi! Saatnya sang Raja menduduki tahta kekuasaan bernama keleluasaan memilih produk berkualitas!
Dalam kapasitas sebagai produk, ia seharusnya tidak sekadar "duduk manis menunggu telepon". Produk juga perlu pro-aktif unjuk sebuah kekuatan nilai jual; mulai kemasan, brand, hingga after sales values.
Pekan lalu, saya berkunjung ke Candi Borobudur di Jawa Tengah. Meski candi itu tidak lagi dikategorikan keajaiban dunia sejak tahun lalu, pengunjung tetap saja ramai. Juga penjual tetap saja padat.
Sadar akan tingginya kompetisi antar pedagang, mereka tidak ingin berlama-lama menunggu panggilan sang Raja (pengunjung). Justru pedagang yang membaca "mata" calon pembeli. Ketika dilihatnya sedang menjejalkan pandangan, pedagang langsung mendekat dan menawarkan barangnya; mulai souvenir hingga jasa pemotretan.
Pro-aktif, salah satu kunci keberhasilan tim pemasar. Dalam kapasitas sebagai Raja, pelanggan tidak punya cukup waktu mencermati produk-produk berkualitas. Sang Raja hanya mengetahui dari brand image yang ditanam selama bertahun-tahun dan informasi-informasi para pembisik (word of mouth marketing).***
Dimuat di Harian Kendari Pos, 19 Oktober 2009
Saran : 0815 2400 4567
Senin, Oktober 12, 2009
Bad News is Good News
Berita mengejutkan datang dari Bone, Sulawesi Selatan. Sebuah ledakan besar terdengar di udara Pallette Kabupaten Bone pekan lalu (08/10). Saking kerasnya suara yang mengguncang itu, kaca-kaca jendela penduduk bergetar meski tidak terjadi gempa. Suaranya menggelegar hingga ke daerah tetangga seperti Kolaka, Sengkang, Sinjai, dan Soppeng.
Meski masih pro-kontra, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) mengklaim bahwa barang yang meledak itu bukan pesawat. Kuat dugaan meteor tunggal.
Keesokan harinya (09/10), terdengar lagi kabar terbaru perburuan teroris kelas wahid negeri ini. Syaifuddin Zuhri dan Syahrir adiknya, yang diyakini sebagai penerus Almarhum Noordin M. Top, dikabarkan tewas di tangan Datasemen 88 Antiteror pada sebuah penggerebekan rumah kos di Ciputat, Tangerang.
Kedua berita itu langsung menghentak adrenalin kita. Oplah koran dan rating TV juga langsung melejit. Bahkan yang jarang baca koran tiba-tiba cari koran dan yang doyan sinetron tiba-tiba pindah channel ke berita. Habit serta merta berubah!
Kondisi labil seperti ini menjadi saat yang tepat menitipkan pesan-pesan promosi ke target konsumen; saat yang tepat melepas tembakan ketika burung-burung menggelantung tanpa arah. Bad news is a good news….
Wajarlah ketika terjadi penggerebekan teroris dan disiarkan live di salah satu TV swasta, iklan-iklan berderet antri tampil di layar kaca. Stephen Tong, salah seorang pendeta pernah berpesan bahwa orang bodohlah yang menyia-nyiakan kesempatan. Orang biasa suka menanti kesempatan. Orang pintar cenderung mencari kesempatan. Orang bijaksana berani menciptakan kesempatan.
Izinkan saya melanjutkan... tim pemasar adalah mereka yang cerdas membaca kesempatan.
Tidak jarang kita saksikan, di tengah puncak konflik sebuah sinetron misalnya, sang artis muncul dengan mobil merek A. Sementara pemeran lain duduk menghisap rokok merek B sambil menyeruput kopi merek C.
Semakin cerdas tim pemasar membaca peluang di balik bad news, semakin mudah pesan-pesan promosi masuk ke target konsumen. Kesempatan yang tersaji di depan mata akan lebih optimal jika diselipkan di tengah-tengah bad news (kesempitan). Seperti kata pepatah Arab bahwa waktu itu bagai pedang. Jika kamu tidak mampu memenggalnya, maka ia memenggalmu.
Kesempatan selalu tersaji, bahkan dalam kesempitan sekalipun! Salah satu trik menyiasati kesempatan promosi adalah menyulap bad news menjadi sebuah good news.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Meski masih pro-kontra, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) mengklaim bahwa barang yang meledak itu bukan pesawat. Kuat dugaan meteor tunggal.
Keesokan harinya (09/10), terdengar lagi kabar terbaru perburuan teroris kelas wahid negeri ini. Syaifuddin Zuhri dan Syahrir adiknya, yang diyakini sebagai penerus Almarhum Noordin M. Top, dikabarkan tewas di tangan Datasemen 88 Antiteror pada sebuah penggerebekan rumah kos di Ciputat, Tangerang.
Kedua berita itu langsung menghentak adrenalin kita. Oplah koran dan rating TV juga langsung melejit. Bahkan yang jarang baca koran tiba-tiba cari koran dan yang doyan sinetron tiba-tiba pindah channel ke berita. Habit serta merta berubah!
Kondisi labil seperti ini menjadi saat yang tepat menitipkan pesan-pesan promosi ke target konsumen; saat yang tepat melepas tembakan ketika burung-burung menggelantung tanpa arah. Bad news is a good news….
Wajarlah ketika terjadi penggerebekan teroris dan disiarkan live di salah satu TV swasta, iklan-iklan berderet antri tampil di layar kaca. Stephen Tong, salah seorang pendeta pernah berpesan bahwa orang bodohlah yang menyia-nyiakan kesempatan. Orang biasa suka menanti kesempatan. Orang pintar cenderung mencari kesempatan. Orang bijaksana berani menciptakan kesempatan.
Izinkan saya melanjutkan... tim pemasar adalah mereka yang cerdas membaca kesempatan.
Tidak jarang kita saksikan, di tengah puncak konflik sebuah sinetron misalnya, sang artis muncul dengan mobil merek A. Sementara pemeran lain duduk menghisap rokok merek B sambil menyeruput kopi merek C.
Semakin cerdas tim pemasar membaca peluang di balik bad news, semakin mudah pesan-pesan promosi masuk ke target konsumen. Kesempatan yang tersaji di depan mata akan lebih optimal jika diselipkan di tengah-tengah bad news (kesempitan). Seperti kata pepatah Arab bahwa waktu itu bagai pedang. Jika kamu tidak mampu memenggalnya, maka ia memenggalmu.
Kesempatan selalu tersaji, bahkan dalam kesempitan sekalipun! Salah satu trik menyiasati kesempatan promosi adalah menyulap bad news menjadi sebuah good news.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Minggu, Oktober 04, 2009
Bermain di Tarikan Permintaan
Hari kemenangan Idul Fitri sudah dua pekan berlalu. Ibarat sebuah mesin, kini kehidupan kembali di-restart. Hari Fitri menjadi saksi kesucian kembali dengan saling menjulur tangan dan memaafkan.
Pesta pasar juga sudah berlalu. Harga-harga yang terkerek sejak awal Ramadhan telah mencapai puncaknya. Kini, ia memasuki masa pemulihan. Saat hati sudah menyatu dan kita semua kembali ke aktivitas, harga-harga juga berfitrah dan harga kembali ke titik normal.
Harga-harga lazimnya mengalami kenaikan sejak awal Ramadhan hingga saat keluarnya THR. Dalam kasus pemasaran dikenal 2 (dua) penyebab terjadinya inflasi, yaitu Cost Push Inflation dan Demand Pull Inflation. Harga barang-barang di pasar mengalami kenaikan hanya karena salah satu dari kedua kemungkinan itu. Jika bukan karena didorong (push), pasti karena ditarik (pull).
Cost Push Inflation adalah kenaikan harga yang diakibatkan oleh dorongan harga bahan baku. Contoh sederhana, harga ikan bakar di Jakarta lebih mahal dibanding di kota ini karena harga bahan baku yang juga mahal di sana. Ikan segar didatangkan dari Makassar, arang dari Kendari, garam dari Madura, cabe dari Padang, dan seterusnya. Komponen bahan baku ikan bakar yang serba didatangkan dari luar pulau ini “mendorong” naiknya harga jual barang jadi bernama ikan bakar.
Demand Pull Inflation adalah kenaikan harga yang diakibatkan oleh tarikan permintaan. Terigu, mentega, telur, dan lainnya cenderung lebih mahal menjelang Idul Fitri dibanding hari-hari biasa. Kenaikan harga ini dipicu oleh permintaan pasar yang berlangsung serentak di seluruh penjuru negeri. Keterbatasan jumlah produksi tidak berbanding lurus dengan tingginya kebutuhan sehingga harga di tingkat pasar “ditarik” oleh dahsyatnya permintaan.
Naiknya harga-harga menjelang lebaran lebih dikarenakan oleh opsi kedua, yaitu Demand Pull Inflation. Tidak ada kekuatan yang mampu menahan laju kenaikan harga dalam kondisi seperti itu. Meski pemerintah sudah menggariskan HET (Harga Eceran Tertinggi), namun tampaknya hukum pasar lebih kuat menarik harga ke atas daripada hukum negara yang menekan harga ke bawah.
Demikian juga terjadi di property. Harga tanah dan rumah selalu merambat naik karena kebutuhan tempat tinggal terus meningkat setiap tahun. Akibatnya, harga property tertarik ke atas dan menjadilah harganya terus naik setiap tahun.
Mungkin karena kenaikan harga yang terus merangkak itu, cepat-cepat Robert Kiyosaki, pengarang buku Rich Dad Poor Dad pernah mengingatkan bahwa untuk mencapai untung besar di hari esok, investasi paling aman adalah rumah dan tanah. Kedua barang itu sangat dekat dengan tarikan permintaan***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Pesta pasar juga sudah berlalu. Harga-harga yang terkerek sejak awal Ramadhan telah mencapai puncaknya. Kini, ia memasuki masa pemulihan. Saat hati sudah menyatu dan kita semua kembali ke aktivitas, harga-harga juga berfitrah dan harga kembali ke titik normal.
Harga-harga lazimnya mengalami kenaikan sejak awal Ramadhan hingga saat keluarnya THR. Dalam kasus pemasaran dikenal 2 (dua) penyebab terjadinya inflasi, yaitu Cost Push Inflation dan Demand Pull Inflation. Harga barang-barang di pasar mengalami kenaikan hanya karena salah satu dari kedua kemungkinan itu. Jika bukan karena didorong (push), pasti karena ditarik (pull).
Cost Push Inflation adalah kenaikan harga yang diakibatkan oleh dorongan harga bahan baku. Contoh sederhana, harga ikan bakar di Jakarta lebih mahal dibanding di kota ini karena harga bahan baku yang juga mahal di sana. Ikan segar didatangkan dari Makassar, arang dari Kendari, garam dari Madura, cabe dari Padang, dan seterusnya. Komponen bahan baku ikan bakar yang serba didatangkan dari luar pulau ini “mendorong” naiknya harga jual barang jadi bernama ikan bakar.
Demand Pull Inflation adalah kenaikan harga yang diakibatkan oleh tarikan permintaan. Terigu, mentega, telur, dan lainnya cenderung lebih mahal menjelang Idul Fitri dibanding hari-hari biasa. Kenaikan harga ini dipicu oleh permintaan pasar yang berlangsung serentak di seluruh penjuru negeri. Keterbatasan jumlah produksi tidak berbanding lurus dengan tingginya kebutuhan sehingga harga di tingkat pasar “ditarik” oleh dahsyatnya permintaan.
Naiknya harga-harga menjelang lebaran lebih dikarenakan oleh opsi kedua, yaitu Demand Pull Inflation. Tidak ada kekuatan yang mampu menahan laju kenaikan harga dalam kondisi seperti itu. Meski pemerintah sudah menggariskan HET (Harga Eceran Tertinggi), namun tampaknya hukum pasar lebih kuat menarik harga ke atas daripada hukum negara yang menekan harga ke bawah.
Demikian juga terjadi di property. Harga tanah dan rumah selalu merambat naik karena kebutuhan tempat tinggal terus meningkat setiap tahun. Akibatnya, harga property tertarik ke atas dan menjadilah harganya terus naik setiap tahun.
Mungkin karena kenaikan harga yang terus merangkak itu, cepat-cepat Robert Kiyosaki, pengarang buku Rich Dad Poor Dad pernah mengingatkan bahwa untuk mencapai untung besar di hari esok, investasi paling aman adalah rumah dan tanah. Kedua barang itu sangat dekat dengan tarikan permintaan***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Jumat, Oktober 02, 2009
Tiga Pos Besar
Akhir pekan lalu, saya diundang sebagai pembicara pada Konferda WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia) di salah satu hotel berbintang di kota Kendari. Temanya terbilang kompleks karena mengulas krisis global dan dampaknya bagi negeri ini.
Berhubung semua pesertanya ibu-ibu, materi yang terdengar di awang-awang itu dibuat lebih membumi, dengan mengaitkan kehidupan sehari-hari ibu-ibu rumah tangga yang tahu betul antara besaran penghasilan keluarga dan deretan pengeluaran.
Pasal pertama yang patut diingat bahwa tidak ada pakar dalam krisis. Amerika yang menjadi kiblat perekonomian dunia sekalipun, tidak kuat menahan badai krisis, ditandai dengan dirumahkannya lebih 300 ribu karyawan tahun lalu, yang bahkan tercatat sebagai peristiwa PHK paling tragis dalam 5 tahun terakhir.
Pasal kedua bahwa semakin tinggi pohon menjulang, semakin besar pula angin menerpa. Amerika yang mempunyai ribuan pakar ekonomi harus rela meratapi rontoknya kekuatan finansial perbankan bahkan yang telah berusia lebih 100 tahun sekalipun. Terdengarlah Merril Lynch, Lehman Brothers, dan Goldman Sachs yang secara bergantian tumbang diterpa badai.
Dalam kondisi yang carut marut seperti itu, jawaban paling tepat bagi mereka saat terjadi krisis adalah ketersediaan dana segar. Cash is King, kata sejumlah pakar. Demikian halnya ibu-ibu, bahwa sekecil apapun penghasilan bulanan dan sebesar apapun badai pengeluaran yang dihadapi, sedapat mungkin tersisa sedikit dana segar sebagai penawar dampak krisis.
Karena menurut konsultan keuangan Safir Senduk, penduduk negeri ini lebih banyak belajar cara memperoleh penghasilan tapi lupa belajar cara mengelola penghasilan. Lebih jauh ia paparkan bahwa terdapat tiga pos pengeluaran terbesar yang selalu terjadi setiap bulan, yaitu biaya telekomunikasi, biaya mengikuti tren pakaian dan elektronik, dan biaya entertaintment.
Dan betul! Dalam kasus-kasus pemasaran, perseteruan seru memang selalu terjadi di tiga titik rawan itu. Perang tarif, perang harga, juga perang persepsi selalu menggeliat di ketiga industri itu. Perhatikan iklan di TV, radio, koran, majalah, juga di media luar ruang sebangsa bando jalan, billboard, baliho, spanduk, umbul-umbul, ataupun poster. Produk apa yang selalu mencuat?
Cukuplah krisis global melanda negeri paman Sam. Sebelum itu tiba di halaman rumah kita, patut diingatkan untuk tidak mudah tergoda rayuan gombal dari ketiga pos itu: telekomunikasi, pakaian dan elektronik, juga entertainment!***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 29 September 2009
Berhubung semua pesertanya ibu-ibu, materi yang terdengar di awang-awang itu dibuat lebih membumi, dengan mengaitkan kehidupan sehari-hari ibu-ibu rumah tangga yang tahu betul antara besaran penghasilan keluarga dan deretan pengeluaran.
Pasal pertama yang patut diingat bahwa tidak ada pakar dalam krisis. Amerika yang menjadi kiblat perekonomian dunia sekalipun, tidak kuat menahan badai krisis, ditandai dengan dirumahkannya lebih 300 ribu karyawan tahun lalu, yang bahkan tercatat sebagai peristiwa PHK paling tragis dalam 5 tahun terakhir.
Pasal kedua bahwa semakin tinggi pohon menjulang, semakin besar pula angin menerpa. Amerika yang mempunyai ribuan pakar ekonomi harus rela meratapi rontoknya kekuatan finansial perbankan bahkan yang telah berusia lebih 100 tahun sekalipun. Terdengarlah Merril Lynch, Lehman Brothers, dan Goldman Sachs yang secara bergantian tumbang diterpa badai.
Dalam kondisi yang carut marut seperti itu, jawaban paling tepat bagi mereka saat terjadi krisis adalah ketersediaan dana segar. Cash is King, kata sejumlah pakar. Demikian halnya ibu-ibu, bahwa sekecil apapun penghasilan bulanan dan sebesar apapun badai pengeluaran yang dihadapi, sedapat mungkin tersisa sedikit dana segar sebagai penawar dampak krisis.
Karena menurut konsultan keuangan Safir Senduk, penduduk negeri ini lebih banyak belajar cara memperoleh penghasilan tapi lupa belajar cara mengelola penghasilan. Lebih jauh ia paparkan bahwa terdapat tiga pos pengeluaran terbesar yang selalu terjadi setiap bulan, yaitu biaya telekomunikasi, biaya mengikuti tren pakaian dan elektronik, dan biaya entertaintment.
Dan betul! Dalam kasus-kasus pemasaran, perseteruan seru memang selalu terjadi di tiga titik rawan itu. Perang tarif, perang harga, juga perang persepsi selalu menggeliat di ketiga industri itu. Perhatikan iklan di TV, radio, koran, majalah, juga di media luar ruang sebangsa bando jalan, billboard, baliho, spanduk, umbul-umbul, ataupun poster. Produk apa yang selalu mencuat?
Cukuplah krisis global melanda negeri paman Sam. Sebelum itu tiba di halaman rumah kita, patut diingatkan untuk tidak mudah tergoda rayuan gombal dari ketiga pos itu: telekomunikasi, pakaian dan elektronik, juga entertainment!***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 29 September 2009
Rabu, September 09, 2009
Jadilah "Yang Pertama"
Banyak orang menanti datangnya hari ini, yang serba sembilan. Tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun dua ribu sembilan, disingkat 090909. Sejumlah perusahaan memanfaatkan “hari cantik” ini dengan agenda khusus. Hari ini di Makassar dijadwalkan peluncuran Trans Studio, tempat bermain terluas di Asia Tenggara. Di Kendari juga dijadwalkan pembukaan Hotel Horison. Sementara anggota DPR RI, Angelina Sondakh konon kabarnya menjadwalkan kelahiran putra pertamanya juga di hari ini.
Kemungkinan masih sederet lagi agenda lain yang sengaja dikait-kaitkan dengan hari istimewa, 090909. Termasuk hari perkawinan, khitanan, tunangan, atau lainnya. Dari kacamata pemasaran, hari istimewa seperti ini patut diperhatikan, bahkan dianjurkan melakukan sesuatu. Alasannya sederhana, bahwa hari istimewa sangat mudah diingat konsumen bahkan tanpa promosi besar-besaran sekalipun.
Ketika Limbad berdiri di atas tower setinggi 20 meter pada perayaan HUT RCTI ke-20 bulan lalu, ia hanya terpaku dalam diam selama 20 jam. Istri Limbad, Susi dan jutaan pemirsa televisi negeri ini ikut berdebar menyaksikan aksi spektakuler itu hingga akhirnya Limbad mampu melewati aksinya dengan lancar.
Pekan lalu (02/09), berita menghebohkan datang dari negeri jiran. Alain Robert, warga Perancis yang biasa dijuluki manusia Spiderman berhasil memanjat gedung pencakar langit menara kembar Petronas tanpa alat pengaman. Menara setinggi 452 meter dengan 88 lantai itu menjadi salah satu menara tertinggi yang berhasil dipanjat Alain Robert tanpa alat pengaman selain menara Eiffel di Paris, Jembatan Golden Gate di San Fransisco, dan gedung Indosat di Jakarta.
Limbad menjadi orang pertama melakukan puasa sambil berdiri di atas tower selama 20 jam. Alain Robert juga menjadi orang pertama memanjat gedung-gedung tinggi tanpa alat pengaman. Keduanya berusaha selalu menjadi “yang pertama”.
Jack Trout dan Al Ries mencatat sederet anjuran agar bisa menggebrak pasar. Dalam 22 Laws of Marketing-nya, kedua pakar ini mencatatkan pasal pertama anjuran yang perlu diperhatikan adalah The Law of Leadership.
Bahwa untuk bisa menerobos perhatian publik, kita perlu menjadi leader di segmen itu. Kita tidak butuh menjadi yang terbaik. Kita butuh menjadi yang pertama. “It’s better to be first than it is to be better,” katanya.
Tanggal cantik 090909 adalah momentum. Kita perlu mengagendakan untuk membuat sesuatu yang baru di hari istimewa ini. Seperti pesan Trout dan Al Ries, kita butuh menjadi “yang pertama”, bukan “yang terbaik”.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 9 September 2009
Kemungkinan masih sederet lagi agenda lain yang sengaja dikait-kaitkan dengan hari istimewa, 090909. Termasuk hari perkawinan, khitanan, tunangan, atau lainnya. Dari kacamata pemasaran, hari istimewa seperti ini patut diperhatikan, bahkan dianjurkan melakukan sesuatu. Alasannya sederhana, bahwa hari istimewa sangat mudah diingat konsumen bahkan tanpa promosi besar-besaran sekalipun.
Ketika Limbad berdiri di atas tower setinggi 20 meter pada perayaan HUT RCTI ke-20 bulan lalu, ia hanya terpaku dalam diam selama 20 jam. Istri Limbad, Susi dan jutaan pemirsa televisi negeri ini ikut berdebar menyaksikan aksi spektakuler itu hingga akhirnya Limbad mampu melewati aksinya dengan lancar.
Pekan lalu (02/09), berita menghebohkan datang dari negeri jiran. Alain Robert, warga Perancis yang biasa dijuluki manusia Spiderman berhasil memanjat gedung pencakar langit menara kembar Petronas tanpa alat pengaman. Menara setinggi 452 meter dengan 88 lantai itu menjadi salah satu menara tertinggi yang berhasil dipanjat Alain Robert tanpa alat pengaman selain menara Eiffel di Paris, Jembatan Golden Gate di San Fransisco, dan gedung Indosat di Jakarta.
Limbad menjadi orang pertama melakukan puasa sambil berdiri di atas tower selama 20 jam. Alain Robert juga menjadi orang pertama memanjat gedung-gedung tinggi tanpa alat pengaman. Keduanya berusaha selalu menjadi “yang pertama”.
Jack Trout dan Al Ries mencatat sederet anjuran agar bisa menggebrak pasar. Dalam 22 Laws of Marketing-nya, kedua pakar ini mencatatkan pasal pertama anjuran yang perlu diperhatikan adalah The Law of Leadership.
Bahwa untuk bisa menerobos perhatian publik, kita perlu menjadi leader di segmen itu. Kita tidak butuh menjadi yang terbaik. Kita butuh menjadi yang pertama. “It’s better to be first than it is to be better,” katanya.
Tanggal cantik 090909 adalah momentum. Kita perlu mengagendakan untuk membuat sesuatu yang baru di hari istimewa ini. Seperti pesan Trout dan Al Ries, kita butuh menjadi “yang pertama”, bukan “yang terbaik”.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 9 September 2009
Selasa, September 08, 2009
Jangan Lupakan "People"
Kalau ada ladang paling subur di sebuah industri, maka Ramadhan-lah pilihannya. Hampir semua produk yang dipasarkan laris manis di bulan ini. Pasar seakan lupa krisis ekonomi yang menghantam perekonomian dunia. Derasnya arus jual beli tertutupi oleh model yang lebih trendy dan harga yang lebih murah.
Penjualan terkerek naik bukan hanya pada kebutuhan pokok tetapi juga kebutuhan sekunder seperti handphone, TV, mobil, dan lainnya. Selama sebelas bulan, pedagang dapat merasakan sepinya transaksi namun ia akan merasakan manisnya selama sebulan penuh rahmat dan berkah ini.
Sebelas bulan adalah masa menanam dan sebulan adalah masa panen. Bukan hanya pahala yang berlipat ganda di bulan Ramadhan, tetapi keuntungan juga berlipat ganda bagi pelaku ekonomi.
Pada kondisi pasar yang sangat crowded seperti itu, hukum pasar kembali berlaku bahwa harga melambung akibat permintaan meningkat. Bahkan sebagian konsep pemasaran yang selama ini dijalankan nyaris tidak perlu dipikirkan lagi. Konsumen sendiri akan mencari barang.
Yang terjadi di luar Ramadhan kebanyakan bersifat push (mendorong). Produsen mendorong konsumen membeli produk dengan berbagai argumentasi. Sementara selama Ramadhan, tim pemasar cukup duduk di belakang meja menarik “mata” konsumen. Tiba-tiba menjadi magnet agar mata konsumen tertuju dari balik kerumunan.
Meski begitu, tim pemasar tidak boleh lengah karena masih ada masa-masa panjang setelah Ramadhan berlalu. Agar bisa tetap eksis, sebuah produk perlu dipikirkan secara berkepanjangan dan sustainable.
Rahasia umur panjang dapat dilihat dari implementasi Marketing Mix-nya, yang dalam buku-buku pemasaran selalu dijabarkan dengan konsep 4P (Product, Price, Place, Promotion). Ke-empat sisi P ini sebagai sisi silet yang sedapat mungkin diasah setiap waktu. Makin tajam pisau silet di setiap sisinya, makin kuat posisi kompetisi kita.
Setelah ke-empat sisi tersebut disiapkan secara matang, masih ada satu komponen penentu yang mutlak dipenuhi, yaitu People. Manusia di belakang setir akan menentukan arah kendaraan kita. Secantik apapun mobil mewah yang kita miliki, jika tidak didampingi driver berkualitas, maka kecantikan dan kecanggihannya tidak akan berumur panjang.
People adalah penyempurna Marketing Mix. Ramadhan adalah momentum pembentukan manusia sempurna agar konsep Marketing Mix-nya juga bisa berjalan dengan sempurna.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 1 September 2009
Penjualan terkerek naik bukan hanya pada kebutuhan pokok tetapi juga kebutuhan sekunder seperti handphone, TV, mobil, dan lainnya. Selama sebelas bulan, pedagang dapat merasakan sepinya transaksi namun ia akan merasakan manisnya selama sebulan penuh rahmat dan berkah ini.
Sebelas bulan adalah masa menanam dan sebulan adalah masa panen. Bukan hanya pahala yang berlipat ganda di bulan Ramadhan, tetapi keuntungan juga berlipat ganda bagi pelaku ekonomi.
Pada kondisi pasar yang sangat crowded seperti itu, hukum pasar kembali berlaku bahwa harga melambung akibat permintaan meningkat. Bahkan sebagian konsep pemasaran yang selama ini dijalankan nyaris tidak perlu dipikirkan lagi. Konsumen sendiri akan mencari barang.
Yang terjadi di luar Ramadhan kebanyakan bersifat push (mendorong). Produsen mendorong konsumen membeli produk dengan berbagai argumentasi. Sementara selama Ramadhan, tim pemasar cukup duduk di belakang meja menarik “mata” konsumen. Tiba-tiba menjadi magnet agar mata konsumen tertuju dari balik kerumunan.
Meski begitu, tim pemasar tidak boleh lengah karena masih ada masa-masa panjang setelah Ramadhan berlalu. Agar bisa tetap eksis, sebuah produk perlu dipikirkan secara berkepanjangan dan sustainable.
Rahasia umur panjang dapat dilihat dari implementasi Marketing Mix-nya, yang dalam buku-buku pemasaran selalu dijabarkan dengan konsep 4P (Product, Price, Place, Promotion). Ke-empat sisi P ini sebagai sisi silet yang sedapat mungkin diasah setiap waktu. Makin tajam pisau silet di setiap sisinya, makin kuat posisi kompetisi kita.
Setelah ke-empat sisi tersebut disiapkan secara matang, masih ada satu komponen penentu yang mutlak dipenuhi, yaitu People. Manusia di belakang setir akan menentukan arah kendaraan kita. Secantik apapun mobil mewah yang kita miliki, jika tidak didampingi driver berkualitas, maka kecantikan dan kecanggihannya tidak akan berumur panjang.
People adalah penyempurna Marketing Mix. Ramadhan adalah momentum pembentukan manusia sempurna agar konsep Marketing Mix-nya juga bisa berjalan dengan sempurna.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 1 September 2009
Minggu, Agustus 23, 2009
Berikan Setetes Karakter!
Malaysia harusnya dikenal lebih agamis dibanding Indonesia. Meski dikenal agamis, Malaysia tahu bahwa ada celah pasar yang berkarakter khusus, yang justru jauh dari sifat agamis. Pencinta dunia hiburan dan perjudian, salah satu segmen pasar yang ingin dimasukinya. Sadar dengan segmen potensial penghasil ringgit besar ini, pihak pemerintah kemudian meng-kavling Genting Highland, sebagai tempat hiburan yang mengakomodir kepentingan seperti itu.
Pertengahan bulan ini, saya menyempatkan diri berkeliling kawasan Genting di Malaysia. Di sana, aneka permainan tersaji untuk memperkuat positioning kota itu sebagai The City of Entertainment. Juga terdapat ribuan manusia tumpah ruah meramaikan lantai kasino dengan berbagai jenis taruhan: mulai kartu remi, koin, tebakan, dan lainnya.
Kota bisnis berpusat di Kuala Lumpur sementara kota hiburan berpusat di Genting. Pengunjunglah yang menentukan pilihan mau mengarahkan langkah ke mana, sisa mengikuti jejak karakter dan keinginan masing-masing.
Konsumen sesungguhnya sangat heterogen. Banyak warna dan keinginan berkecamuk di benak konsumen setiap harinya. Konsumen juga dijejali ribuan informasi mulai bangun tidur hingga tidur kembali melalui beragam kanal, mulai iklan TV, iklan radio, bentangan spanduk, hingga papan billboard.
Dalam kondisi seperti itu, konsumen seakan sebagai supermarket informasi di mana segala hal dapat ditemukannya setiap hari. Meski sebenarnya, konsumen selalu mencari produk-produk yang berkarakter khusus, karena tersadar bahwa kualitas yang lebih baik hanya dapat ditemukan pada produk yang berkarakter.
Sekilas kita melihat, dagangan-dagangan yang digelar based on character terus bertumbuh, seperti karakter kopi (Sturbuck, Kopi Kita, Kopi Daeng Sija, dll), karakter salon (Rudy Hadisuwarno, Nattaya, dll), karakter buku (Gramedia, Kalam Hidup, dll), karakter ayam goreng siap saji (KFC, McD, dll), dan banyak lagi .
Pada kondisi tertentu, konsumen memang akan memilih produk berkarakter. Ketika ingin keindahan pantai, mereka ke Kuta. Ketika ingin keindahan bawah laut, mereka ke Bunaken. Ketika ingin taruhan, mereka ke Genting. Begitulah seterusnya.
Karakter membuat produk yang dipasarakan berbeda dengan yang lain. Sebagaimana manusia, tiap orang punya sifat berbeda-beda. Namun manusia yang punya karakter khususlah yang kemudian melejit dikenal sebagai ahli masak, ahli pijat, ahli renang, ahli montir, ahli dakwah, dan lainnya. Setetes tapi berkarakter jauh lebih baik daripada segelas tapi tak berwarna.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Pertengahan bulan ini, saya menyempatkan diri berkeliling kawasan Genting di Malaysia. Di sana, aneka permainan tersaji untuk memperkuat positioning kota itu sebagai The City of Entertainment. Juga terdapat ribuan manusia tumpah ruah meramaikan lantai kasino dengan berbagai jenis taruhan: mulai kartu remi, koin, tebakan, dan lainnya.
Kota bisnis berpusat di Kuala Lumpur sementara kota hiburan berpusat di Genting. Pengunjunglah yang menentukan pilihan mau mengarahkan langkah ke mana, sisa mengikuti jejak karakter dan keinginan masing-masing.
Konsumen sesungguhnya sangat heterogen. Banyak warna dan keinginan berkecamuk di benak konsumen setiap harinya. Konsumen juga dijejali ribuan informasi mulai bangun tidur hingga tidur kembali melalui beragam kanal, mulai iklan TV, iklan radio, bentangan spanduk, hingga papan billboard.
Dalam kondisi seperti itu, konsumen seakan sebagai supermarket informasi di mana segala hal dapat ditemukannya setiap hari. Meski sebenarnya, konsumen selalu mencari produk-produk yang berkarakter khusus, karena tersadar bahwa kualitas yang lebih baik hanya dapat ditemukan pada produk yang berkarakter.
Sekilas kita melihat, dagangan-dagangan yang digelar based on character terus bertumbuh, seperti karakter kopi (Sturbuck, Kopi Kita, Kopi Daeng Sija, dll), karakter salon (Rudy Hadisuwarno, Nattaya, dll), karakter buku (Gramedia, Kalam Hidup, dll), karakter ayam goreng siap saji (KFC, McD, dll), dan banyak lagi .
Pada kondisi tertentu, konsumen memang akan memilih produk berkarakter. Ketika ingin keindahan pantai, mereka ke Kuta. Ketika ingin keindahan bawah laut, mereka ke Bunaken. Ketika ingin taruhan, mereka ke Genting. Begitulah seterusnya.
Karakter membuat produk yang dipasarakan berbeda dengan yang lain. Sebagaimana manusia, tiap orang punya sifat berbeda-beda. Namun manusia yang punya karakter khususlah yang kemudian melejit dikenal sebagai ahli masak, ahli pijat, ahli renang, ahli montir, ahli dakwah, dan lainnya. Setetes tapi berkarakter jauh lebih baik daripada segelas tapi tak berwarna.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Senin, Agustus 17, 2009
Pentingnya Benak Pasar
Mbah Surip memang telah pergi. Pencinta musik Reggae itu menutup usianya tepat dua pekan lalu (04/08) secara mendadak karena kelelahan dan dehidrasi. Popularitas yang mengorbit lewat hits Tak Gendong itu pergi meninggalkan jutaan fans di negeri ini.
Semua terjadi begitu cepat. Termasuk kepopuleran lagu Tak Gendong, juga melejit begitu cepat. Saking cepatnya, royalti RBT (Ring Back Tone / nada sambung di handphone) yang kabarnya senilai milyaran rupiah itu belum sempat dicicipi pencinta kopi kental ini.
Dua hari berselang, sang burung merak WS Renda juga pergi untuk selamanya (06/08). Budayawan bersuara serak itu, meninggal di usia 75 tahun menyusul kepergian Mbah Surip, sahabatnya.
Beberapa pekan sebelumnya, Michal Jackson juga menghembuskan nafas terakhir di Los Angeles, Amerika Serikat. Nama yang lebih dikenal sebagai “King of Pop” ini terus melegenda di belantara musik dunia.
Mbah Surip, WS Rendra, dan Michael Jackson adalah deretan nama yang sudah menjadi brand di benak penikmat seni negeri ini. Sama dengan selebritas lainnya, mereka sudah mempunyai positioning masing-masing di benak publik.
Ibarat sebuah kompleks perumahan dengan ratusan rumah. Setiap selebritas punya warna rumah yang berbeda-beda. Warga kampung yang melintasi kompleks itu mengetahui warna biru adalah rumah si Fulan, warna kuning rumah si Budi, warna merah rumah si Romi, dan seterusnya.
Begitu pula yang terjadi di positioning. Selebritas sebagai sang pemilik brand selalu “mempercantik rumah” dengan polesan warna-warni. Hingga suatu saat tampak warna dominan di antara puluhan warna yang dicatkan di dinding rumah.
Di jalur kompetisi, kita butuh warna ekstrim. Tidak ada tempat bagi warna abu-abu di lintasan balap. Yang selalu terlihat hanyalah warna merah, biru, kuning, putih, atau hitam. Kita butuh brand yang kuat. Kita butuh positioning yang nyata.
Produk yang mempunyai banyak kelebihan sesungguhnya tidak sepenuhnya baik. Dengan satu kelebihan tapi menonjol justru lebih baik. Produk butuh “warna dominan” dari deretan produk pesaing di sekitarnya, agar mudah dikenal pasar.
Apa yang ada di benak publik, itulah positioning kita. Positioning is what people thinks about. Untuk itu, sangat dibutuhkan “racun positif” yang dapat menghunjam masuk ke sel-sel otak karena positioning adalah benih yang menghasilkan brand image.
Jika kita berhasil menanam benih yang baik, maka ia juga akan menghasilkan brand image yang baik. Perang pemasaran sesungguhnya tidak berada di pasar nyata, tetapi ada di benak pasar.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat Harian Kendari Pos, 18 Agustus 2009
Semua terjadi begitu cepat. Termasuk kepopuleran lagu Tak Gendong, juga melejit begitu cepat. Saking cepatnya, royalti RBT (Ring Back Tone / nada sambung di handphone) yang kabarnya senilai milyaran rupiah itu belum sempat dicicipi pencinta kopi kental ini.
Dua hari berselang, sang burung merak WS Renda juga pergi untuk selamanya (06/08). Budayawan bersuara serak itu, meninggal di usia 75 tahun menyusul kepergian Mbah Surip, sahabatnya.
Beberapa pekan sebelumnya, Michal Jackson juga menghembuskan nafas terakhir di Los Angeles, Amerika Serikat. Nama yang lebih dikenal sebagai “King of Pop” ini terus melegenda di belantara musik dunia.
Mbah Surip, WS Rendra, dan Michael Jackson adalah deretan nama yang sudah menjadi brand di benak penikmat seni negeri ini. Sama dengan selebritas lainnya, mereka sudah mempunyai positioning masing-masing di benak publik.
Ibarat sebuah kompleks perumahan dengan ratusan rumah. Setiap selebritas punya warna rumah yang berbeda-beda. Warga kampung yang melintasi kompleks itu mengetahui warna biru adalah rumah si Fulan, warna kuning rumah si Budi, warna merah rumah si Romi, dan seterusnya.
Begitu pula yang terjadi di positioning. Selebritas sebagai sang pemilik brand selalu “mempercantik rumah” dengan polesan warna-warni. Hingga suatu saat tampak warna dominan di antara puluhan warna yang dicatkan di dinding rumah.
Di jalur kompetisi, kita butuh warna ekstrim. Tidak ada tempat bagi warna abu-abu di lintasan balap. Yang selalu terlihat hanyalah warna merah, biru, kuning, putih, atau hitam. Kita butuh brand yang kuat. Kita butuh positioning yang nyata.
Produk yang mempunyai banyak kelebihan sesungguhnya tidak sepenuhnya baik. Dengan satu kelebihan tapi menonjol justru lebih baik. Produk butuh “warna dominan” dari deretan produk pesaing di sekitarnya, agar mudah dikenal pasar.
Apa yang ada di benak publik, itulah positioning kita. Positioning is what people thinks about. Untuk itu, sangat dibutuhkan “racun positif” yang dapat menghunjam masuk ke sel-sel otak karena positioning adalah benih yang menghasilkan brand image.
Jika kita berhasil menanam benih yang baik, maka ia juga akan menghasilkan brand image yang baik. Perang pemasaran sesungguhnya tidak berada di pasar nyata, tetapi ada di benak pasar.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat Harian Kendari Pos, 18 Agustus 2009
Minggu, Agustus 02, 2009
Teruslah Berdansa!
Setelah 12 hari ditutup karena ledakan bom hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta, akhirnya kedua hotel itu dioperasikan kembali pekan lalu (29/07). Pengamanan pun lebih diperketat dengan melibatkan anjing pelacak.
Untuk mengundang masyarakat kembali berkunjung ke kedua hotel itu, konon pengelola hotel merilis konsep yang lebih baru dan modern. Bisa berarti lebih humanis, lebih ramah, lebih mengerti Anda, atau apapun itu. Ini hanya persoalan baju!
Namun apapun konsepnya, setidaknya pembukaan kembali gerbang hotel dengan konsep baru diharapkan mendapat respon positif sekaligus menghilangkan traumatik di tengah masyarakat.
Garuda Indonesia dan Pos Indonesia juga sedang menjalankan konsep barunya. Dua pekan lalu (23/07), Garuda baru saja me-refresh logo yang telah digunakannya selama 25 tahun menjadi sebuah logo yang lebih bersahabat. Sebelumnya, logo Garuda menggunakan font italic (huruf miring) dan gradasi warna biru. Saat ini, sudah di-refresh dengan font lebih tegak dan dua warna biru di dasar logo lebih tegas.
Meski tidak tampak perubahan signifikan tetapi peremajaan logo ini diharapkan memberi nuansa baru di internal perusahaan. Terlebih, refreshment logo dilakukan bersamaan peresmian kantor baru dan pesawat baru (Airbus A330-200 dan Boeing B-737-800NG) oleh presiden SBY di Jakarta.
Pos Indonesia meluncurkan program Ayo ke Kantor Pos, Juni lalu. Khawatir pasarnya tergerus, ia lalu menawarkan one stop shopping dengan merangkul sepuluh BUMN sekaligus, di antaranya Garuda Indonesia, Telkom, BTN, BNI, Taspen, Percetakan Negara, PDAM, Pelni, Kereta Api, dan Damri.
JW Marriott, Ritz Carlton, Garuda Indonesia, dan Pos Indonesia adalah deretan perusahaan jasa. Sadar dengan lingkungan yang selalu menuntut perubahan, mereka kemudian melakukan refreshment konsep. JW Marriott dan Ritz Carlton menyajikan lay out yang lebih ramah. Garuda Indonesia menghadirkan logo, kantor, dan pesawat baru. Pos Indonesia menawarkan ajakan Ayo ke Pos.
Pasar memang selalu berubah sehingga kita pun dituntut mengikuti irama gendang itu. Teruslah berdansa dan dengarkan denting gitar di panggung kompetisi. Jangan berdiri kaku bagai patung yang tanpa respon.
Lakukanlah dansa-dansa kecil agar selalu tampak dinamis. Boleh dengan lay out baru, kantor baru, logo baru, atau gaya senyum yang baru. Jika pun budget terbatas, sekadar “me-laundry pakaian” sesungguhnya sudah merupakan dansa-dansa kecil.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Untuk mengundang masyarakat kembali berkunjung ke kedua hotel itu, konon pengelola hotel merilis konsep yang lebih baru dan modern. Bisa berarti lebih humanis, lebih ramah, lebih mengerti Anda, atau apapun itu. Ini hanya persoalan baju!
Namun apapun konsepnya, setidaknya pembukaan kembali gerbang hotel dengan konsep baru diharapkan mendapat respon positif sekaligus menghilangkan traumatik di tengah masyarakat.
Garuda Indonesia dan Pos Indonesia juga sedang menjalankan konsep barunya. Dua pekan lalu (23/07), Garuda baru saja me-refresh logo yang telah digunakannya selama 25 tahun menjadi sebuah logo yang lebih bersahabat. Sebelumnya, logo Garuda menggunakan font italic (huruf miring) dan gradasi warna biru. Saat ini, sudah di-refresh dengan font lebih tegak dan dua warna biru di dasar logo lebih tegas.
Meski tidak tampak perubahan signifikan tetapi peremajaan logo ini diharapkan memberi nuansa baru di internal perusahaan. Terlebih, refreshment logo dilakukan bersamaan peresmian kantor baru dan pesawat baru (Airbus A330-200 dan Boeing B-737-800NG) oleh presiden SBY di Jakarta.
Pos Indonesia meluncurkan program Ayo ke Kantor Pos, Juni lalu. Khawatir pasarnya tergerus, ia lalu menawarkan one stop shopping dengan merangkul sepuluh BUMN sekaligus, di antaranya Garuda Indonesia, Telkom, BTN, BNI, Taspen, Percetakan Negara, PDAM, Pelni, Kereta Api, dan Damri.
JW Marriott, Ritz Carlton, Garuda Indonesia, dan Pos Indonesia adalah deretan perusahaan jasa. Sadar dengan lingkungan yang selalu menuntut perubahan, mereka kemudian melakukan refreshment konsep. JW Marriott dan Ritz Carlton menyajikan lay out yang lebih ramah. Garuda Indonesia menghadirkan logo, kantor, dan pesawat baru. Pos Indonesia menawarkan ajakan Ayo ke Pos.
Pasar memang selalu berubah sehingga kita pun dituntut mengikuti irama gendang itu. Teruslah berdansa dan dengarkan denting gitar di panggung kompetisi. Jangan berdiri kaku bagai patung yang tanpa respon.
Lakukanlah dansa-dansa kecil agar selalu tampak dinamis. Boleh dengan lay out baru, kantor baru, logo baru, atau gaya senyum yang baru. Jika pun budget terbatas, sekadar “me-laundry pakaian” sesungguhnya sudah merupakan dansa-dansa kecil.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Senin, Juli 27, 2009
Opportunity yang Terserak
Sinetron Manohara baru saja tayang perdana pekan lalu di RCTI dengan menghadirkan Manohara Odelia Pinot selaku pemeran. Sinetron produksi SinemArt itu disiapkan tayang setiap malam secara berturut-turut.
Kekuatan magnetis Manohara yang menjadi sorotan media dua bulan terakhir menjadikan sang produser kepincut meski harus merogoh kocek cukup dalam untuk sebuah nilai kontrak. Kabar burung berhembus, nilai kontrak Manohara mencapai Rp 2,5 Milyar untuk 25 episode atau Rp 100 juta per episode. Wow! Andaikan saya Manohara….
Soundtrack lagu Maha Melihat oleh Opick dan Rachel Amanda menyempurnakan rasa haru jalannya cerita kehidupan di layar kaca itu. Namun di balik mulusnya proses pembuatan sinetron, juga terdengar isu kurang sedap seputar eksploitasi sosok Manohara demi segepok materi. Hmm….
Terlepas dari kontroversi itu, kasus ini sesungguhnya cukup bagus ditilik dari kaca mata pemasaran. Popularitas Manohara yang selalu menarik diulas di tengah kisruh rumah tangga itu, membuat sang produser tertantang menjadikan wanita 17 tahun itu “tetap mempesona” di atas wacana-wacana publik melalui pembuatan sinetron. Sang produser berhasil menangkap peluang di tengah hiruk pikuk kompetisi persinetronan.
Membaca peluang di balik peristiwa sesungguhnya sah-sah saja dalam kasus pemasaran. Ketika Idul Fitri tiba, sejumlah perusahaan memberi ucapan selamat melalui bentangan spanduk. Apakah ini eksploitasi agama? Ketika mantan presiden Soeharto meninggal, ratusan ucapan belasungkawa bertengger di rumah duka. Apakah ini eksploitasi kedukaan? Ketika menjelang HUT Proklamasi, ribuan bendera dijajakan di pinggir jalan. Apakah ini eksploitasi nilai kemerdekaan?
Momentum kegembiraan Idul Fitri dijaga agar “tetap terasa” melalui bentangan spanduk. Kesedihan mendalam dijaga agar “tetap terkenang” melalui papan belasungkawa. Gegap gempita kemerdekaan dijaga agar “tetap terpatri” di sanubari melalui semarak bendera merah putih.
Persis kasus Manohara. Persoalannya bukan mengeksploitasi kisruh rumah tangga sang pemeran melalui pembuatan sinetron. Menurut saya, hal ini lebih pada kejelian membaca peluang di balik momentum. Perlu diingat bahwa peristiwa selalu menyajikan dua hal: Thread (ancaman) dan Oppurtunity (peluang). Thread lazimnya menjadi tugas pihak berwajib. Sementara tugas pemasar adalah membaca Opportunity yang terserak di balik peristiwa.
Opportunity memang tidak pernah datang dalam bentuk nyata. Dia selalu bersembunyi di balik peristiwa. Tugas pemasar-lah yang menarik keluar Opportunity yang tampak samar itu menjadi nyata.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 28 Juli 2009
Kekuatan magnetis Manohara yang menjadi sorotan media dua bulan terakhir menjadikan sang produser kepincut meski harus merogoh kocek cukup dalam untuk sebuah nilai kontrak. Kabar burung berhembus, nilai kontrak Manohara mencapai Rp 2,5 Milyar untuk 25 episode atau Rp 100 juta per episode. Wow! Andaikan saya Manohara….
Soundtrack lagu Maha Melihat oleh Opick dan Rachel Amanda menyempurnakan rasa haru jalannya cerita kehidupan di layar kaca itu. Namun di balik mulusnya proses pembuatan sinetron, juga terdengar isu kurang sedap seputar eksploitasi sosok Manohara demi segepok materi. Hmm….
Terlepas dari kontroversi itu, kasus ini sesungguhnya cukup bagus ditilik dari kaca mata pemasaran. Popularitas Manohara yang selalu menarik diulas di tengah kisruh rumah tangga itu, membuat sang produser tertantang menjadikan wanita 17 tahun itu “tetap mempesona” di atas wacana-wacana publik melalui pembuatan sinetron. Sang produser berhasil menangkap peluang di tengah hiruk pikuk kompetisi persinetronan.
Membaca peluang di balik peristiwa sesungguhnya sah-sah saja dalam kasus pemasaran. Ketika Idul Fitri tiba, sejumlah perusahaan memberi ucapan selamat melalui bentangan spanduk. Apakah ini eksploitasi agama? Ketika mantan presiden Soeharto meninggal, ratusan ucapan belasungkawa bertengger di rumah duka. Apakah ini eksploitasi kedukaan? Ketika menjelang HUT Proklamasi, ribuan bendera dijajakan di pinggir jalan. Apakah ini eksploitasi nilai kemerdekaan?
Momentum kegembiraan Idul Fitri dijaga agar “tetap terasa” melalui bentangan spanduk. Kesedihan mendalam dijaga agar “tetap terkenang” melalui papan belasungkawa. Gegap gempita kemerdekaan dijaga agar “tetap terpatri” di sanubari melalui semarak bendera merah putih.
Persis kasus Manohara. Persoalannya bukan mengeksploitasi kisruh rumah tangga sang pemeran melalui pembuatan sinetron. Menurut saya, hal ini lebih pada kejelian membaca peluang di balik momentum. Perlu diingat bahwa peristiwa selalu menyajikan dua hal: Thread (ancaman) dan Oppurtunity (peluang). Thread lazimnya menjadi tugas pihak berwajib. Sementara tugas pemasar adalah membaca Opportunity yang terserak di balik peristiwa.
Opportunity memang tidak pernah datang dalam bentuk nyata. Dia selalu bersembunyi di balik peristiwa. Tugas pemasar-lah yang menarik keluar Opportunity yang tampak samar itu menjadi nyata.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 28 Juli 2009
Senin, Juli 20, 2009
Seuntai Service Recovery
Karena alasan cuaca, sejumlah penerbangan batal berangkat untuk rute Makassar - Kendari (dan sebaliknya) pekan lalu. Tidak tanggung-tanggung, pembatalan terjadi dua hari berturut-turut sehingga penumpang menumpuk di hari ketiga dalam jumlah besar. Saya juga salah satu dari ribuan penumpang yang mengalaminya.
Penumpang luar kota diinapkan di hotel berbintang selama dua hari itu, yang jika dihitung, beban biaya penginapan jauh lebih tinggi dibanding harga tiket. Belum lagi biaya parkir pesawat, upah lembur, konsumsi ekstra selama menunggu di bandara, dan lainnya yang memperpanjang extra cost maskapai.
Meski demikian, namun ternyata persoalannya bukan di situ. Industri penerbangan tidak menjual produk. Mereka menjual jasa. Ayat pertama bagi siapapun pelaku industri ini bahwa kepuasan pelanggan di atas segalanya. Ketika kekecewaan pelanggan berpotensi mengemuka, maka kalkulasi untung-rugi mutlak ditarik ke belakang sejauh-jauhnya.
Apa yang dilakukan maskapai dengan memanjakan penumpang di hotel berbintang patut diacungi jempol. Hal ini lazim disebut Service Recovery, sebagai “penebus dosa” karena tidak optimalnya layanan yang diterima sang konsumen.
Kepuasan pelanggan sulit diukur di industri jasa. Berbeda dengan kasus-kasus produk. Misalnya, ketika saya membeli satu kilogram beras, volumenya dapat diukur dengan timbangan. Kekurangan sekian ons langsung terbaca dengan angka.
Industri jasa berbicara lain. Keterlambatan berangkat 30 menit karena alasan cuaca misalnya, tidak mutlak dipersepsikan sama oleh semua penumpang. Di antara mereka mungkin menerima alasan itu, namun sebagian lainnya bisa saja mempersepsikan secara berbeda.
Kenyataan yang tidak sesuai harapan selalu berbuah kekecewaan. Maka sebelum terjadi kekecewaan berkepanjangan, Service Recovery dibutuhkan secepat mungkin agar bisa menjadi “obat penenang” bagi penumpang.
Untuk bersaing dalam ranah kompetisi di industri jasa, patut dipertimbangkan lima dimensi pelayanan, disingkat RATER: Reliable (handal), Assurance (pasti), Tangible (terukur), Emphaty (empati), Responsive (tanggap). Aktivitas pelayanan sedapat mungkin diarahkan ke titik RATER agar persepsi kualitas pelayanan tertancap dengan baik di benak pelanggan.
Service Recovery salah satu aktivitas yang diharapkan mampu mengakomodir pelayanan yang sudah keluar rel untuk kembali ke khittah-nya. Sebagai “obat penenang”, selayaknya Service Recovery menjadi menu makanan sehari-hari jika terjadi potensi munculnya kekecewaan pelanggan. Tidak mutlak berbentuk voucher hotel. Bisa bentuk lain sebangsa souvenir, surat “cinta”, atau seuntai senyum.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Penumpang luar kota diinapkan di hotel berbintang selama dua hari itu, yang jika dihitung, beban biaya penginapan jauh lebih tinggi dibanding harga tiket. Belum lagi biaya parkir pesawat, upah lembur, konsumsi ekstra selama menunggu di bandara, dan lainnya yang memperpanjang extra cost maskapai.
Meski demikian, namun ternyata persoalannya bukan di situ. Industri penerbangan tidak menjual produk. Mereka menjual jasa. Ayat pertama bagi siapapun pelaku industri ini bahwa kepuasan pelanggan di atas segalanya. Ketika kekecewaan pelanggan berpotensi mengemuka, maka kalkulasi untung-rugi mutlak ditarik ke belakang sejauh-jauhnya.
Apa yang dilakukan maskapai dengan memanjakan penumpang di hotel berbintang patut diacungi jempol. Hal ini lazim disebut Service Recovery, sebagai “penebus dosa” karena tidak optimalnya layanan yang diterima sang konsumen.
Kepuasan pelanggan sulit diukur di industri jasa. Berbeda dengan kasus-kasus produk. Misalnya, ketika saya membeli satu kilogram beras, volumenya dapat diukur dengan timbangan. Kekurangan sekian ons langsung terbaca dengan angka.
Industri jasa berbicara lain. Keterlambatan berangkat 30 menit karena alasan cuaca misalnya, tidak mutlak dipersepsikan sama oleh semua penumpang. Di antara mereka mungkin menerima alasan itu, namun sebagian lainnya bisa saja mempersepsikan secara berbeda.
Kenyataan yang tidak sesuai harapan selalu berbuah kekecewaan. Maka sebelum terjadi kekecewaan berkepanjangan, Service Recovery dibutuhkan secepat mungkin agar bisa menjadi “obat penenang” bagi penumpang.
Untuk bersaing dalam ranah kompetisi di industri jasa, patut dipertimbangkan lima dimensi pelayanan, disingkat RATER: Reliable (handal), Assurance (pasti), Tangible (terukur), Emphaty (empati), Responsive (tanggap). Aktivitas pelayanan sedapat mungkin diarahkan ke titik RATER agar persepsi kualitas pelayanan tertancap dengan baik di benak pelanggan.
Service Recovery salah satu aktivitas yang diharapkan mampu mengakomodir pelayanan yang sudah keluar rel untuk kembali ke khittah-nya. Sebagai “obat penenang”, selayaknya Service Recovery menjadi menu makanan sehari-hari jika terjadi potensi munculnya kekecewaan pelanggan. Tidak mutlak berbentuk voucher hotel. Bisa bentuk lain sebangsa souvenir, surat “cinta”, atau seuntai senyum.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Senin, Juli 13, 2009
Testimoni dan Air Mata
Mata mempelototi sejumlah orang penting yang baru saja selesai menyaksikan film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) di salah satu studio di Jakarta, bulan lalu. Sebagian besar mereka menyatakan puas bahkan ada pula yang terisak oleh alur cerita gubahan Habiburrahman El Shirazy itu.
Film KCB sudah tayang di sejumlah daerah sebulan terakhir ini. Bahkan akhir pekan lalu, Indosat selaku operator selular mengundang khusus pelanggan VIP dan pengguna Blackberry-nya untuk Nonton Bareng film KCB di salah satu bioskop di kota kita.
Film yang rencana dirilis di delapan negara (Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Australia, Mesir, Indonesia) itu diprediksi akan menyamai kepopuleran karya Habiburrahman sebelumnya, Ayat-ayat Cinta (AAC).
Baik film KCB ataupun AAC, keduanya mengambil strategi pemasaran yang sama. Sebelum diluncurkan ke publik, sejumlah pejabat dan pemuka agama diundang menghadiri Nonton Bareng. Usai menonton, raut wajah di-shoot dan komentar-komentar mereka dipublikasi lewat berbagai media.
Masyarakat lalu menjadi penasaran. Ada apa sebenarnya di film itu? Apa yang mendorong Wapres Jusuf Kalla, Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua MUI Cholil Ridwan, dan Ustadz Jeffry Al Buchori meluangkan waktu dua jam penuh menonton film itu? Kenapa pula Ketua MUI Cholil Ridwan langsung meneteskan air mata usai menonton?
Komentar-komentar mereka lazim disebut testimoni. Testimoni, meski hanya sekadar komentar biasa tetapi cukup ampuh menjadi media pemasaran. Tak perlu ada iklan satu halaman di koran. Tak perlu ada blocking time satu jam di televisi. Tak perlu ada rentetan spanduk di jalan. Testimoni akan menerobos kekuatan pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth) secara cepat.
Hermawan Kartajaya, presiden MarkPlus Inc. pernah mengatakan bahwa dalam kompetisi yang makin ketat, produk atau layanan yang kita buat tidak lagi cukup menjadi biasa-biasa saja. Jadikan ia tidak sekadar sebagai komoditi, tetapi lebih dari itu sebagai sebuah experience. Produk atau layanan kita sebaiknya mampu menyentuh hati, merangsang indera, dan menggerakkan spiritual.
Produsen film KCB yang mengambil lokasi shooting di Mesir selama 22 hari itu tampaknya mengerti arti sebuah testimoni. Lewat testimoni dan air mata, film itu berhasil menciptakan rasa penasaran publik. Dan sukses! Sang produsen tahu betul bahwa kita perlu menciptakan rasa penasaran. Karena di balik "penasaran" selalu ada "pemasaran".***
Saran via SMS: 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos, 13 Juli 2009
Film KCB sudah tayang di sejumlah daerah sebulan terakhir ini. Bahkan akhir pekan lalu, Indosat selaku operator selular mengundang khusus pelanggan VIP dan pengguna Blackberry-nya untuk Nonton Bareng film KCB di salah satu bioskop di kota kita.
Film yang rencana dirilis di delapan negara (Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Australia, Mesir, Indonesia) itu diprediksi akan menyamai kepopuleran karya Habiburrahman sebelumnya, Ayat-ayat Cinta (AAC).
Baik film KCB ataupun AAC, keduanya mengambil strategi pemasaran yang sama. Sebelum diluncurkan ke publik, sejumlah pejabat dan pemuka agama diundang menghadiri Nonton Bareng. Usai menonton, raut wajah di-shoot dan komentar-komentar mereka dipublikasi lewat berbagai media.
Masyarakat lalu menjadi penasaran. Ada apa sebenarnya di film itu? Apa yang mendorong Wapres Jusuf Kalla, Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua MUI Cholil Ridwan, dan Ustadz Jeffry Al Buchori meluangkan waktu dua jam penuh menonton film itu? Kenapa pula Ketua MUI Cholil Ridwan langsung meneteskan air mata usai menonton?
Komentar-komentar mereka lazim disebut testimoni. Testimoni, meski hanya sekadar komentar biasa tetapi cukup ampuh menjadi media pemasaran. Tak perlu ada iklan satu halaman di koran. Tak perlu ada blocking time satu jam di televisi. Tak perlu ada rentetan spanduk di jalan. Testimoni akan menerobos kekuatan pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth) secara cepat.
Hermawan Kartajaya, presiden MarkPlus Inc. pernah mengatakan bahwa dalam kompetisi yang makin ketat, produk atau layanan yang kita buat tidak lagi cukup menjadi biasa-biasa saja. Jadikan ia tidak sekadar sebagai komoditi, tetapi lebih dari itu sebagai sebuah experience. Produk atau layanan kita sebaiknya mampu menyentuh hati, merangsang indera, dan menggerakkan spiritual.
Produsen film KCB yang mengambil lokasi shooting di Mesir selama 22 hari itu tampaknya mengerti arti sebuah testimoni. Lewat testimoni dan air mata, film itu berhasil menciptakan rasa penasaran publik. Dan sukses! Sang produsen tahu betul bahwa kita perlu menciptakan rasa penasaran. Karena di balik "penasaran" selalu ada "pemasaran".***
Saran via SMS: 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos, 13 Juli 2009
Senin, Juli 06, 2009
Bukan Beli Kucing dalam Karung
Debat Capres tiba-tiba menjadi fenomena baru. Sejak negeri ini merdeka, baru pemilihan presiden kali ini yang terjadi sangat alot dan seru. Kemeriahan itu diwarnai oleh adanya debat Capres yang ditonton secara live di seluruh Indonesia.
Pekan lalu adalah debat terakhir. Para Capres mengeluarkan jurus-jurus jitu sebagai “tendangan pamungkas” di akhir pertandingan. Tak ketinggalan Capres JK yang mempunyai sense of humor cukup tinggi sesekali menyindir lawan-lawannya dengan gaya saudagarnya.
Di Makassar sendiri, digelar Nonton Bareng Debat Capres di Maraja Ballroom Hotel Sahid, dihadiri lima ratusan penonton. Saya juga sempatkan diri hadir di tengah kerumunan mereka sekalian ingin merasakan nuansa-nuansa pemasaran di balik rasa penasaran yang membuncah.
Usai nonton saya temukan satu benang merah bahwa di zaman serba transparan sekarang ini, masyarakat Indonesia sudah makin tersadar membutuhkan “The Real President”. Mereka sadar bahwa Pilpres bukan transaksi barang yang hanya melihat kulit luarnya. Bukan lagi saatnya beli kucing dalam karung.
Dalam kasus pemasaran kita temukan sejumlah produsen yang cenderung lebih konsentrasi pada kemasan dibanding isi. Kondisi ini pada beberapa kasus dapat diterima pelanggan karena mereka memang (atas perintah otak kanan) lebih mementingkan apa kata kemasan dibanding kualitas isi.
Lihat saja bagaimana mobil-mobil baru didesain menyerupai sedan supaya mengendarai mobil besar itu serasa naik sedan. Ada pula body TV yang dibuat makin tipis agar serasa TV Super Slim. Juga merek-merek baju dibuat berbahasa Inggris sehingga seakan memakai baju impor meski sebenarnya Made in Indonesia.
Strategi seperti itu tidak sepenuhnya bisa digunakan di Pilpres. Setiap calon dikuliti cara berpikirnya dengan pertanyaan dan pernyataan di sepanjang debat. Bahkan dari sisi kecerdasan emosional juga diuji melalui sindiran-sindiran menggelitik.
Demokrasi bangsa ini telah menancapkan pesan istimewa bagi kita semua bahwa negeri kita sedang butuh pemimpin yang dapat diterima semua golongan. Karenanya, untuk menemukan pemimpin ideal itu, masyarakat tidak hanya mencari kemasan cantik (dengan janji-janji kampanye) tetapi juga kualitas lahir batin (realistis dan transparan).
Sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Menilai isi buku tidak lagi bisa dari kulit luar saja. “Don’t judge a book by its cover,” kata orang bijak. Dalil “penasaran” yang banyak berlaku dalam kasus “pemasaran” agaknya tidak lagi berlaku di sini. Selamat mencontreng!***
Saran via SMS: 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos, 07 Juli 2009
Pekan lalu adalah debat terakhir. Para Capres mengeluarkan jurus-jurus jitu sebagai “tendangan pamungkas” di akhir pertandingan. Tak ketinggalan Capres JK yang mempunyai sense of humor cukup tinggi sesekali menyindir lawan-lawannya dengan gaya saudagarnya.
Di Makassar sendiri, digelar Nonton Bareng Debat Capres di Maraja Ballroom Hotel Sahid, dihadiri lima ratusan penonton. Saya juga sempatkan diri hadir di tengah kerumunan mereka sekalian ingin merasakan nuansa-nuansa pemasaran di balik rasa penasaran yang membuncah.
Usai nonton saya temukan satu benang merah bahwa di zaman serba transparan sekarang ini, masyarakat Indonesia sudah makin tersadar membutuhkan “The Real President”. Mereka sadar bahwa Pilpres bukan transaksi barang yang hanya melihat kulit luarnya. Bukan lagi saatnya beli kucing dalam karung.
Dalam kasus pemasaran kita temukan sejumlah produsen yang cenderung lebih konsentrasi pada kemasan dibanding isi. Kondisi ini pada beberapa kasus dapat diterima pelanggan karena mereka memang (atas perintah otak kanan) lebih mementingkan apa kata kemasan dibanding kualitas isi.
Lihat saja bagaimana mobil-mobil baru didesain menyerupai sedan supaya mengendarai mobil besar itu serasa naik sedan. Ada pula body TV yang dibuat makin tipis agar serasa TV Super Slim. Juga merek-merek baju dibuat berbahasa Inggris sehingga seakan memakai baju impor meski sebenarnya Made in Indonesia.
Strategi seperti itu tidak sepenuhnya bisa digunakan di Pilpres. Setiap calon dikuliti cara berpikirnya dengan pertanyaan dan pernyataan di sepanjang debat. Bahkan dari sisi kecerdasan emosional juga diuji melalui sindiran-sindiran menggelitik.
Demokrasi bangsa ini telah menancapkan pesan istimewa bagi kita semua bahwa negeri kita sedang butuh pemimpin yang dapat diterima semua golongan. Karenanya, untuk menemukan pemimpin ideal itu, masyarakat tidak hanya mencari kemasan cantik (dengan janji-janji kampanye) tetapi juga kualitas lahir batin (realistis dan transparan).
Sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Menilai isi buku tidak lagi bisa dari kulit luar saja. “Don’t judge a book by its cover,” kata orang bijak. Dalil “penasaran” yang banyak berlaku dalam kasus “pemasaran” agaknya tidak lagi berlaku di sini. Selamat mencontreng!***
Saran via SMS: 0815 2400 4567
Dimuat di Harian Kendari Pos, 07 Juli 2009
Senin, Juni 29, 2009
Jackson Tak Pernah Mati
Dunia terkejut! Michael Jackson dikabarkan meninggal setelah lama tak terdengar kabarnya. Kamis (24/05) pekan lalu, ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit UCLA Los Angeles, Amerika Serikat di usia 50 tahun.
Banyak yang tidak menduga pelantun lagu “Heal the World” itu akan meninggal secepat ini. Sebelum meninggal, ia dikabarkan mengalami cardiac arrest atau mendadak terhentinya kerja jantung di kediamannya di Los Angeles barat.
Sejumlah spekulasi menghiasi kepergian King of Pop ini. Salah satu di antaranya, dikabarkan banyak menenggak obat penenang seperti Demerol, Xanac, dan Zoloft. Konsumsi obat-obatan yang sudah dilakoninya sejak 1993 itu diduga pemicu serangan jantungnya.
Apapun kondisinya, Jackson adalah Jackson. Ia telah mengukir namanya di industri musik dunia. Namanya terus dikenang, meski nama itu kini terpajang membisu di batu nisan.
Ibarat sebuah merek (brand), nama Jackson sudah tertancap di benak konsumen selama puluhan tahun. Lazimnya, merek akan terus tertanam selama puluhan tahun lagi dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa menghilang.
Pernah dengar Coca Cola, Toyota, Dji Sam Soe, atau Aqua? Merek-merek itu sangat akrab di telinga kita bahkan kita sendiri tidak tahu di mana letak pabriknya. Jika suatu ketika terjadi gelombang tsunami menghempas habis seluruh pabrik merek itu, bukan pertanda riwayatnya juga ikut tamat.
Pabrik bisa hancur lebur. Karyawan bisa serentak terkubur. Namun merek tak pernah mati. Di sinilah kehebatan merek!
Produk dibuat di pabrik dan merek dibentuk di otak. Jika pabrik ditelan bumi, maka ia tidak bisa berproduksi. Meski produk tidak lagi bisa diproduksi, merek masih terus tertancap karena konsumen masih punya otak.
Soekarno, Lady Diana, dan Marilyn Monroe adalah sederet nama yang masih terus dikenang meski mereka sudah di alam kubur. Bank Bali, Sempati Air, Adam Air, dan Satelindo juga sederet nama yang masih tertancap meski nama-nama itu sudah almarhum.
Begitupun Jackson. Nama itu akan terus tertanam di industri musik hingga puluhan tahun lagi. Kekuatan merek telah menghantar nama Jackson untuk tidak pernah mati.
Dalam kasus pemasaran, merek menempati posisi teratas. Seperti sebuah payung besar, merek menaungi produk-produk di bawahnya. Jika merek unggul, produk ikut laris. Jika merek rusak, maka produk tidak laku, pabrik tutup, perusahaan bangkrut.
Konon kabarnya, nilai merek Coca Cola saat ini lebih tinggi dibanding seluruh assetnya. Ini membuktikan bahwa kekuatan merek adalah king of popularity (raja popularitas), yang mengalahkan kekuatan-kekuatan lain di sebuah industri. ***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 29 Juni 2009
Banyak yang tidak menduga pelantun lagu “Heal the World” itu akan meninggal secepat ini. Sebelum meninggal, ia dikabarkan mengalami cardiac arrest atau mendadak terhentinya kerja jantung di kediamannya di Los Angeles barat.
Sejumlah spekulasi menghiasi kepergian King of Pop ini. Salah satu di antaranya, dikabarkan banyak menenggak obat penenang seperti Demerol, Xanac, dan Zoloft. Konsumsi obat-obatan yang sudah dilakoninya sejak 1993 itu diduga pemicu serangan jantungnya.
Apapun kondisinya, Jackson adalah Jackson. Ia telah mengukir namanya di industri musik dunia. Namanya terus dikenang, meski nama itu kini terpajang membisu di batu nisan.
Ibarat sebuah merek (brand), nama Jackson sudah tertancap di benak konsumen selama puluhan tahun. Lazimnya, merek akan terus tertanam selama puluhan tahun lagi dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa menghilang.
Pernah dengar Coca Cola, Toyota, Dji Sam Soe, atau Aqua? Merek-merek itu sangat akrab di telinga kita bahkan kita sendiri tidak tahu di mana letak pabriknya. Jika suatu ketika terjadi gelombang tsunami menghempas habis seluruh pabrik merek itu, bukan pertanda riwayatnya juga ikut tamat.
Pabrik bisa hancur lebur. Karyawan bisa serentak terkubur. Namun merek tak pernah mati. Di sinilah kehebatan merek!
Produk dibuat di pabrik dan merek dibentuk di otak. Jika pabrik ditelan bumi, maka ia tidak bisa berproduksi. Meski produk tidak lagi bisa diproduksi, merek masih terus tertancap karena konsumen masih punya otak.
Soekarno, Lady Diana, dan Marilyn Monroe adalah sederet nama yang masih terus dikenang meski mereka sudah di alam kubur. Bank Bali, Sempati Air, Adam Air, dan Satelindo juga sederet nama yang masih tertancap meski nama-nama itu sudah almarhum.
Begitupun Jackson. Nama itu akan terus tertanam di industri musik hingga puluhan tahun lagi. Kekuatan merek telah menghantar nama Jackson untuk tidak pernah mati.
Dalam kasus pemasaran, merek menempati posisi teratas. Seperti sebuah payung besar, merek menaungi produk-produk di bawahnya. Jika merek unggul, produk ikut laris. Jika merek rusak, maka produk tidak laku, pabrik tutup, perusahaan bangkrut.
Konon kabarnya, nilai merek Coca Cola saat ini lebih tinggi dibanding seluruh assetnya. Ini membuktikan bahwa kekuatan merek adalah king of popularity (raja popularitas), yang mengalahkan kekuatan-kekuatan lain di sebuah industri. ***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 29 Juni 2009
Selasa, Juni 23, 2009
Setingkat di Atas Persepsi
“Anda mau sehat? Cuci tangan 60 detik sebelum makan,” begitu kira-kira sepenggal ajakan Gubernur kita di beberapa sudut kota ini. Tujuannya, agar masyarakat membiasakan hidup sehat. Singkat, padat, jelas.
Sehat adalah persepsi. Semua kita pasti mau sehat. Sebagaimana kaya adalah persepsi, maka semua kita ingin kaya. Mengapa kemudian ketika kita mempunyai kesamaan persepsi untuk sehat dan kaya, kita berbeda memilih cara hidup? Ingin sehat tapi merokok sebagaimana ingin kaya tapi malas.
Kebanyakan kita hanya berada di panggung persepsi dan tidak merasa perlu berada setingkat lebih tinggi di atasnya. Kondisi yang sama, juga banyak terjadi dalam kasus-kasus pemasaran.
Pekan lalu saya melakukan perjalanan wisata dari Makassar ke Kuala Lumpur dengan Air Asia. Sehari di sana, dilanjutkan ke Singapura dengan bus. Setelah itu, kembali ke tanah air via Batam dengan Ferry. Yeah… sebuah perjalanan singkat melelahkan dengan beraneka moda transportasi.
Karena tujuan perjalanan ini adalah berkeliling, maka saya pun memilih jalur berputar hingga ke Batam. Kondisinya berbeda jika pertimbangannya adalah efisiensi waktu. Mungkin saja, segala-galanya dilakukan dengan pesawat tanpa mempertimbangkan biaya, kesenangan, dan lainnya.
Saat Air Asia bercermin tarif murah penerbangan, dia temukan ada South West dari Amerika dan Ryan Air dari Eropa. Ia pun tertarik, lalu memposisikan diri sebagai penerbangan berbasis LCC (Low Cost Carrier) dengan motto tenarnya: now, everyone can fly.
Persepsi untuk menjadi penerbangan termurah terus dilakukannya. Ia juga melakukan efisiensi dengan menghilangkan fasilitas makan–minum di pesawat. Lokasi parkir juga dipilih yang jauh dari pintu keluar agar biaya parkir murah --meski penumpang perlu berjalan kaki puluhan meter ke pintu keluar. Keberadaan pesawat juga diperhitungkan untuk lebih banyak di udara yang tanpa ongkos parkir daripada di terminal dengan biaya parkir tinggi.
Khusus di Malaysia, pihaknya mempunyai terminal sendiri yang tidak digabung dengan penerbangan lain karena bandara yang satu ini agak bercampur jalan kaki --layaknya penumpang baru turun dari bis terminal menuju pintu keluar.
Apapun itu, Air Asia telah memperkokoh jati dirinya di jalur LCC. Dia tidak sekadar menari-nari di dalam persepsi. Dia berusaha berada setingkat di atasnya. Ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan penjualan, kita tidak sekadar butuh persepsi. Kita butuh setingkat lagi, yaitu Action! ***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Sehat adalah persepsi. Semua kita pasti mau sehat. Sebagaimana kaya adalah persepsi, maka semua kita ingin kaya. Mengapa kemudian ketika kita mempunyai kesamaan persepsi untuk sehat dan kaya, kita berbeda memilih cara hidup? Ingin sehat tapi merokok sebagaimana ingin kaya tapi malas.
Kebanyakan kita hanya berada di panggung persepsi dan tidak merasa perlu berada setingkat lebih tinggi di atasnya. Kondisi yang sama, juga banyak terjadi dalam kasus-kasus pemasaran.
Pekan lalu saya melakukan perjalanan wisata dari Makassar ke Kuala Lumpur dengan Air Asia. Sehari di sana, dilanjutkan ke Singapura dengan bus. Setelah itu, kembali ke tanah air via Batam dengan Ferry. Yeah… sebuah perjalanan singkat melelahkan dengan beraneka moda transportasi.
Karena tujuan perjalanan ini adalah berkeliling, maka saya pun memilih jalur berputar hingga ke Batam. Kondisinya berbeda jika pertimbangannya adalah efisiensi waktu. Mungkin saja, segala-galanya dilakukan dengan pesawat tanpa mempertimbangkan biaya, kesenangan, dan lainnya.
Saat Air Asia bercermin tarif murah penerbangan, dia temukan ada South West dari Amerika dan Ryan Air dari Eropa. Ia pun tertarik, lalu memposisikan diri sebagai penerbangan berbasis LCC (Low Cost Carrier) dengan motto tenarnya: now, everyone can fly.
Persepsi untuk menjadi penerbangan termurah terus dilakukannya. Ia juga melakukan efisiensi dengan menghilangkan fasilitas makan–minum di pesawat. Lokasi parkir juga dipilih yang jauh dari pintu keluar agar biaya parkir murah --meski penumpang perlu berjalan kaki puluhan meter ke pintu keluar. Keberadaan pesawat juga diperhitungkan untuk lebih banyak di udara yang tanpa ongkos parkir daripada di terminal dengan biaya parkir tinggi.
Khusus di Malaysia, pihaknya mempunyai terminal sendiri yang tidak digabung dengan penerbangan lain karena bandara yang satu ini agak bercampur jalan kaki --layaknya penumpang baru turun dari bis terminal menuju pintu keluar.
Apapun itu, Air Asia telah memperkokoh jati dirinya di jalur LCC. Dia tidak sekadar menari-nari di dalam persepsi. Dia berusaha berada setingkat di atasnya. Ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan penjualan, kita tidak sekadar butuh persepsi. Kita butuh setingkat lagi, yaitu Action! ***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Minggu, Juni 14, 2009
Selalu Ada Tiga Warna
SBY datang!
Akhir pekan lalu, Capres Demokrat itu mengunjungi Kendari. Kota ini seketika membiru oleh deretan panjang bendera SBY – Boediono. Warna biru adalah warna korporat partai Demokrat.
Capres lain juga tidak ketinggalan. Ada JK-Win membahana dengan warna kuningnya. Ada pula Mega-Pro yang menghentak dengan warna merahnya.
Terdapat tiga paket Capres-Cawapres siap berlaga dengan fanatisme warna partai yang mengental: biru – kuning – merah. Ketiganya dikenal sebagai warna-warna dasar.
Sekilas, mari kita tengok industri penerbangan, perbankan, ataupun telekomunikasi. Siapakah The Three Players industri-industri itu? Di penerbangan terdengar nama Garuda Indonesia (biru) dan Lion Air (merah). Perbankan dikuasai Mandiri (biru), BCA (biru), dan BNI (biru). Sementara telekomunikasi digeluti Telkom (biru), Telkomsel (merah), dan Indosat (kuning).
Sebagian memahami bahwa tidak ada hubungan langsung antara warna korporat dengan keberhasilan perusahaan. Warna mengarah pada pembentukan brand (merek) sementara performansi perusahaan lebih pada angka penjualan. Secantik apapun warna yang dipilih, tidak serta merta menjadikan perusahaan itu berhasil meningkatkan penjualannya. Demikian sebaliknya.
Namun ketika bicara pembentukan karakter brand, maka warna menjadi hal penting. Saat menyebut Bank Mandiri, yang terbersit seketika bukan wajah-wajah teller-nya, bukan lokasi kantornya, bukan pula bentuk ATM-nya. Yang terbayang justru pita kuning emas sebagai logo dan biru tua sebagai corporate color.
Selain menjual produk dan jasa, perusahaan juga diminta “menjual” brand. Brand itu sendiri terbagi dua: product brand (sabun Lux, shampoo Sunsilk, dll) dan corporate brand (Unilever sebagai produsen Lux dan Sunsilk itu).
Sebagian konsumen membeli produk berazaskan fungsi: yang penting bisa membersihkan kulit, yang penting bisa membasmi ketombe. Untuk kategori ini, konsumen perlu diperkenalkan product brand.
Sebagian lainnya berazaskan trust: yang penting diproduksi Unilever, pasti bagus. Begitu kuatnya pengaruh brand, konsumen kadang-kadang dibutakan kualitas. Di sini terlihat betapa pentingnya corporate brand!
Salah satu cara mudah mengkomunikasikan brand ke benak konsumen melalui warna. Demokrat, BCA, Mandiri, Garuda memilih biru. Lainnya memilih merah dan kuning. Dengan satu tujuan, agar lebih mudah dikenal dan diingat konsumen.
Uniknya, sebagian besar kompetisi selalu dimenangi salah satu dari ketiga warna dasar itu: biru, merah, kuning. Apapun industrinya! Kok bisa yah? :)***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos, 15 Juni 2009
Akhir pekan lalu, Capres Demokrat itu mengunjungi Kendari. Kota ini seketika membiru oleh deretan panjang bendera SBY – Boediono. Warna biru adalah warna korporat partai Demokrat.
Capres lain juga tidak ketinggalan. Ada JK-Win membahana dengan warna kuningnya. Ada pula Mega-Pro yang menghentak dengan warna merahnya.
Terdapat tiga paket Capres-Cawapres siap berlaga dengan fanatisme warna partai yang mengental: biru – kuning – merah. Ketiganya dikenal sebagai warna-warna dasar.
Sekilas, mari kita tengok industri penerbangan, perbankan, ataupun telekomunikasi. Siapakah The Three Players industri-industri itu? Di penerbangan terdengar nama Garuda Indonesia (biru) dan Lion Air (merah). Perbankan dikuasai Mandiri (biru), BCA (biru), dan BNI (biru). Sementara telekomunikasi digeluti Telkom (biru), Telkomsel (merah), dan Indosat (kuning).
Sebagian memahami bahwa tidak ada hubungan langsung antara warna korporat dengan keberhasilan perusahaan. Warna mengarah pada pembentukan brand (merek) sementara performansi perusahaan lebih pada angka penjualan. Secantik apapun warna yang dipilih, tidak serta merta menjadikan perusahaan itu berhasil meningkatkan penjualannya. Demikian sebaliknya.
Namun ketika bicara pembentukan karakter brand, maka warna menjadi hal penting. Saat menyebut Bank Mandiri, yang terbersit seketika bukan wajah-wajah teller-nya, bukan lokasi kantornya, bukan pula bentuk ATM-nya. Yang terbayang justru pita kuning emas sebagai logo dan biru tua sebagai corporate color.
Selain menjual produk dan jasa, perusahaan juga diminta “menjual” brand. Brand itu sendiri terbagi dua: product brand (sabun Lux, shampoo Sunsilk, dll) dan corporate brand (Unilever sebagai produsen Lux dan Sunsilk itu).
Sebagian konsumen membeli produk berazaskan fungsi: yang penting bisa membersihkan kulit, yang penting bisa membasmi ketombe. Untuk kategori ini, konsumen perlu diperkenalkan product brand.
Sebagian lainnya berazaskan trust: yang penting diproduksi Unilever, pasti bagus. Begitu kuatnya pengaruh brand, konsumen kadang-kadang dibutakan kualitas. Di sini terlihat betapa pentingnya corporate brand!
Salah satu cara mudah mengkomunikasikan brand ke benak konsumen melalui warna. Demokrat, BCA, Mandiri, Garuda memilih biru. Lainnya memilih merah dan kuning. Dengan satu tujuan, agar lebih mudah dikenal dan diingat konsumen.
Uniknya, sebagian besar kompetisi selalu dimenangi salah satu dari ketiga warna dasar itu: biru, merah, kuning. Apapun industrinya! Kok bisa yah? :)***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos, 15 Juni 2009
Rabu, Juni 10, 2009
Angka Psikologis Manohara
Mata publik terbelalak! Sosok wanita cantik Manohara menghiasi pemberitaan negeri ini seminggu terakhir. Sejak kedatangannya kembali ke Indonesia Minggu pagi (31/05) lalu, pemburu berita dan penikmat berita sama-sama menghayati ”nyanyian merdu” sang model, Manohara Odelia Pinot.
Serasa tanpa beban, Manohara bercerita panjang lebar seputar penderitaan hidup dialami wanita kelahiran Jakarta 28 Februari 1992 itu, sejak menikah dengan Tengku Muhammad Fakhry, dari Kelantan Malaysia.
Wanita blasteran Bugis-Perancis dari Reiner Pinot Noack dan Daisy Fajarina itu mulai dikenal publik sejak Majalah Harper's Bazaar menobatkannya dalam 100 Pesona Indonesia. Kini, Manohara bisa menikmati udara bebas bumi nusantara meski masih tersisa satu pertanyaan besar: mengapa harus mengulur waktu melakukan visum sementara visum adalah kunci jawaban persoalan.
Dalam kasus pemasaran, sesungguhnya cukup banyak persoalan seperti itu. Sebuah produk biasanya tidak dibuat sempurna. Ponsel kita mungkin tampak kecil, ringan, berkamera, tapi tidak customized kirim-terima email sebagaimana Blackberry.
Harga rumah di ibukota, dijual Rp 999 Juta terdengar jauh lebih murah dibanding jika dibanderol Rp 1 Milyar, padahal sesungguhnya hanya selisih Rp 1 juta. Konsep yang sama juga sering digunakan pada pesta diskon di swalayan-swalayan.
Makin sebuah produk berada di pinggir jurang, ia makin dilirik. Makin mendekati sempurna, makin didekati. Makin bertengger di angka 999, makin terlihat murah. Begitulah seterusnya. Produk selalu dirancang “nyaris sempurna” agar bisa bertengger di “angka psikologis” konsumen.
Kisah Manohara pun begitu. Selama visum belum dilakukan, selama itu pula ia akan terus diperbincangkan. Selama itu pula telinga akan terus mendengar, hati akan terus menyimak, mata akan terus mengawasi.
Kondisinya berbeda jika visum dilakukan secepat mungkin. Jawaban tentu langsung dapat ditemukan. Cerita pun akan berakhir secepat mungkin! Tidak ada lagi denting-denting piano menyeruduk. Tidak ada lagi kepekaan telinga mendengar apa yang tidak terdengar.
Untuk membuat mata membelalak, jantung berdetak, adrenalin merontah, sang pemasar sebaiknya tidak mudah mengeluarkan “kata kunci”. Ulurlah waktu agar produk makin diperbincangkan, makin digoreng, makin digosipkan.
Karena produk butuh promosi, maka perbincangan selama masa “menunggu visum” adalah titik-titik psikologis yang efektif untuk makin dikenal publik. Keluarkanlah “hasil visum” di saat yang tepat agar cerita tidak segera berakhir. ***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos, 10 Juni 2009
Serasa tanpa beban, Manohara bercerita panjang lebar seputar penderitaan hidup dialami wanita kelahiran Jakarta 28 Februari 1992 itu, sejak menikah dengan Tengku Muhammad Fakhry, dari Kelantan Malaysia.
Wanita blasteran Bugis-Perancis dari Reiner Pinot Noack dan Daisy Fajarina itu mulai dikenal publik sejak Majalah Harper's Bazaar menobatkannya dalam 100 Pesona Indonesia. Kini, Manohara bisa menikmati udara bebas bumi nusantara meski masih tersisa satu pertanyaan besar: mengapa harus mengulur waktu melakukan visum sementara visum adalah kunci jawaban persoalan.
Dalam kasus pemasaran, sesungguhnya cukup banyak persoalan seperti itu. Sebuah produk biasanya tidak dibuat sempurna. Ponsel kita mungkin tampak kecil, ringan, berkamera, tapi tidak customized kirim-terima email sebagaimana Blackberry.
Harga rumah di ibukota, dijual Rp 999 Juta terdengar jauh lebih murah dibanding jika dibanderol Rp 1 Milyar, padahal sesungguhnya hanya selisih Rp 1 juta. Konsep yang sama juga sering digunakan pada pesta diskon di swalayan-swalayan.
Makin sebuah produk berada di pinggir jurang, ia makin dilirik. Makin mendekati sempurna, makin didekati. Makin bertengger di angka 999, makin terlihat murah. Begitulah seterusnya. Produk selalu dirancang “nyaris sempurna” agar bisa bertengger di “angka psikologis” konsumen.
Kisah Manohara pun begitu. Selama visum belum dilakukan, selama itu pula ia akan terus diperbincangkan. Selama itu pula telinga akan terus mendengar, hati akan terus menyimak, mata akan terus mengawasi.
Kondisinya berbeda jika visum dilakukan secepat mungkin. Jawaban tentu langsung dapat ditemukan. Cerita pun akan berakhir secepat mungkin! Tidak ada lagi denting-denting piano menyeruduk. Tidak ada lagi kepekaan telinga mendengar apa yang tidak terdengar.
Untuk membuat mata membelalak, jantung berdetak, adrenalin merontah, sang pemasar sebaiknya tidak mudah mengeluarkan “kata kunci”. Ulurlah waktu agar produk makin diperbincangkan, makin digoreng, makin digosipkan.
Karena produk butuh promosi, maka perbincangan selama masa “menunggu visum” adalah titik-titik psikologis yang efektif untuk makin dikenal publik. Keluarkanlah “hasil visum” di saat yang tepat agar cerita tidak segera berakhir. ***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos, 10 Juni 2009
Minggu, Mei 31, 2009
Kampanye-lah Agar Konsumen Yakin
Coba bayangkan jika pemilihan presiden (Pilpres) dilakukan tanpa kampanye. Bagaimana kita mengenal sang calon Presiden (Capres)? Gagasan-gagasannya? Misi visinya? Program jangka pendeknya?
Besok 2 Juni 2009, jika tidak ada aral melintang akan dimulai kampanye Pilpres. Dengan tiga Capres orang-orang hebat negeri ini, kita kemudian disuguhkan pilihan sulit. Semuanya baik. Semuanya pintar. Semuanya jujur.
Di zaman serba demokratis saat ini, segalanya kita putuskan lewat proses ”telaah kampanye”. Pasangan hidup sekalipun, diputuskan setelah melalui masa kampanye yang lazim disebut penjajakan (sebagian menyebutnya pacaran). Rumah yang kita tinggali juga dibeli setelah melalui perhitungan matang. Termasuk barang-barang yang kita kenakan saat ini mulai jam tangan, baju, sepatu, hingga pakaian dalam, tidak serta merta kita beli tanpa mempertimbangkan ”janji-janji kampanye” di papan-papan iklan.
Karena produk punya segmen beraneka ragam, maka bahasa kampanye pun sepatutnya disesuaikan dengan segmen yang disasar. Ketika mobil Mercedes membidik konsumen middle – up, bahasa kampanyenya tampak lebih eksklusif. Begitu pun ketika biskuit Oreo menyasar anak-anak, bahasa yang digunakannya terkesan lucu dan kekanak-kanakan.
Masa kampanye Pilpres segera berlangsung sebulan penuh. Sebentar lagi Capres menebar janji-janji kampanye; bergerilya dari kota besar hingga dusun desa, dari sejuknya ruang ber-AC hingga gerahnya terik matahari, dari lembutnya permadani hingga kakunya lumpur pematang sawah.
Garis besar yang ingin disampaikan sang Capres sesungguhnya hanya satu: kehidupan yang lebih baik. Itu saja! Lagu merdu itu kemudian dilantunkan dalam berbagai irama, seperti meningkatkan gaji guru, menekan angka pengangguran, membebaskan pajak, gratis pengobatan, dan banyak lagi.
Dalam pemasaran dikenal proses pengambilan keputusan membeli konsumen melalui tiga tahap: awareness (kesadaran), preference (kesukaan), dan conviction (keyakinan). Konsumen terlebih dahulu harus sadar jika sedang memilih produk. Dari sederet pilihan, konsumen harus tertarik pada salah satu produk yang berjejer. Tahap akhir, konsumen mutlak meyakini bahwa pilihannya sudah tepat.
Pilpres ibarat memilih produk. Untuk bisa dipilih konsumen, produsen harus memasuki alam kesadaran konsumen, alam kesukaan konsumen, dan alam keyakinan konsumen. Untuk itu, promosi (kampanye) menjadi media yang tepat untuk memasuki emosi konsumen hingga mereka betul-betul yakin bahwa pilihannya memang sudah tepat!***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Minggu, Mei 24, 2009
Koalisi, Perlukah Kita?
Drama koalisi sedang berlangsung di panggung raksasa negeri ini. Lebih 220 juta penonton memadati stadion Nusantara yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Drama dilakonkan oleh orang-orang hebat negeri ini dengan mengusung judul-judul menarik: SBY Berbudi, JK Win, dan Mega Pro.
Untuk bisa memikat hati penonton, ketiga pelaku sedang merancang sebuah magnet besar agar siapapun penontonnya langsung ketarik di arus magnet itu. Konsep pembangunan, keamanan, ekonomi kerakyatan, dan peduli wong cilik sedang berderet di skenario sang pelakon.
Untuk memperkuat tarikan magnet itu, mereka pun melakukan koalisi agar kekuatan yang tadinya bercerai berai menjadi satu. Dalam kasus-kasus pemasaran, hal seperti ini sudah sering terjadi, baik untuk penggabungan perusahaan ataupun produk.
Masih hangat di ingatan kita drama koalisi Bank Exim, Bank Bumi Daya, dan Bank Dagang Negara menjadi Bank Mandiri. Juga drama koalisi Telkomsel ke Telkom Group dan Satelindo ke Indosat Group.
Di industri media juga terjadi. Tribun Timur, Tribun Kaltim, Tribun Manado, dan lainnya menggandeng ke Kompas Group. Sementara Kendari Pos, Fajar, Cendrawasih Post, dan lainnya menggamit ke Jawa Pos Group. Di media audio visual, ada Trans 7 dan Trans TV menyatu ke Trans Corporation sementara RCTI, TPI, Global makin kuat di genggaman MNC Group.
Di level produk, ada Sony dan Ericsson yang mengkoalisikan produknya menjadi ponsel Sony Ericsson. Penyatuan kekuatan lazim disebut koalisi, merger, kongsi, ataupun penyertaan saham.
Salah satu pertimbangan dilakukannya koalisi karena tantangan pasar yang makin berat. Jika maju sendirian, dikhawatirkan akan hanyut di pusaran. Dengan menyatukan langkah menghadapi tantangan, maka kekhawatiran untuk kalah bersaing makin kecil.
Hanya saja, perlu diperhatikan budaya kerja dan nilai-nilai yang selama ini berjalan di tiap perusahaan. Untuk itu, diperlukan pembentukan budaya baru yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan. Jika itu produk, maka diperlukan benang merah pembentukan persepsi baru sebagaimana Sony Ericsson pernah melakukannya.
Tak terkecuali pasangan Capres-Cawapres. Mereka membutuhkan persepsi baru agar koalisi yang dibentuknya menjadi lebih optimal. Ibarat produk, pelakon drama negeri ini butuh kemasan baru, label baru, segme baru, hingga STP (Strategy, Targetting, Positioning) yang juga baru.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 25 Mei 2009
Untuk bisa memikat hati penonton, ketiga pelaku sedang merancang sebuah magnet besar agar siapapun penontonnya langsung ketarik di arus magnet itu. Konsep pembangunan, keamanan, ekonomi kerakyatan, dan peduli wong cilik sedang berderet di skenario sang pelakon.
Untuk memperkuat tarikan magnet itu, mereka pun melakukan koalisi agar kekuatan yang tadinya bercerai berai menjadi satu. Dalam kasus-kasus pemasaran, hal seperti ini sudah sering terjadi, baik untuk penggabungan perusahaan ataupun produk.
Masih hangat di ingatan kita drama koalisi Bank Exim, Bank Bumi Daya, dan Bank Dagang Negara menjadi Bank Mandiri. Juga drama koalisi Telkomsel ke Telkom Group dan Satelindo ke Indosat Group.
Di industri media juga terjadi. Tribun Timur, Tribun Kaltim, Tribun Manado, dan lainnya menggandeng ke Kompas Group. Sementara Kendari Pos, Fajar, Cendrawasih Post, dan lainnya menggamit ke Jawa Pos Group. Di media audio visual, ada Trans 7 dan Trans TV menyatu ke Trans Corporation sementara RCTI, TPI, Global makin kuat di genggaman MNC Group.
Di level produk, ada Sony dan Ericsson yang mengkoalisikan produknya menjadi ponsel Sony Ericsson. Penyatuan kekuatan lazim disebut koalisi, merger, kongsi, ataupun penyertaan saham.
Salah satu pertimbangan dilakukannya koalisi karena tantangan pasar yang makin berat. Jika maju sendirian, dikhawatirkan akan hanyut di pusaran. Dengan menyatukan langkah menghadapi tantangan, maka kekhawatiran untuk kalah bersaing makin kecil.
Hanya saja, perlu diperhatikan budaya kerja dan nilai-nilai yang selama ini berjalan di tiap perusahaan. Untuk itu, diperlukan pembentukan budaya baru yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan. Jika itu produk, maka diperlukan benang merah pembentukan persepsi baru sebagaimana Sony Ericsson pernah melakukannya.
Tak terkecuali pasangan Capres-Cawapres. Mereka membutuhkan persepsi baru agar koalisi yang dibentuknya menjadi lebih optimal. Ibarat produk, pelakon drama negeri ini butuh kemasan baru, label baru, segme baru, hingga STP (Strategy, Targetting, Positioning) yang juga baru.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos, 25 Mei 2009
Minggu, Mei 17, 2009
Awas, Jebakan GIGO!
Awal bulan ini saya baru saja melakukan perjalanan ibadah. Dengan Garuda Indonesia, perjalanan panjang cukup melelahkan dari Jakarta ke Jeddah dapat ditempuh dengan baik sembilan jam non stop.
Mayoritas penumpang pesawat itu bertujuan ibadah. Rasanya, hanya segelintir saja tujuan bisnis. Sepanjang perjalanan melintasi benua, pesawat berbadan lebar berlantai dua Boeing 747-400 yang menerbangkan kami itu tampak sangat gagah di udara dengan 428 seat.
Agak sedikit berbeda dibanding penerbangan domestik. Kali ini, pramugarinya serentak berbalut jilbab, greeting pengumuman diawali salam lekum, juga tayangan-tayangan informasi di layar TV lebih bernuansa religi: penumpang dituntun bacaan doa sebelum berangkat, doa ketika mendarat, cara shalat duduk di pesawat, dikumandangkan suara adzan saat tiba waktu shalat, dan banyak lagi.
Pihak Garuda rupanya tahu memposisikan diri sedang menuju ke mana, menerbangkan siapa, untuk tujuan apa. Informasi dan cara penyajian disesuaikan kondisi pasarnya saat itu. Perlakuan khusus di jalur khusus ini memberikan nilai tambah yang juga bernilai khusus di benak konsumen.
Selaku konsumen, sesungguhnya dalam keseharian kita selalu dijejali ribuan informasi yang malang melintang melalui iklan TV, radio, baliho, poster, hingga selebaran. Selaku konsumen, kita tidak punya cukup waktu menyeleksi informasi mana yang benar dan salah. Kita juga tidak punya cukup memori mengingat semua informasi yang dilihat dan didengar mulai bangun tidur hingga tidur kembali.
Untuk itu, agar iklan yang disampaikan tepat sasaran perlu disesuaikan dengan pasar yang dituju. Dalam penyebaran informasi dikenal istilah garbage alias sampah. Agar informasi yang disampaikan dapat tertanam di benak konsumen, sepatutnya menghindari informasi mengambang yang hanya mampir centang perenang di benak konsumen lalu akhirnya lenyap dan jadi garbage.
Tempatkan informasi sesuai kebutuhan konsumen. Masuklah melalui bahasa mereka, perilaku mereka, adat budaya mereka. Pemasaran tidak butuh bahasa rumit. Lebih singkat, lebih padat, lebih jelas justru lebih baik.
Sadarkah kita, jutaan informasi berserakan di sekitaran konsumen yang telah dibayar mahal namun akhirnya menjadi garbage. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Garbage In, Garbage Out! Itulah si GIGO!
Garuda Indonesia tahu betul menghindar dari jebakan GIGO. Ia menempatkan informasi dan cara penyajian sesuai kebutuhan pasarnya agar biaya promosi dan komunikasi tidak terbuang percuma.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos, 18 Mei 2009
Mayoritas penumpang pesawat itu bertujuan ibadah. Rasanya, hanya segelintir saja tujuan bisnis. Sepanjang perjalanan melintasi benua, pesawat berbadan lebar berlantai dua Boeing 747-400 yang menerbangkan kami itu tampak sangat gagah di udara dengan 428 seat.
Agak sedikit berbeda dibanding penerbangan domestik. Kali ini, pramugarinya serentak berbalut jilbab, greeting pengumuman diawali salam lekum, juga tayangan-tayangan informasi di layar TV lebih bernuansa religi: penumpang dituntun bacaan doa sebelum berangkat, doa ketika mendarat, cara shalat duduk di pesawat, dikumandangkan suara adzan saat tiba waktu shalat, dan banyak lagi.
Pihak Garuda rupanya tahu memposisikan diri sedang menuju ke mana, menerbangkan siapa, untuk tujuan apa. Informasi dan cara penyajian disesuaikan kondisi pasarnya saat itu. Perlakuan khusus di jalur khusus ini memberikan nilai tambah yang juga bernilai khusus di benak konsumen.
Selaku konsumen, sesungguhnya dalam keseharian kita selalu dijejali ribuan informasi yang malang melintang melalui iklan TV, radio, baliho, poster, hingga selebaran. Selaku konsumen, kita tidak punya cukup waktu menyeleksi informasi mana yang benar dan salah. Kita juga tidak punya cukup memori mengingat semua informasi yang dilihat dan didengar mulai bangun tidur hingga tidur kembali.
Untuk itu, agar iklan yang disampaikan tepat sasaran perlu disesuaikan dengan pasar yang dituju. Dalam penyebaran informasi dikenal istilah garbage alias sampah. Agar informasi yang disampaikan dapat tertanam di benak konsumen, sepatutnya menghindari informasi mengambang yang hanya mampir centang perenang di benak konsumen lalu akhirnya lenyap dan jadi garbage.
Tempatkan informasi sesuai kebutuhan konsumen. Masuklah melalui bahasa mereka, perilaku mereka, adat budaya mereka. Pemasaran tidak butuh bahasa rumit. Lebih singkat, lebih padat, lebih jelas justru lebih baik.
Sadarkah kita, jutaan informasi berserakan di sekitaran konsumen yang telah dibayar mahal namun akhirnya menjadi garbage. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Garbage In, Garbage Out! Itulah si GIGO!
Garuda Indonesia tahu betul menghindar dari jebakan GIGO. Ia menempatkan informasi dan cara penyajian sesuai kebutuhan pasarnya agar biaya promosi dan komunikasi tidak terbuang percuma.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos, 18 Mei 2009
Minggu, April 26, 2009
Rumah Kemasan
Puluhan stand hadir di pameran akbar yang sedang berlangsung di lapangan MTQ kota Kendari. Penasaran mau melihat apa yang terjadi di pameran itu, saya pun meluangkan waktu seharian berkeliling dari satu stand ke stand lain akhir pekan lalu.
Di stand Dinas Perindustrian Provinsi Sulawesi Tenggara, bertengger mesin ukuran medium dengan tulisan di atasnya: Rumah Kemasan. Stand ini ingin menunjukkan proses pengemasan yang higienis, modis, dan sophisticated. Mesin kemas disiapkan untuk memfasilitasi usaha kecil menengah agar belajar melakukan packaging (pengemasan) yang baik.
Makanan sederhana, jika dikemas dengan cantik akan meningkatkan nilai jual. Makanan ringan sebangsa Chiki, Oreo, Taro, Kacang Garuda, bernilai jual tinggi karena packaging-nya yang cantik. Sementara produk lokal seperti Bagea, Tenteng, Terasi, Mete masih bernilai jual rendah karena packaging-nya yang tidak cantik.
Mayoritas pelanggan membeli produk karena melihat kemasan, bukan melihat isinya. Meski pelanggan tahu bahwa isi (content) lebih penting daripada kemasan (context), tetapi saat terjadi transaksi di pasar justru terjadi sebaliknya. Hiruk pikuk pasar seakan ”memaksa” keputusan pelanggan berbelanja karena kemasannya. Penghuni bumi ini secara tidak sadar, sedang hidup di sebuah rumah kemasan.
Apa hebatnya Singapura di banding Indonesia?
Ia tidak punya sumber daya alam seperti Bombana. Negaranya se-upil lebih kecil dari daratan Sulawesi Tenggara. Penduduknya se-ujung kuku, lebih sedikit dari penduduk Sulawesi Selatan. Ia dikenal bukan karena aspal, emas, mete (content) tetapi karena pelayanan primanya (context). Singapore Airlines bahkan membelalakkan mata dunia sebagai the best airlines services in the world.
Apa kelebihan Manado dibanding kota kita?
Pekan lalu saya berkunjung ke Manado. Kotanya yang maju pesat dengan bertaburnya hotel menjulang itu mendapat pengakuan dunia sebagai tuan rumah WOC (World Ocean Conference) bulan depan. Ia juga dikenal dengan 3 B (Bunaken, Bubur, dan Bibir). Hallaakh… jadi ngawur
Apa kelebihan Caleg terpilih dan Caleg tak terpilih?
Pesta demokrasi awal bulan ini sudah mulai melahirkan nama-nama yang lolos seleksi. Kenapa mereka terpilih? Apa yang menggoda masyarakat memilihnya? Bagaimana cara dia meraup suara sebanyak-banyaknya?
Singapura, Manado, dan Caleg menjadi lirikan manusia sekali lagi bukan semata karena ”isinya” tetapi karena ”kemasannya”. Yeah.... kita hidup di rumah kemasan. Siapa yang cerdas membuat kemasan, dialah calon pemenang pasar.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Di stand Dinas Perindustrian Provinsi Sulawesi Tenggara, bertengger mesin ukuran medium dengan tulisan di atasnya: Rumah Kemasan. Stand ini ingin menunjukkan proses pengemasan yang higienis, modis, dan sophisticated. Mesin kemas disiapkan untuk memfasilitasi usaha kecil menengah agar belajar melakukan packaging (pengemasan) yang baik.
Makanan sederhana, jika dikemas dengan cantik akan meningkatkan nilai jual. Makanan ringan sebangsa Chiki, Oreo, Taro, Kacang Garuda, bernilai jual tinggi karena packaging-nya yang cantik. Sementara produk lokal seperti Bagea, Tenteng, Terasi, Mete masih bernilai jual rendah karena packaging-nya yang tidak cantik.
Mayoritas pelanggan membeli produk karena melihat kemasan, bukan melihat isinya. Meski pelanggan tahu bahwa isi (content) lebih penting daripada kemasan (context), tetapi saat terjadi transaksi di pasar justru terjadi sebaliknya. Hiruk pikuk pasar seakan ”memaksa” keputusan pelanggan berbelanja karena kemasannya. Penghuni bumi ini secara tidak sadar, sedang hidup di sebuah rumah kemasan.
Apa hebatnya Singapura di banding Indonesia?
Ia tidak punya sumber daya alam seperti Bombana. Negaranya se-upil lebih kecil dari daratan Sulawesi Tenggara. Penduduknya se-ujung kuku, lebih sedikit dari penduduk Sulawesi Selatan. Ia dikenal bukan karena aspal, emas, mete (content) tetapi karena pelayanan primanya (context). Singapore Airlines bahkan membelalakkan mata dunia sebagai the best airlines services in the world.
Apa kelebihan Manado dibanding kota kita?
Pekan lalu saya berkunjung ke Manado. Kotanya yang maju pesat dengan bertaburnya hotel menjulang itu mendapat pengakuan dunia sebagai tuan rumah WOC (World Ocean Conference) bulan depan. Ia juga dikenal dengan 3 B (Bunaken, Bubur, dan Bibir). Hallaakh… jadi ngawur
Apa kelebihan Caleg terpilih dan Caleg tak terpilih?
Pesta demokrasi awal bulan ini sudah mulai melahirkan nama-nama yang lolos seleksi. Kenapa mereka terpilih? Apa yang menggoda masyarakat memilihnya? Bagaimana cara dia meraup suara sebanyak-banyaknya?
Singapura, Manado, dan Caleg menjadi lirikan manusia sekali lagi bukan semata karena ”isinya” tetapi karena ”kemasannya”. Yeah.... kita hidup di rumah kemasan. Siapa yang cerdas membuat kemasan, dialah calon pemenang pasar.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Minggu, April 19, 2009
Over Expectation
Ada-ada saja cerita lucu di balik pemilihan legislatif baru-baru ini. Mereka yang gagal terpilih secara terang-terangan menunjukkan sikap anehnya. Terdengarlah mantan Caleg yang mengambil kembali bantuan sarung dari warga. Ada pula menyegel sekolah yang telah didirikannya puluhan tahun lalu. Juga karpet bludru pengajian ditarik kembali karena suaranya tidak sesuai yang dibayangkan.
Senyum manis yang terpampang di baliho selama berbulan-bulan, serasa disambar petir berubah jadi senyum kecut. Kemarau setahun dihapus hujan sehari.
Perilaku aneh mantan Caleg di se-antero nusantara, sudah pasti berawal dari sebuah kekecewaan. Mereka yang terlanjur “mengasumsikan” dirinya memperoleh suara banyak namun kenyataannya tidak demikian, berimplikasi pada tingkah aneh dan stress itu.
Berharap dipilih warga miskin melalui titipan sarung, berharap dipilih kelompok guru melalui titipan sekolah binaan, berharap dipilih kelompok pengajian melalui titipan karpet. Kenyataannya, justru jauh di bawah bayang-bayang harapan.
Kondisi ini lazim disebut dengan Over Expectation.
Ibarat produk, saat Caleg memproklamirkan diri untuk dipilih melalui baliho, sesungguhnya dia sedang beriklan. Makin cerdas sebuah produk diiklankan, makin cepat pula dilirik konsumen.
Satu hal yang menarik bahwa kebanyakan Caleg mengasumsikan dirinya dipilih berdasarkan feeling berlabel bantuan. Sementara dalam kasus pemasaran, feeling sama sekali tidak dikenal. Pasar itu butuh angka-angka. Pasar tidak butuh perasaan. Pasar tidak butuh asumsi yang tak berdasar.
Karena itu, dalam organisasi pemasaran kadang dibentuk unit khusus yang berfungsi sebagai marketing inteligent. Tugasnya memantau pergerakan pasar, inovasi kompetitor, dan prospek bisnis keseluruhan. Secara rutin unit tersebut juga melakukan sampling sehingga arah persaingan pasar bisa diprediksi, bahkan jumlah pelanggan di akhir tahun bisa ditebak.
Caleg tidak melakukan seperti ini. Mereka hanya memprediksi berdasarkan feeling. Ketika asumsi feeling meleset jauh, berimbaslah pada tingkah laku aneh dan stress karena kenyataan jauh lebih buruk dari harapannya.
Agar tidak terjadi hal yang sama di pasar terhadap produk yang sedang kita pasarkan, saatnya dipikirkan fungsi kerja marketing inteligent. Salah satu tujuannya, agar tidak terjadi Over Expectation seperti para mantan Caleg yang banyak stress itu.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 20 April 2009
Senyum manis yang terpampang di baliho selama berbulan-bulan, serasa disambar petir berubah jadi senyum kecut. Kemarau setahun dihapus hujan sehari.
Perilaku aneh mantan Caleg di se-antero nusantara, sudah pasti berawal dari sebuah kekecewaan. Mereka yang terlanjur “mengasumsikan” dirinya memperoleh suara banyak namun kenyataannya tidak demikian, berimplikasi pada tingkah aneh dan stress itu.
Berharap dipilih warga miskin melalui titipan sarung, berharap dipilih kelompok guru melalui titipan sekolah binaan, berharap dipilih kelompok pengajian melalui titipan karpet. Kenyataannya, justru jauh di bawah bayang-bayang harapan.
Kondisi ini lazim disebut dengan Over Expectation.
Ibarat produk, saat Caleg memproklamirkan diri untuk dipilih melalui baliho, sesungguhnya dia sedang beriklan. Makin cerdas sebuah produk diiklankan, makin cepat pula dilirik konsumen.
Satu hal yang menarik bahwa kebanyakan Caleg mengasumsikan dirinya dipilih berdasarkan feeling berlabel bantuan. Sementara dalam kasus pemasaran, feeling sama sekali tidak dikenal. Pasar itu butuh angka-angka. Pasar tidak butuh perasaan. Pasar tidak butuh asumsi yang tak berdasar.
Karena itu, dalam organisasi pemasaran kadang dibentuk unit khusus yang berfungsi sebagai marketing inteligent. Tugasnya memantau pergerakan pasar, inovasi kompetitor, dan prospek bisnis keseluruhan. Secara rutin unit tersebut juga melakukan sampling sehingga arah persaingan pasar bisa diprediksi, bahkan jumlah pelanggan di akhir tahun bisa ditebak.
Caleg tidak melakukan seperti ini. Mereka hanya memprediksi berdasarkan feeling. Ketika asumsi feeling meleset jauh, berimbaslah pada tingkah laku aneh dan stress karena kenyataan jauh lebih buruk dari harapannya.
Agar tidak terjadi hal yang sama di pasar terhadap produk yang sedang kita pasarkan, saatnya dipikirkan fungsi kerja marketing inteligent. Salah satu tujuannya, agar tidak terjadi Over Expectation seperti para mantan Caleg yang banyak stress itu.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 20 April 2009
Minggu, April 12, 2009
Back to Zero
Tidak sedikit pembaca kolom ini menanyakan tulisan saya yang tidak terbit dua pekan terakhir. Sengaja saya tidak menulis, selain karena padatnya ruang halaman oleh iklan partai, juga dikarenakan konsentrasi pembaca (tampaknya) lebih banyak tersedot ke wacana-wacana politik.
Pekan lalu, pesta demokrasi baru saja usai. Tentu saja, ada menang ada kalah. Ibarat sebuah pameran akbar, setiap Caleg membuat stand pameran dan berharap ada yang datang berkunjung. Berbagai cara dilakukan untuk menarik simpati pengunjung, mulai senyum tulus hingga program-program jangka panjangnya.
Usai pameran digelar, bagi yang banyak dikunjungi menerima ucapan selamat. Sementara yang kurang dikunjungi kembali mengevaluasi diri, merenung, bahkan mungkin stress.
Back to zero.
Setelah gagal di pameran akbar, para Caleg kembali berpikir dari titik nol untuk pameran-pemeran lain berikutnya. Seharusnya, ini bukan sebuah kegagalan karena sesungguhnya tidak ada yang gagal dalam kehidupan ini. Yang ada hanya orang-orang yang berhenti mencoba. Begitu kata orang bijak.
Dalam kasus-kasus pemasaran kondisi seperti ini sangat sering ditemukan. Produk melimpah di pasar dengan berbagai merek. Dalam waktu tertentu setelah periode penjualan dan ternyata tidak mencapai target, apa yang dilakukan kemudian?
Salah satunya adalah memberi ”rasa” pada produk yang dipasarkan. Boleh berarti harga lebih murah, varian lebih banyak, garansi lebih lama, dan seterusnya. Karena untuk dilirik konsumen, produk yang dipasarakan sepatutnya punya keunikan dibanding yang lain. Konsumen selalu lebih tertarik pada barang yang punya nilai lebih.
Kembali ke Caleg. Bagi yang belum berhasil mendapat suara terbanyak, kesempatan masih terbuka lebar dan pasar masih terlentang luas. Produk yang tidak laku di suatu pasar, bukan jaminan tidak laku pula di pasar lain. Dunia belum kiamat, Bung!
Tidak sedikit orang sukses justru lahir dari pengalaman sebagai orang gagal. Motivator Andre Wongso (Sekolah Dasar tidak tamat), Pemilik Primagama Purdi Chandra (berhenti kuliah di UGM), Orang Kaya Dunia Bill Gates (tidak tamat kuliah di Harvard University), dan banyak lagi.
Manusia ataupun produk yang kembali ke titik nol, tidak selamanya berarti murka. Mungkin itu adalah berkah. Justru karena berada di titik nol, maka jutaan titik lainnya dapat kita lihat dengan lapang. Tugas kita adalah menyiasati kesempitan menjadi sebuah kesempatan.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 13 April 2009
Pekan lalu, pesta demokrasi baru saja usai. Tentu saja, ada menang ada kalah. Ibarat sebuah pameran akbar, setiap Caleg membuat stand pameran dan berharap ada yang datang berkunjung. Berbagai cara dilakukan untuk menarik simpati pengunjung, mulai senyum tulus hingga program-program jangka panjangnya.
Usai pameran digelar, bagi yang banyak dikunjungi menerima ucapan selamat. Sementara yang kurang dikunjungi kembali mengevaluasi diri, merenung, bahkan mungkin stress.
Back to zero.
Setelah gagal di pameran akbar, para Caleg kembali berpikir dari titik nol untuk pameran-pemeran lain berikutnya. Seharusnya, ini bukan sebuah kegagalan karena sesungguhnya tidak ada yang gagal dalam kehidupan ini. Yang ada hanya orang-orang yang berhenti mencoba. Begitu kata orang bijak.
Dalam kasus-kasus pemasaran kondisi seperti ini sangat sering ditemukan. Produk melimpah di pasar dengan berbagai merek. Dalam waktu tertentu setelah periode penjualan dan ternyata tidak mencapai target, apa yang dilakukan kemudian?
Salah satunya adalah memberi ”rasa” pada produk yang dipasarkan. Boleh berarti harga lebih murah, varian lebih banyak, garansi lebih lama, dan seterusnya. Karena untuk dilirik konsumen, produk yang dipasarakan sepatutnya punya keunikan dibanding yang lain. Konsumen selalu lebih tertarik pada barang yang punya nilai lebih.
Kembali ke Caleg. Bagi yang belum berhasil mendapat suara terbanyak, kesempatan masih terbuka lebar dan pasar masih terlentang luas. Produk yang tidak laku di suatu pasar, bukan jaminan tidak laku pula di pasar lain. Dunia belum kiamat, Bung!
Tidak sedikit orang sukses justru lahir dari pengalaman sebagai orang gagal. Motivator Andre Wongso (Sekolah Dasar tidak tamat), Pemilik Primagama Purdi Chandra (berhenti kuliah di UGM), Orang Kaya Dunia Bill Gates (tidak tamat kuliah di Harvard University), dan banyak lagi.
Manusia ataupun produk yang kembali ke titik nol, tidak selamanya berarti murka. Mungkin itu adalah berkah. Justru karena berada di titik nol, maka jutaan titik lainnya dapat kita lihat dengan lapang. Tugas kita adalah menyiasati kesempitan menjadi sebuah kesempatan.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 13 April 2009
Minggu, Maret 22, 2009
Partai Lidah di Orde Rekomendasi
Ketika berkunjung ke suatu kota, kita selalu mencari makanan khas daerah itu dengan bertanya ke orang-orang sekeliling kita. Entah ke teman kantor, supir taxi, bahkan ke tukang ojek. Serta merta apa yang dikatakan oleh mereka, kita langsung percaya dan mencari warung dimaksud.
Kenapa untuk urusan yang satu ini, kita dengan mudahnya langsung percaya apa kata mereka? Kenapa rekomendasi tukang ojek langsung dituruti? Kenapa kita tidak mencari informasi ke koran atau TV? Bukannya media massa sudah diyakini penyalur informasi terlengkap mulai dagangan mobil hingga makanan?
AC Nielsen, sebuah lembaga survei independen pernah mempublikasikan hasil surveinya (April 2007) yang menunjukkan bahwa dalam keputusan membeli, pengaruh kekuatan “lidah“ jauh mengalahkan kekuatan “media“.
Konsumen ternyata lebih percaya pada “apa kata orang“ daripada “apa kata media“. Rekomendasi teman menempati urutan teratas (78%) mengalahkan informasi koran (63%) bahkan televisi (56%). Artinya bahwa dalam membeli produk apapun, konsumen lebih cepat percaya apa yang direkomendasikan orang lain (mungkin karena diyakini orang tersebut sudah merasakan sebelumnya) daripada apa yang disampaikan melalui iklan.
Mendukung survei ini, tidak ada salahnya kita bertanya ke diri sendiri. Selama ini, salon yang dipercayakan menggunting rambut kesayangan kita berdasarakan rekomendasi teman atau iklan? Handphone yang kita gunakan, dulu dibeli berdasarkan apa kata teman atau apa kata iklan? Coto langganan yang kita kunjungi saban hari karena pengaruh teman atau pengaruh iklan? Bahkan untuk urusan sekolah putra-putri tercinta, apakah kita kasak-kusuk cari informasi ke teman-teman atau ke iklan-iklan?
Mmmh... silakan jawab sendiri. Jangan kedengaran Manager Iklan yaa :-).
Lidah, memang diyakini tak bertulang. Lidah juga diyakini bisa melukai hati orang lain. Dalam kasus pemasaran, lidah bahkan diyakini mampu melejitkan produk hingga ke bintang sekaligus mampu menghentakkannya hingga ke dasar laut. Kekuatan Word of Mouth (WoM) sangat tajam merasuki keputusan berbelanja konsumen.
Untuk mendapatkan dukungan suara dari “partai lidah“ dibutuhkan upaya merangkul orang-orang pilihan yang berpotensi mempengaruhi suara di TPS (baca: pasar). Salah satu cara terbaik merekrut orang-orang pilihan melalui jaringan komunitas.
Komunitas adalah tempat berkumpulnya “kader partai“ yang diharapkan berfungsi sebagai penyampai informasi produk. Karena konsumen lebih percaya pada “apa kata orang“, maka gunakanlah kesempatan terbaik ini untuk menanamkan “racun informasi“ bahwa produk Anda-lah yang terbaik.
Dalam kompetisi makin demokratis ini, giliran “Partai Lidah“ yang unjuk gigi. Ini orde “Rekomendasi“, Bung!***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Kenapa untuk urusan yang satu ini, kita dengan mudahnya langsung percaya apa kata mereka? Kenapa rekomendasi tukang ojek langsung dituruti? Kenapa kita tidak mencari informasi ke koran atau TV? Bukannya media massa sudah diyakini penyalur informasi terlengkap mulai dagangan mobil hingga makanan?
AC Nielsen, sebuah lembaga survei independen pernah mempublikasikan hasil surveinya (April 2007) yang menunjukkan bahwa dalam keputusan membeli, pengaruh kekuatan “lidah“ jauh mengalahkan kekuatan “media“.
Konsumen ternyata lebih percaya pada “apa kata orang“ daripada “apa kata media“. Rekomendasi teman menempati urutan teratas (78%) mengalahkan informasi koran (63%) bahkan televisi (56%). Artinya bahwa dalam membeli produk apapun, konsumen lebih cepat percaya apa yang direkomendasikan orang lain (mungkin karena diyakini orang tersebut sudah merasakan sebelumnya) daripada apa yang disampaikan melalui iklan.
Mendukung survei ini, tidak ada salahnya kita bertanya ke diri sendiri. Selama ini, salon yang dipercayakan menggunting rambut kesayangan kita berdasarakan rekomendasi teman atau iklan? Handphone yang kita gunakan, dulu dibeli berdasarkan apa kata teman atau apa kata iklan? Coto langganan yang kita kunjungi saban hari karena pengaruh teman atau pengaruh iklan? Bahkan untuk urusan sekolah putra-putri tercinta, apakah kita kasak-kusuk cari informasi ke teman-teman atau ke iklan-iklan?
Mmmh... silakan jawab sendiri. Jangan kedengaran Manager Iklan yaa :-).
Lidah, memang diyakini tak bertulang. Lidah juga diyakini bisa melukai hati orang lain. Dalam kasus pemasaran, lidah bahkan diyakini mampu melejitkan produk hingga ke bintang sekaligus mampu menghentakkannya hingga ke dasar laut. Kekuatan Word of Mouth (WoM) sangat tajam merasuki keputusan berbelanja konsumen.
Untuk mendapatkan dukungan suara dari “partai lidah“ dibutuhkan upaya merangkul orang-orang pilihan yang berpotensi mempengaruhi suara di TPS (baca: pasar). Salah satu cara terbaik merekrut orang-orang pilihan melalui jaringan komunitas.
Komunitas adalah tempat berkumpulnya “kader partai“ yang diharapkan berfungsi sebagai penyampai informasi produk. Karena konsumen lebih percaya pada “apa kata orang“, maka gunakanlah kesempatan terbaik ini untuk menanamkan “racun informasi“ bahwa produk Anda-lah yang terbaik.
Dalam kompetisi makin demokratis ini, giliran “Partai Lidah“ yang unjuk gigi. Ini orde “Rekomendasi“, Bung!***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Senin, Maret 16, 2009
Demam Instant
Ereke, sebuah kota kecil di Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Untuk mencapai kota ini, satu-satunya moda transportasi yang bisa digunakan hanyalah kapal kayu. Itu pun ditempuh selama lima jam setelah berjuang menghalau ombak.
Jangan bayangkan jaringan telepon dan internet di kota kecil itu. Pasokan listrik saja hanya terlayani 12 jam sehari, dari pukul 06:00 sore hari hingga pukul 06:00 di pagi hari. Berada di kota itu (dalam kondisi tidak ada sambungan telepon selular) kita benar-benar merasakan suatu “kebebasan intervensi” dari suara deringan.
Akhir pekan lalu saya menikmati ”kebebasan” itu selama dua hari di sana. Mister Nokia di genggaman seketika membisu. Begitupun si Cerdas Blackberry berpuasa terima email yang selama ini dengan derasnya mengalirkan hingga 300 email setiap harinya.
Saat mendekati sejumlah siswa berpakaian pramuka di pinggir jalan, saya seketika tercengang. Rupanya, mereka memotret wajah Pak Gubernur Nur Alam yang sedang menghadiri acara dengan kamera handphone di tangan.
Saking penasarannya, saya kemudian mengorek informasi ke mereka dan menanyakan berapa banyak siswa di sekolahnya yang punya ”handphone bisu” sekadar untuk berkamera ria.
Jawabnya singkat: 60%!
Wow. Artinya, dari 100 siswa terdapat 60 orang di antaranya punya handphone meski belum ada jaringan selular.
Penelusuran bergeser ke salah satu kantor. Tidak kalah menariknya, ada juga yang punya Blackberry tapi tidak bisa digunakan karena tidak ada jaringan. Padahal, Blackberry lazim digunakan para praktisi, politisi, juga pebisnis untuk kemudahan komunikasi email, internet, instant messaging, hingga untuk telepon dan SMS.
Konon pula kabarnya, beberapa rumah yang belum menikmati pasokan listrik juga punya kulkas. Meski tidak dapat mendinginkan isi kulkas, tetapi mereka tetap menggunakannya sebagai lemari pakaian. Kereeen!
Tidak ada yang perlu disalahkan. Mereka beli handphone dan kulkas juga pakai uang sendiri. Tapi ada sesuatu yang menarik bahwa masyarakat di kota itu sudah ”berkarakter” seharusnya punya handphone dan punya kulkas.
Sama halnya generasi sekarang, termasuk saya. Secara perlahan karakter serba instant melekat di kepribadian kita. Mungkin karena keseringan santap mie instant sehingga segala sesuatu juga diinginkan terjadi secara instant. Produk yang dipasarkan mengikuti pembentukan karakter ini pun menjadi laris. Sebut saja kredit tanpa agunan, masakan siap saji sebangsa Kentucky, ayam potong, obat pelangsing, obat gemuk, penghancur lemak, pemutih pakaian, dan banyak lagi.
Kondisi hari ini, apapun yang dibuat instant selalu laku. Untuk itu, mumpung karakter konsumen berada di level ini, coba telusur produk yang sedang Anda pasarkan. Jika masih ada celah dibuat instant, lakukan secepatnya. Pasar demam instant nih.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Jangan bayangkan jaringan telepon dan internet di kota kecil itu. Pasokan listrik saja hanya terlayani 12 jam sehari, dari pukul 06:00 sore hari hingga pukul 06:00 di pagi hari. Berada di kota itu (dalam kondisi tidak ada sambungan telepon selular) kita benar-benar merasakan suatu “kebebasan intervensi” dari suara deringan.
Akhir pekan lalu saya menikmati ”kebebasan” itu selama dua hari di sana. Mister Nokia di genggaman seketika membisu. Begitupun si Cerdas Blackberry berpuasa terima email yang selama ini dengan derasnya mengalirkan hingga 300 email setiap harinya.
Saat mendekati sejumlah siswa berpakaian pramuka di pinggir jalan, saya seketika tercengang. Rupanya, mereka memotret wajah Pak Gubernur Nur Alam yang sedang menghadiri acara dengan kamera handphone di tangan.
Saking penasarannya, saya kemudian mengorek informasi ke mereka dan menanyakan berapa banyak siswa di sekolahnya yang punya ”handphone bisu” sekadar untuk berkamera ria.
Jawabnya singkat: 60%!
Wow. Artinya, dari 100 siswa terdapat 60 orang di antaranya punya handphone meski belum ada jaringan selular.
Penelusuran bergeser ke salah satu kantor. Tidak kalah menariknya, ada juga yang punya Blackberry tapi tidak bisa digunakan karena tidak ada jaringan. Padahal, Blackberry lazim digunakan para praktisi, politisi, juga pebisnis untuk kemudahan komunikasi email, internet, instant messaging, hingga untuk telepon dan SMS.
Konon pula kabarnya, beberapa rumah yang belum menikmati pasokan listrik juga punya kulkas. Meski tidak dapat mendinginkan isi kulkas, tetapi mereka tetap menggunakannya sebagai lemari pakaian. Kereeen!
Tidak ada yang perlu disalahkan. Mereka beli handphone dan kulkas juga pakai uang sendiri. Tapi ada sesuatu yang menarik bahwa masyarakat di kota itu sudah ”berkarakter” seharusnya punya handphone dan punya kulkas.
Sama halnya generasi sekarang, termasuk saya. Secara perlahan karakter serba instant melekat di kepribadian kita. Mungkin karena keseringan santap mie instant sehingga segala sesuatu juga diinginkan terjadi secara instant. Produk yang dipasarkan mengikuti pembentukan karakter ini pun menjadi laris. Sebut saja kredit tanpa agunan, masakan siap saji sebangsa Kentucky, ayam potong, obat pelangsing, obat gemuk, penghancur lemak, pemutih pakaian, dan banyak lagi.
Kondisi hari ini, apapun yang dibuat instant selalu laku. Untuk itu, mumpung karakter konsumen berada di level ini, coba telusur produk yang sedang Anda pasarkan. Jika masih ada celah dibuat instant, lakukan secepatnya. Pasar demam instant nih.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Senin, Maret 02, 2009
Membalik Pertanyaan
Berapa penghasilan kotor per bulan?
Pertanyaan itu selalu terselip di deretan formulir, mulai pengajuan kredit hingga pembukaan rekening padahal kedua transaksi ini berseberangan: mengajukan kredit itu meminjam uang sementara membuka rekening itu meminjamkan uang.
Pekan lalu saya membuka rekening tabungan di BCA. Meski dalam posisi ingin menabung (meminjamkan uang) namun batin saya berkecamuk antara jujur dan tidak jujur saat ditanyakan jumlah penghasilan. Hingga akhirnya saya menentukan pilihan dari salah satu jawaban yang tersedia.
Sekilas, tidak ada salahnya kita lirik cara kerja suatu penelitian yang selama ini berjalan. Sebelum produsen mobil mengeluarkan tipe terbaru, biasanya potensi pasar dijajaki melalui kuesioner. Salah satu pertanyaan ke tiap responden, bukan ”berapa penghasilan” tetapi ”berapa pengeluaran” Anda per bulan.
Dari data pengeluaran tersebut, dibuatlah klasifikasi SES (Status Ekonomi Sosial) secara bertingkat, mulai SES A hingga SES E. Pengeluaran tertinggi berada di SES A dan terendah di SES E.
Manusia, secara naluri lebih berterus terang menyebutkan jumlah pengeluaran dibanding penghasilan. Karena pengeluaran cenderung berbanding lurus dengan penghasilan, maka untuk menemukan data riil di lapangan, menanyakan jumlah ”pengeluaran” lebih mendekati kebenaran dibanding jumlah ”penghasilan”.
Dalam pemasaran dikenal istilah Push Strategy (Strategi Dorong) dan Pull Strategy (Strategi Tarik). Push Strategy “mendorong” konsumen berbelanja sebanyak-banyaknya melalui diskon, perang harga, gratis keanggotaan, dll. Sementara Pull Strategy “menarik” perhatian konsumen terlebih dahulu hingga kemudian memutuskan berbelanja. Lazim dilakukan melalui pameran, penyebaran brosur, placement iklan, dll. Jika strategi ”mendorong” sudah jenuh, selanjutnya dibalik menjadi strategi “menarik”.
Sekitar 6 tahun lalu, Bank Mandiri pernah berhasil “membalik pertanyaan” untuk meningkatkan tabungan nasabah. Setiap penarikan di ATM berkesempatan menang hadiah uang tunai. Semakin sering tarik dana, semakin besar peluang menang.
Trik ini sesungguhnya merangsang nasabah untuk menabung. Meski terdengar iming-iming hadiah kepada yang menarik dana, namun itu bagian dari “membalik pertanyaan”. Bagaimana bisa tarik dana kalau isi tabungannya kosong?
Membalik pertanyaan sesekali diperlukan untuk mencapai tujuan. Mumpung tanggal baru nih, boleh dong numpang tanya: ”berapa pengeluaran Anda bulan lalu”? Heheee....***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group) edisi 2 Maret 2009
Pertanyaan itu selalu terselip di deretan formulir, mulai pengajuan kredit hingga pembukaan rekening padahal kedua transaksi ini berseberangan: mengajukan kredit itu meminjam uang sementara membuka rekening itu meminjamkan uang.
Pekan lalu saya membuka rekening tabungan di BCA. Meski dalam posisi ingin menabung (meminjamkan uang) namun batin saya berkecamuk antara jujur dan tidak jujur saat ditanyakan jumlah penghasilan. Hingga akhirnya saya menentukan pilihan dari salah satu jawaban yang tersedia.
Sekilas, tidak ada salahnya kita lirik cara kerja suatu penelitian yang selama ini berjalan. Sebelum produsen mobil mengeluarkan tipe terbaru, biasanya potensi pasar dijajaki melalui kuesioner. Salah satu pertanyaan ke tiap responden, bukan ”berapa penghasilan” tetapi ”berapa pengeluaran” Anda per bulan.
Dari data pengeluaran tersebut, dibuatlah klasifikasi SES (Status Ekonomi Sosial) secara bertingkat, mulai SES A hingga SES E. Pengeluaran tertinggi berada di SES A dan terendah di SES E.
Manusia, secara naluri lebih berterus terang menyebutkan jumlah pengeluaran dibanding penghasilan. Karena pengeluaran cenderung berbanding lurus dengan penghasilan, maka untuk menemukan data riil di lapangan, menanyakan jumlah ”pengeluaran” lebih mendekati kebenaran dibanding jumlah ”penghasilan”.
Dalam pemasaran dikenal istilah Push Strategy (Strategi Dorong) dan Pull Strategy (Strategi Tarik). Push Strategy “mendorong” konsumen berbelanja sebanyak-banyaknya melalui diskon, perang harga, gratis keanggotaan, dll. Sementara Pull Strategy “menarik” perhatian konsumen terlebih dahulu hingga kemudian memutuskan berbelanja. Lazim dilakukan melalui pameran, penyebaran brosur, placement iklan, dll. Jika strategi ”mendorong” sudah jenuh, selanjutnya dibalik menjadi strategi “menarik”.
Sekitar 6 tahun lalu, Bank Mandiri pernah berhasil “membalik pertanyaan” untuk meningkatkan tabungan nasabah. Setiap penarikan di ATM berkesempatan menang hadiah uang tunai. Semakin sering tarik dana, semakin besar peluang menang.
Trik ini sesungguhnya merangsang nasabah untuk menabung. Meski terdengar iming-iming hadiah kepada yang menarik dana, namun itu bagian dari “membalik pertanyaan”. Bagaimana bisa tarik dana kalau isi tabungannya kosong?
Membalik pertanyaan sesekali diperlukan untuk mencapai tujuan. Mumpung tanggal baru nih, boleh dong numpang tanya: ”berapa pengeluaran Anda bulan lalu”? Heheee....***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group) edisi 2 Maret 2009
Minggu, Februari 22, 2009
Membelok di Jalan Lurus
Eva Puspa Dewi, salah satu pramugari ayu Lion Air rute Jakarta - Kendari, menemani penerbangan saya di hari Jumat (20/02/2009) lalu. Penerbangan yang berlangsung 2 jam 50 menit itu, Alhamdulillah berjalan lancar dengan sedikit sekali guncangan di udara.
Belum sebulan, Lion Air melakukan penerbangan langsung Jakarta - Kendari tanpa transit di Makassar. Sebelumnya, penumpang perlu menghabiskan waktu sekitar 4 jam (bahkan lebih) untuk tiba di tujuan karena proses transit di Makassar.
Usai ke toilet belakang pesawat, saya meluangkan waktu berbincang dengan Eva, di area seat pramugari. Cerita cukup panjang. Mulai pengalaman terburuknya di udara selama enam tahun menemani penumpang hingga perbandingan cuaca antara dalam dan luar negeri.
Ada satu pertanyaan saya yang membuat perbincangan makin seru hingga tak terasa hampir 30 menit bersamanya. Pertanyaannya sederhana, ”kenapa dalam penerbangan, waktu tempuh berbeda padahal jaraknya sama?”. Pertanyaan itu mengemuka karena waktu tempuh dari Kendari ke Jakarta dengan pesawat yang sama tiga hari sebelumnya hanya 2 jam 20 menit tetapi ketika melakukan perjalanan pulang dari Jakarta ke Kendari membengkak hingga 2 jam 50 menit. Apa yang salah?
Ternyata, improvisasi pilot juga dikenal di penerbangan. Sebelum take off, sang pilot ”membaca cuaca” dan jalur yang akan dilalui. Jika cuaca kurang bersahabat di jalan lurus, ia menelikung sesaat lalu kembali lagi ke jalur utama.
Setelah ”peta perjalanan” itu dibuat, diketahuilah estimasi waktu tempuh. Lalu diumumkanlah ke penumpang sebelum take off berlangsung. Dengan jarak yang sama, waktu tempuhnya bisa berbeda-beda karena hasil ”pembacaan cuaca” yang juga berbeda.
Garuda Indonesia, terbang ke Kendari mulai 16 Januari lalu. Berita ini sangat menyenangkan bagi traveller kota ini. Dari sisi service on board di jalur penerbangan domestik, Garuda bolehlah menempati urutan teratas. Penyajian makanan di udara, salah satu penyebabnya.
Manajemen Lion Air rupanya tidak kehabisan kreativitas. Mereka juga melakukan ”pembacaan cuaca kompetisi” di rute gemuk ini dengan cermat. Setelah itu, diumumkanlah ”peta kompetisi baru” dengan sedikit improvisasi: penerbangan Kendari - Jakarta pulang pergi tidak perlu transit Makassar.
Meski tidak ada penyajian makanan di udara, namun mereka menciptakan iklim kompetisi baru dengan menjadi satu-satunya penerbangan langsung dari Jakarta tanpa transit. Dalam kasus pemasaran, upaya Lion Air membelok di jalan lurus ini dikenal dengan istilah Blue Ocean Strategy (Strategi Samudera Biru), yaitu strategi menciptakan ruang pasar baru yang tanpa pesaing. Bahkan kompetisi sekalipun menjadi tidak lagi relevan.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 23 Februari 2009
Belum sebulan, Lion Air melakukan penerbangan langsung Jakarta - Kendari tanpa transit di Makassar. Sebelumnya, penumpang perlu menghabiskan waktu sekitar 4 jam (bahkan lebih) untuk tiba di tujuan karena proses transit di Makassar.
Usai ke toilet belakang pesawat, saya meluangkan waktu berbincang dengan Eva, di area seat pramugari. Cerita cukup panjang. Mulai pengalaman terburuknya di udara selama enam tahun menemani penumpang hingga perbandingan cuaca antara dalam dan luar negeri.
Ada satu pertanyaan saya yang membuat perbincangan makin seru hingga tak terasa hampir 30 menit bersamanya. Pertanyaannya sederhana, ”kenapa dalam penerbangan, waktu tempuh berbeda padahal jaraknya sama?”. Pertanyaan itu mengemuka karena waktu tempuh dari Kendari ke Jakarta dengan pesawat yang sama tiga hari sebelumnya hanya 2 jam 20 menit tetapi ketika melakukan perjalanan pulang dari Jakarta ke Kendari membengkak hingga 2 jam 50 menit. Apa yang salah?
Ternyata, improvisasi pilot juga dikenal di penerbangan. Sebelum take off, sang pilot ”membaca cuaca” dan jalur yang akan dilalui. Jika cuaca kurang bersahabat di jalan lurus, ia menelikung sesaat lalu kembali lagi ke jalur utama.
Setelah ”peta perjalanan” itu dibuat, diketahuilah estimasi waktu tempuh. Lalu diumumkanlah ke penumpang sebelum take off berlangsung. Dengan jarak yang sama, waktu tempuhnya bisa berbeda-beda karena hasil ”pembacaan cuaca” yang juga berbeda.
Garuda Indonesia, terbang ke Kendari mulai 16 Januari lalu. Berita ini sangat menyenangkan bagi traveller kota ini. Dari sisi service on board di jalur penerbangan domestik, Garuda bolehlah menempati urutan teratas. Penyajian makanan di udara, salah satu penyebabnya.
Manajemen Lion Air rupanya tidak kehabisan kreativitas. Mereka juga melakukan ”pembacaan cuaca kompetisi” di rute gemuk ini dengan cermat. Setelah itu, diumumkanlah ”peta kompetisi baru” dengan sedikit improvisasi: penerbangan Kendari - Jakarta pulang pergi tidak perlu transit Makassar.
Meski tidak ada penyajian makanan di udara, namun mereka menciptakan iklim kompetisi baru dengan menjadi satu-satunya penerbangan langsung dari Jakarta tanpa transit. Dalam kasus pemasaran, upaya Lion Air membelok di jalan lurus ini dikenal dengan istilah Blue Ocean Strategy (Strategi Samudera Biru), yaitu strategi menciptakan ruang pasar baru yang tanpa pesaing. Bahkan kompetisi sekalipun menjadi tidak lagi relevan.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 23 Februari 2009
Minggu, Februari 15, 2009
Puzzle Sang Spesialis
Jepara, memang sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kota yang dikenal dengan mebel ukiran itu mengandung magnet bisnis yang memikat perhatian investor dari dalam dan luar negeri sejak puluhan tahun lalu.
Saya berkunjung ke daerah itu bulan lalu sekadar jalan-jalan. Tampak agak mengherankan dibandingkan kota kita di sore hari. Saat sorot matahari makin teduh dari sisi barat, saya tidak menemukan kelompok gadis-gadis dan ibu-ibu duduk bergosip ria di teras rumah.
Kepada kawan yang menemani, saya sempat bertanya atas ”keganjilan” itu. Jawaban yang saya peroleh bahwa gadis-gadis dan ibu-ibu di sana selalu mengisi waktu luangnya dengan dunia pertukangan. ”Masak iya. Gak Salah?”, gumam saya spontan.
Ternyata, pekerjaan mengukir mebel di sana, sebagian dikerjakan kaum hawa. Ada yang mengerjakannya di workshop, ada juga di rumah masing-masing.
Ambil contoh pengerjaan Kursi Ukir. Bagian-bagian kursi dibuat per komponen. Ukiran di sandaran, dudukan, kaki kursi, dan lainnya dibuat terpisah dan dibagikan ke sejumlah rumah. RT A mengerjakan komponen sandaran, RT B mengerjakan komponen dudukan, dst. Hingga batas waktu yang ditentukan, komponen-komponen itu dikumpulkan dan menjadilah sebuah kursi.
Fakta di Jepara mengajarkan kita bahwa dengan memilah-milah pekerjaan besar menjadi sebuah pilahan puzzle, maka pekerjaan akan menjadi mudah. Tugas bagian sandaran ”hanya” memikirkan sandaran. Tugas bagian dudukan”hanya” memikirkan dudukan. Begitu seterusnya.
Fokus satu titik menjadi kunci utama sebuah keberhasilan. Setiap fungsi sepatutnya hanya memikirkan ”tugas”-nya tanpa perlu melirik ke kiri dan ke kanan. Ibarat sebuah kelompok musik, penabuh gendang hanya berusaha menghasilkan bunyi gendang yang enak didengar.
Hal yang perlu dihindari adalah dorongan naluri kita untuk selalu mau tahu segala hal tapi tidak bisa menguasai segala hal. Menguasai satu mata rantai saja sudah cukup dan jauh lebih baik. ”Be specialist, not generalist”, begitu kata kawan saya.
Kendaraan bisnis akan bergerak jauh lebih cepat jika diayun orang-orang spesialis. Tugas spesialis sandaran ”hanya” memikirkan sandaran. Tugas spesialis dudukan ”hanya” memikirkan dudukan. Tugas pengemudi pun "hanya” memikirkan strategi menyatukan puzzle menjadi sebuah gambar besar.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 16 Februari 2008
Saya berkunjung ke daerah itu bulan lalu sekadar jalan-jalan. Tampak agak mengherankan dibandingkan kota kita di sore hari. Saat sorot matahari makin teduh dari sisi barat, saya tidak menemukan kelompok gadis-gadis dan ibu-ibu duduk bergosip ria di teras rumah.
Kepada kawan yang menemani, saya sempat bertanya atas ”keganjilan” itu. Jawaban yang saya peroleh bahwa gadis-gadis dan ibu-ibu di sana selalu mengisi waktu luangnya dengan dunia pertukangan. ”Masak iya. Gak Salah?”, gumam saya spontan.
Ternyata, pekerjaan mengukir mebel di sana, sebagian dikerjakan kaum hawa. Ada yang mengerjakannya di workshop, ada juga di rumah masing-masing.
Ambil contoh pengerjaan Kursi Ukir. Bagian-bagian kursi dibuat per komponen. Ukiran di sandaran, dudukan, kaki kursi, dan lainnya dibuat terpisah dan dibagikan ke sejumlah rumah. RT A mengerjakan komponen sandaran, RT B mengerjakan komponen dudukan, dst. Hingga batas waktu yang ditentukan, komponen-komponen itu dikumpulkan dan menjadilah sebuah kursi.
Fakta di Jepara mengajarkan kita bahwa dengan memilah-milah pekerjaan besar menjadi sebuah pilahan puzzle, maka pekerjaan akan menjadi mudah. Tugas bagian sandaran ”hanya” memikirkan sandaran. Tugas bagian dudukan”hanya” memikirkan dudukan. Begitu seterusnya.
Fokus satu titik menjadi kunci utama sebuah keberhasilan. Setiap fungsi sepatutnya hanya memikirkan ”tugas”-nya tanpa perlu melirik ke kiri dan ke kanan. Ibarat sebuah kelompok musik, penabuh gendang hanya berusaha menghasilkan bunyi gendang yang enak didengar.
Hal yang perlu dihindari adalah dorongan naluri kita untuk selalu mau tahu segala hal tapi tidak bisa menguasai segala hal. Menguasai satu mata rantai saja sudah cukup dan jauh lebih baik. ”Be specialist, not generalist”, begitu kata kawan saya.
Kendaraan bisnis akan bergerak jauh lebih cepat jika diayun orang-orang spesialis. Tugas spesialis sandaran ”hanya” memikirkan sandaran. Tugas spesialis dudukan ”hanya” memikirkan dudukan. Tugas pengemudi pun "hanya” memikirkan strategi menyatukan puzzle menjadi sebuah gambar besar.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 16 Februari 2008
Minggu, Februari 01, 2009
Telusuri Context yang Low Cost
Matahari terbit dan tenggelam harusnya bukan sesuatu yang luar biasa. Setiap hari ia menampakkan dirinya di ufuk timur dan membenamkan peraduannya di ufuk barat. Namun sesuatu yang ”biasa” itu menjadi ”luar biasa” jika terbumbuhi kejadian-kejadian lain di sekitarnya.
Lihat saja ketika Gerhana Matahari Cincin 26 Januari lalu. Di beberapa wilayah di Indonesia, matahari di sore hari itu terlihat seperti cincin. Pukul 15:21 WIB, sebagian piringan matahari tertutup bulan. Secara perlahan matahari membentuk sabit hingga seluruh bulatan bulan masuk dalam piringan matahari. Piringan matahari masih tampak sebagian di sisi luarnya tampak seperti cincin. Sekitar 6 menit lamanya, gerhana matahari cincin ini dapat dilihat pada pukul 16.40 WIB.
Sepekan sebelum kejadian itu, saya melakukan perjalanan ”berburu matahari terbit” di Gunung Bromo, Jawa Timur. Menurut cerita kawan-kawan yang pernah ke sana, pemandangannya sangat cantik. Untuk menghilangkan rasa penasaran itu, saya meninggalkan hotel di Malang pukul 00:00 WIB dini hari. Tiba di Bromo pukul 03.00 WIB, padahal jadwal matahari terbit masih 2 jam lagi.
Selain saya, masih ada seratusan wisatawan lokal dan mancanegara yang lain berbaur menunggu hadirnya sang surya dari balik gunung. Puluhan kamera siap jepret menanti momen istimewa itu.
Gerhana matahari cincin dan berburu matahari terbit adalah dua contoh menarik. Keduanya tidak pernah selesai dibahas bahkan tiap orang mempunyai pengalaman berbeda untuk kejadian yang sama.
Kedua kejadian itu mengingatkan kita pada kasus-kasus pemasaran yang menunjukkan bahwa Context-lah yang membuat sesuatu itu menjadi lebih menarik. Hard Rock, Starbuck, KFC, handphone, hingga hotel sesungguhnya lebih banyak menjual Context daripada Content. Hotel misalnya, selain menawarkan kesempatan menginap (content) ia juga menawarkan suasana nyaman. Context-nya diramu se-menarik mungkin, mulai sambutan hangat di pintu masuk, welcome drink di meja reception, sapaan Cleaning Service di depan lift, hingga bersihnya lantai kamar.
Lazimnya, Context lebih sulit ditiru dibanding Content. Karena pengalaman membutuhkan sentuhan ”context”, maka menginap di hotel dengan tarif selangit tidak lagi jadi masalah.
Begitupula dengan gerhana matahari cincin dan berburu matahari di Bromo. Biaya mahal dan harus begadang sekalipun, akhirnya tidak menjadi beban karena kejadian itu dibungkus dengan context yang jelas. Untuk itu, kita perlu sesekali menelusuri keajaiban ”Context” dalam krisis finansial seperti sekarang. Selain punya nilai jual, Context juga low cost - high impact.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 3 Februari 2009
Lihat saja ketika Gerhana Matahari Cincin 26 Januari lalu. Di beberapa wilayah di Indonesia, matahari di sore hari itu terlihat seperti cincin. Pukul 15:21 WIB, sebagian piringan matahari tertutup bulan. Secara perlahan matahari membentuk sabit hingga seluruh bulatan bulan masuk dalam piringan matahari. Piringan matahari masih tampak sebagian di sisi luarnya tampak seperti cincin. Sekitar 6 menit lamanya, gerhana matahari cincin ini dapat dilihat pada pukul 16.40 WIB.
Sepekan sebelum kejadian itu, saya melakukan perjalanan ”berburu matahari terbit” di Gunung Bromo, Jawa Timur. Menurut cerita kawan-kawan yang pernah ke sana, pemandangannya sangat cantik. Untuk menghilangkan rasa penasaran itu, saya meninggalkan hotel di Malang pukul 00:00 WIB dini hari. Tiba di Bromo pukul 03.00 WIB, padahal jadwal matahari terbit masih 2 jam lagi.
Selain saya, masih ada seratusan wisatawan lokal dan mancanegara yang lain berbaur menunggu hadirnya sang surya dari balik gunung. Puluhan kamera siap jepret menanti momen istimewa itu.
Gerhana matahari cincin dan berburu matahari terbit adalah dua contoh menarik. Keduanya tidak pernah selesai dibahas bahkan tiap orang mempunyai pengalaman berbeda untuk kejadian yang sama.
Kedua kejadian itu mengingatkan kita pada kasus-kasus pemasaran yang menunjukkan bahwa Context-lah yang membuat sesuatu itu menjadi lebih menarik. Hard Rock, Starbuck, KFC, handphone, hingga hotel sesungguhnya lebih banyak menjual Context daripada Content. Hotel misalnya, selain menawarkan kesempatan menginap (content) ia juga menawarkan suasana nyaman. Context-nya diramu se-menarik mungkin, mulai sambutan hangat di pintu masuk, welcome drink di meja reception, sapaan Cleaning Service di depan lift, hingga bersihnya lantai kamar.
Lazimnya, Context lebih sulit ditiru dibanding Content. Karena pengalaman membutuhkan sentuhan ”context”, maka menginap di hotel dengan tarif selangit tidak lagi jadi masalah.
Begitupula dengan gerhana matahari cincin dan berburu matahari di Bromo. Biaya mahal dan harus begadang sekalipun, akhirnya tidak menjadi beban karena kejadian itu dibungkus dengan context yang jelas. Untuk itu, kita perlu sesekali menelusuri keajaiban ”Context” dalam krisis finansial seperti sekarang. Selain punya nilai jual, Context juga low cost - high impact.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 3 Februari 2009
Minggu, Januari 18, 2009
Perbedaan Bukan Persamaan
Besok, 20 Januari 2009, dunia mencatat sejarah baru. Seorang keturunan Afrika berkulit hitam akan resmi memimpin negara adidaya, Amerika Serikat. Dialah Barrack Hussein Obama, presiden Amerika ke-44.
Lelaki yang pernah tinggal empat tahun di Menteng Jakarta itu, menarik perhatian publik. Parade pelantikan disiapkan sepanjang 11 kilometer di Pennsylvania Avenue, jalan panjang yang menghubungkan Gedung Putih dan Capitol Hill. Tema pelantikan yang diusungnya pun terdengar menarik: a new birth of freedom.
Diprediksi jutaan manusia membanjiri pelantikan itu karena juga dirangkaikan peringatan hari lahir ke-200 tahun mantan presiden Amerika, Abraham Lincoln. Alkitab milik Lincoln yang pernah digunakan saat dilantik sebagai presiden tahun 1861 lalu, juga akan digunakan Obama pada sumpah jabatannya. Alkitab bersampul bludru warna burgundi dan berpinggir sepuhan emas itu akan menjadi saksi pecahnya mitos golongan di Amerika.
Obama, lelaki keturunan Afrika kelahiran Hawaii itu tiba-tiba membuka mata dunia bahwa tidak ada yang mustahil terjadi di bawah matahari! Obama tidak pernah sepi dari ulasan. Ia menjadi buah bibir se-antero dunia yang dalam kasus pemasaran dikenal dengan istilah Word of Mouth (WoM).
Apa sesungguhnya yang dapat dilakukan untuk menjadi objek WoM? Salah satu di antaranya adalah “being different”. Menjadi pribadi yang berbeda selalu menstimulus keingintahuan publik. Kulit hitam, usia muda, keturunan Afrika, adalah bagian dari “being different”-nya Obama.
Sejenak, lihatlah pasangan selebriti yang berseteru. Makin “digoreng” perseteruannya di dunia entertaintment, makin laris karya-karyanya. Tengoklah sesekali angka penjualan karya mereka (CD, kaset, nada dering, kontrak iklan, kontrak MC, dll) selama periode terjadinya perseteruan. Larisnya karya-karya tersebut karena di-trigger rasa penasaran publik.
Saat kita naik kendaraan, perhatikan tikungan dan persimpangan jalan. Adakah iklan yang membuat Anda “kaget”? Jika ada, berarti produk itu sudah berhasil menjadi "being different" yang oleh karenanya menarik perhatian Anda. Bahkan mungkin saja setelahnya, Anda langsung membeli produk itu dan merekomendasikan pula ke tetangga dan teman kantor.
Sebuah bukti, efek "being different" berhasil menciptakan WoM secara sukarela. Seperti halnya Obama, Tukul Arwana, Cinta Laura, ataupun Ucok Baba. Mereka melejit ke permukaan bermodalkan “being different”.
Para caleg yang butuh popularitas publik, juga perlu mengusung konsep ini. Karena sesungguhnya, “perbedaan”-lah yang mendongkrak popularitas. Bukan “persamaan”.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 19 Januari 2009
Lelaki yang pernah tinggal empat tahun di Menteng Jakarta itu, menarik perhatian publik. Parade pelantikan disiapkan sepanjang 11 kilometer di Pennsylvania Avenue, jalan panjang yang menghubungkan Gedung Putih dan Capitol Hill. Tema pelantikan yang diusungnya pun terdengar menarik: a new birth of freedom.
Diprediksi jutaan manusia membanjiri pelantikan itu karena juga dirangkaikan peringatan hari lahir ke-200 tahun mantan presiden Amerika, Abraham Lincoln. Alkitab milik Lincoln yang pernah digunakan saat dilantik sebagai presiden tahun 1861 lalu, juga akan digunakan Obama pada sumpah jabatannya. Alkitab bersampul bludru warna burgundi dan berpinggir sepuhan emas itu akan menjadi saksi pecahnya mitos golongan di Amerika.
Obama, lelaki keturunan Afrika kelahiran Hawaii itu tiba-tiba membuka mata dunia bahwa tidak ada yang mustahil terjadi di bawah matahari! Obama tidak pernah sepi dari ulasan. Ia menjadi buah bibir se-antero dunia yang dalam kasus pemasaran dikenal dengan istilah Word of Mouth (WoM).
Apa sesungguhnya yang dapat dilakukan untuk menjadi objek WoM? Salah satu di antaranya adalah “being different”. Menjadi pribadi yang berbeda selalu menstimulus keingintahuan publik. Kulit hitam, usia muda, keturunan Afrika, adalah bagian dari “being different”-nya Obama.
Sejenak, lihatlah pasangan selebriti yang berseteru. Makin “digoreng” perseteruannya di dunia entertaintment, makin laris karya-karyanya. Tengoklah sesekali angka penjualan karya mereka (CD, kaset, nada dering, kontrak iklan, kontrak MC, dll) selama periode terjadinya perseteruan. Larisnya karya-karya tersebut karena di-trigger rasa penasaran publik.
Saat kita naik kendaraan, perhatikan tikungan dan persimpangan jalan. Adakah iklan yang membuat Anda “kaget”? Jika ada, berarti produk itu sudah berhasil menjadi "being different" yang oleh karenanya menarik perhatian Anda. Bahkan mungkin saja setelahnya, Anda langsung membeli produk itu dan merekomendasikan pula ke tetangga dan teman kantor.
Sebuah bukti, efek "being different" berhasil menciptakan WoM secara sukarela. Seperti halnya Obama, Tukul Arwana, Cinta Laura, ataupun Ucok Baba. Mereka melejit ke permukaan bermodalkan “being different”.
Para caleg yang butuh popularitas publik, juga perlu mengusung konsep ini. Karena sesungguhnya, “perbedaan”-lah yang mendongkrak popularitas. Bukan “persamaan”.***
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Dimuat di Harian Kendari Pos (Jawa Pos Group), 19 Januari 2009
Minggu, Januari 11, 2009
Peta dan Segmen
Pesta libur panjang baru saja usai, yang dimanfaatkan banyak kalangan untuk refreshing. Mulai kegiatan pulang kampung hingga piknik ke manca negara. Di balik libur panjang itu, ternyata di sejumlah perusahaan justru diisi dengan ”renungan-renungan suci”.
Sejumlah pertanyaan pun mengemuka: apakah bisnis saya masih bisa eksis, bagaimana menyiasati biaya promosi dikurangi tapi target penjualan dinaikkan, sampai kapan krisis menghantam, dan banyak lagi.
Krisis ekonomi dan efek domino-nya memang sulit terhindarkan. Bagai sebuah mata rantai yang panjang dari penghujung Amerika, tersambung juga hingga ke depan pintu rumah kita. Bahkan kita sendiri bertanya, apa yang harus diperbuat agar dapur tetap mengepul?
Lazimnya, saat memasuki tahun baru, hal yang perlu dilakukan adalah re-mapping (membuat peta baru). Sebisa mungkin, perlu juga dilakukan analisis SWOT secara sederhana, seperti mengamati kekuatan dan kelemahan internal (Strength and Weakness) juga mencermati peluang dan ancaman dari eksternal (Opportunity and Thread).
Jika kembali ke konsep dasar pemasaran, terdapat tiga pasal yang perlu diperhatikan: Strategy, Tactic, Value. Strategy sendiri mempunyai tiga anak panah yaitu Segmentation, Targetting, dan Positioning. Saya akan mengulas anak panah pertama (Segmentation) saja karena keterbatasan kolom.
Agar target tercapai, konsumen yang disasar dan produk yang disasarkan perlu disegmenkan terlebih dahulu. Ibarat melempar mangga, kita tidak mungkin bisa menjatuhkan mangga sepuluh biji sekaligus dengan sekali lempar. Besaran batu di genggaman perlu disesuaikan dengan besaran mangga yang dibidik. Dari sepuluh mangga menggelantung, terlebih dahulu tentukan titik mangga mana yang disasar.
Selanjutnya, segmenkan sisi mana yang mau dibidik, apakah sisi atas, tengah, bawah, atau gantungannya? Mangga ibarat konsumen yang disasar. Batu ibarat produk yang akan digelontorkan ke pasar. Sebelum penetrasi produk dilakukan, segmenkan dulu calon konsumen agar ”batu” yang dilemparkan tidak nyasar ke ranting, daun, dan pohon.
Segmentasi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan seperti perilaku, psikografi (gaya hidup), demografi (sebaran penduduk), atau geografi (peta wilayah). Dengan segmentasi yang baik, effort dan cost yang dikeluarkan lebih optimal. Di sisi lain, hasil yang diperoleh juga lebih maksimal.***
Dimuat di Harian Kendari Pos, 12 Januari 2009
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Sejumlah pertanyaan pun mengemuka: apakah bisnis saya masih bisa eksis, bagaimana menyiasati biaya promosi dikurangi tapi target penjualan dinaikkan, sampai kapan krisis menghantam, dan banyak lagi.
Krisis ekonomi dan efek domino-nya memang sulit terhindarkan. Bagai sebuah mata rantai yang panjang dari penghujung Amerika, tersambung juga hingga ke depan pintu rumah kita. Bahkan kita sendiri bertanya, apa yang harus diperbuat agar dapur tetap mengepul?
Lazimnya, saat memasuki tahun baru, hal yang perlu dilakukan adalah re-mapping (membuat peta baru). Sebisa mungkin, perlu juga dilakukan analisis SWOT secara sederhana, seperti mengamati kekuatan dan kelemahan internal (Strength and Weakness) juga mencermati peluang dan ancaman dari eksternal (Opportunity and Thread).
Jika kembali ke konsep dasar pemasaran, terdapat tiga pasal yang perlu diperhatikan: Strategy, Tactic, Value. Strategy sendiri mempunyai tiga anak panah yaitu Segmentation, Targetting, dan Positioning. Saya akan mengulas anak panah pertama (Segmentation) saja karena keterbatasan kolom.
Agar target tercapai, konsumen yang disasar dan produk yang disasarkan perlu disegmenkan terlebih dahulu. Ibarat melempar mangga, kita tidak mungkin bisa menjatuhkan mangga sepuluh biji sekaligus dengan sekali lempar. Besaran batu di genggaman perlu disesuaikan dengan besaran mangga yang dibidik. Dari sepuluh mangga menggelantung, terlebih dahulu tentukan titik mangga mana yang disasar.
Selanjutnya, segmenkan sisi mana yang mau dibidik, apakah sisi atas, tengah, bawah, atau gantungannya? Mangga ibarat konsumen yang disasar. Batu ibarat produk yang akan digelontorkan ke pasar. Sebelum penetrasi produk dilakukan, segmenkan dulu calon konsumen agar ”batu” yang dilemparkan tidak nyasar ke ranting, daun, dan pohon.
Segmentasi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan seperti perilaku, psikografi (gaya hidup), demografi (sebaran penduduk), atau geografi (peta wilayah). Dengan segmentasi yang baik, effort dan cost yang dikeluarkan lebih optimal. Di sisi lain, hasil yang diperoleh juga lebih maksimal.***
Dimuat di Harian Kendari Pos, 12 Januari 2009
Saran SMS: 0815 2400 4567 atau Blog: http://hilmineng.blogspot.com/
Langganan:
Postingan (Atom)